Sabtu, 29 November 2014

Beraktivitas dengan Lagu

Farras sangat suka menyanyi meski pengucapan liriknya belum begitu jelas. Beberapa lagu sudah dihafalnya, seperti lagu Balonku, Kereta Api, Hujan, Naik-naik ke Puncak Gunung, Bintang Kecil, Pelangi-pelangi, Topi Saya Bundar, Bangun Pagi, Burung Kaka Tua, Cicak-cicak di Dinding, Dua Mata Saya, Kring-kring, Naik Delman, Satu-satu, dan beberapa lagu gubahan yang biasanya dipakai di TPA, seperti lagu-lagu Bahasa Arab, Inggris, dan lagu-lagu gubahan lainnya.

Kemampuan Farras menghafal lagu memang bagus. Dua atau tiga kali diperdengarkan sebuah lagu, Farras pasti sudah bisa menirukan. Saya sendiri tidak mempunyai sura yang bagus, tapi tetap saja Farras selalu minta saya menyanyi. Kalau semua lagu sudah dinyanyikan, dia minta lagu yang lain.

Jumat, 28 November 2014

Anak adalah Cerminan Dirimu

Gambar diambil dari sini

Di samping rumah saya, ada pohon ceri yang selalu berbuah dan mengundang para tetangga untuk mengmbil buahnya. Ada yang memang suka buka ceri, ada yang cuma sekedar iseng, dan ada pula yang mengmbil buah tersebut untuk makanan burung. Saya sih senang-senang saja karena lingkungan di sekitar rumah jadi selalu rame.

Suatu hari, ada salah satu tetangga yang biasa kami panggil opa bersama seorang cucunya sedang mencari buah ceri. TIba-tiba, si cucu yang berusia sekitar 4 tahun itu nyletuk, 'ah, mata opa belo sih, makanya ga liat ada buah mateng di sebelah situ.' Wuih... Bagi saya, kata-kata si bocah emapt tahun itu 'canggih' sekali untuk anak umuran empat tahun dan ditujukan untuk opanya. Saya sampai tercengang mendengarnya. Bagaimana lah pendidikan di rumah si bocah empat tahun ini sampai dengan begitu mudahnya dia mengucapkan kata-kata 'canggih' itu.

Rabu, 26 November 2014

Tentang Calistung-nya Farras

Menguji ketrampilan membolak-balik buku perhalaman
Sebelumnya, jangan membayangkan anak saya, Farras (2,5 tahun) sudah mampu membaca, menulis, atau berhitung. Tapi, cerita ini seputar kegiatan Farras dalam bidang akademik (katakankah begitu) dan juga pengalaman saya menemaninya.

Sebelum saya tercerahkan, saya dulu mempunyai obsesi kalau saya mempunyai anak, saya akan mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung sedini mungkin. Saya sempat membelikannya kartu-kartu yang berisi gambar dan tulisan di usianya yang belum genap 6 bulan. Saya tertarik dengan cerita teman tentang anaknya yang sudah bisa membaca sebelum usia dua tahun. Sampai akhirnya saya sadar setelah saya bergabung di grup-grup parenting dan pendidikan anak. Saya belajar bagaimana mendidik dan mengasuh anak dengan benar, termasuk di dalamya mendidik secara akademik, yang banyak menjelaskan dampak buruk mengajarkan calistung di usia dini. Ternyata obsesi saya sangatlah keliru. Itu murni keinginan saya. Egois sekali ya?

“Anggin Mas Aja! (Panggil Mas saja!)”

“Mas, ukan abang. (mas, bukan abang).” Begitu protes Farras kepada salah satu tetangga yang memanggilkan ‘abang’ untuk anaknya. Farras mau dipanggil ‘mas’, dan tidak mau dipanggil dengan panggilan lainnya, tidak ‘abang,’ tidak juga ‘kakak.’ Pantas saja, dia menggubah lagu Satu-satu.

“Tiga-tiga, sayang adik-mas, satu-dua-tiga, sayang semuanya.” Begitu lagu gubahan Farras. Saya sih nurut saja apa maunya si mas yang satu ini. Yang pasti banyak sekali keceriaan saat hamil kedua ini karena mempunyai si mas yang baik dan sangat perhahatian ini.

Minggu, 02 November 2014

Belajar dari Kasus MA; Catatan Ibu

Ini bukan masalah politik. Saya tidak punya kapasitas untuk menulis hal-hal yang berbau politik. Dari berita yang saya baca, si MA yang berprofesi sebagai tukang sate ini mengedit gambar Pak Jokowi dan Bu Mega dengan gambar porno. Ini bukan tentang saya membela Pak Jokowi atau karena pada pemilu lalu saya memilih Pak Jokowi. Yang lebih memprihatinkan bagi saya adalah kasus pornografinya, terlepas yang jadi korban itu Pak Jokowi atau bukan.

Jujur saja, saya sangat menyayangkan kasus ini menjadi alat politik bagi sebagian orang yang ingin mengambil keuntungan atau sekedar cari muka. Bagi saya pribadi, kasus pornografi adalah kejahatan besar yang menjadi hantu bagi generasi masa depan. Ini bukan kasus sepele atau kasus yang bisa dianggap sepele hanya karena yang menjadi korban adalah lawan politik, seperti yang dianggap oleh Pak Suryadharma Ali. Pelakunya juga tidak bisa dibela sedemikian rupa hanya karena yang menjadi korban adalah orang yang dibenci, seperti pembelaan yang dilakukan oleh segelintir orang atas nama solidaritas melawan penguasa. Kesalahan ini juga tidak bisa dianggap benar hanya karena yang melakukan adalah anak sendiri, seperti yang diinginkan oleh orang tua MA yang menyatakan bahwa MA adalah tulang punggung keluarga (memangnya kalau menjadi tulang punggung keluarga MA ini bebas melakukan kesalahan apa saja?)