Klik di sini untuk membaca cerita sebelumnya. Jadi alasan utama saya menolak usulan ibu dan abah untuk mengasuh Farras selama saya di Jakarta adalah saya tidak ingin merepotkan mereka, meskipun saya tau betul, mereka tulus dan pasti senang ada Farras di sana. Kata abah, di rumah sepi karena sekarang tinggal si bungsu, Ami saja. Kami berenam sudah tidak tigngal di rumah, sementara Ami sudah besar. Hari-harinya banyak di sekolah, ngaji, dan main. Ibu dan abah hanya kebagian sisa-sisa waktu bersama bungsu. Itupun banyak di waktu tidur. Jadi sangat wajar, ibu dan abah merasa kesepian. Bisa dibayangkan, sejak 28 tahun lalu terbiasa mengasuh anak, delapan anak pula (satu alm), dan kini bungsu sudah 10 tahun, pasti ada rasa kangen untuk mengasuh. (Pelajaran bagi saya untuk selalu menikmati tiap-tiap waktu bersama anak, karena suatu saat masa-masa ini akan menjadi kenangan yang dirindukan).
Tapi bagi saya, sudah saatnya mereka istirahat dari urusan mengasuh balita atau batita. Sudah cukup dan bahkan berlebih upaya mereka mengasuh kami, dari kami di rahim hingga kami besar. Rasanya tidak pantas bagi saya untuk kembali membebankan pengasuhan anak saya kepada mereka, sementara saya merasa belum bisa berbuat apa-apa untuk mereka. Apalagi keberadaan saya di Jakarta saat itu tidak bisa dipastikan waktunya.