Selasa, 08 April 2014

Masih Menolak Mempercepat Kiamat




Klik di sini untuk membaca cerita sebelumnya. Jadi alasan utama saya menolak usulan ibu dan abah untuk mengasuh Farras selama saya di Jakarta adalah saya tidak ingin merepotkan mereka, meskipun saya tau betul, mereka tulus dan pasti senang ada Farras di sana. Kata abah, di rumah sepi karena sekarang tinggal si bungsu, Ami saja. Kami berenam sudah tidak tigngal di rumah, sementara Ami sudah besar. Hari-harinya banyak di sekolah, ngaji, dan main. Ibu dan abah hanya kebagian sisa-sisa waktu bersama bungsu. Itupun banyak di waktu tidur. Jadi sangat wajar, ibu dan abah merasa kesepian. Bisa dibayangkan, sejak 28 tahun lalu terbiasa mengasuh anak, delapan anak pula (satu alm), dan kini bungsu sudah 10 tahun, pasti ada rasa kangen untuk mengasuh. (Pelajaran bagi saya untuk selalu menikmati tiap-tiap waktu bersama anak, karena suatu saat masa-masa ini akan menjadi kenangan yang dirindukan). 



Tapi bagi saya, sudah saatnya mereka istirahat dari urusan mengasuh balita atau batita. Sudah cukup dan bahkan berlebih upaya mereka mengasuh kami, dari kami di rahim hingga kami besar. Rasanya tidak pantas bagi saya untuk kembali membebankan pengasuhan anak saya kepada mereka, sementara saya merasa belum bisa berbuat apa-apa untuk mereka. Apalagi keberadaan saya di Jakarta saat itu tidak bisa dipastikan waktunya. 

Behind The Thesis IV: Menolak Mempercepat Kiamat

sumber gambar http://septhianienotes.blogspot.com
Dengan cerita ini, saya tidak hendak menghakimi siapa pun. Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan. Cerita ini hanya untuk sharing pengalaman saya. Tidak ada niat lebih.


Ceritanya, saat saya berniat untuk menyelesaikan kuliah dan pergi ke Jakarta, November lalu, ibu dan abah mengusulkan agar Farras diantarkan ke Lamongan saja, supaya saya bisa fokus. Dan terus terang, alasan keenganan saya untuk segera menyelesaikan kuliah dan pergi ke Jakarta adalah Farras dan abahnya. Kalau diingat-ingat, memikirkan untuk berpisah dan memisahkan Farras dari abahnya sungguh menyesakkan. Semakin sesak ditambah bayang-bayang meniggalkan Farras untuk mengurus ujian-ujian. Karena itulah, saya memutuskan untuk tidak menambah rasa 'nyesek' dengan menolak secara halus usulan ibu dan abah. Saya yakinkan kepada mereka kalau saya bisa menyelesaikan kuliah dengan tetap momong Farras sendiri. Insha Allah.

Senin, 07 April 2014

Aktualisasi Kualitas Feminin dari Caleg Perempuan: Menuju Indonesia Harmoni

Sebenarnya, apa masalahnya bila calon legislatif itu berasal dari kaum laki-laki saja? Perlukah perempuan mengambil posisi untuk duduk bersama para laki-laki di kursi legislatif? Apa peran penting yang bisa diharapkan dari para perempuan yang berhasil duduk di sana?

Tiga masalah itulah yang hendak di uraikan dalam tulisan ini. Pertama, terkait masalah bila seluruh anggota dewan itu laki-laki semua. Pertama kali yang harus diuraikan di sini adalah persoalan konsep gender, antara nature dan nurture, antara bawaan dan konstruksi sosial, yaitu persoalan sekitar pertanyaan, apakah perbedaan antara sifat perempuan dan laki-laki itu disebabkan oleh perbedaan alami atau konstruksi sosial? Saya sendiri berpendapat bahwa perbedaan tersebut tidak melulu berdasar pada konstruksi sosial semata, di balik semua sifat perempuan, seperti mengasihi, memelihara, berkorban, dan sejenisnya itu, merupakan bawaan atau hal yang alami ada pada diri perempuan, bukan karena konstruksi sosial semata.

Rabu, 02 April 2014

BEHIND THE THESIS III: Saya dan Bakol Ikan

Saya dan teman-teman SMA setelah belajar Tafsir di bawah pohon palem
Di tengah gegap gempitanya berita kelulusan saya (lebay dikit lah ya...), melalui facebook, sms, dan telpon, saya dipertemukan kembali dengan teman-teman sekolah saya (teman aliyah/SMA) yang sudah hampir 11 tahun tidak bertemu sejak kelulusan. Awalnya hanya tersambung dengan satu teman, kemudian pesan berantai pun menyambungkan saya dengan beberapa teman dekat saya kala itu.

Banyak cerita terkisah dari mereka,

Selasa, 01 April 2014

BEHIND THE THESIS II: Gagal Melewati Tantangan Bentakan

setelah dua bulan di jakarta (13 november-13 januari), akhirnya kami pulang ke lampung dan tinggal menunggu jadual ujian promosi. taukah perasaan saya waktu itu saudara-saudara? lega! dab bahagia tentunya. saya merasa mendapati diri sendiri, anak, suami, dan semua kembali seperti semula. keakraban yang dua bulan menghilang, telah kembali. dan itu tidak dapat terganti.

sampai saat ini, saat saya menulis cerita ini, saya masih sering teringat bagaimana buruknya saya dalam menghadapi farras selama di jakarta.