Prolog
Tidak
bisa dipungkiri bahwa gerakan feminisme di Indonesia telah banyak berpengaruh
pada kehidupan bangsa Indonesia, baik pada level budaya, sosial, maupun
politik. Salah satunya adalah munculnya berbagai fenomena yang mungkin pada era
sebelumnya sama sekali tidak dikenal menjadi pemandangan yang biasa saat ini.
Hal ini dikarenakan adanya perubahan paradigma yang merupakan konsekuensi logis
dari persinggungan antar budaya dan pandangan hidup.
Feminisme
yang lahir di Negara Barat telah menjadi satu paham yang menyebar ke seluruh
penjuru dunia dengan segala responnya. Ia yang lahir dengan kompleksitas latar
belakangnya dan pengalaman telah menjadi “patokan” atas gerakan serupa di
negara-negara lain, baik di dunia keduia, bahkan pada dunia ketiga.
Adopsi
yang tanpa seleksi ini tentunya bukan tanpa resiko dan konsekuensi. Karena bagi
Indonesia yang memiliki karakteristik dan ciri khas yang membedakannya dengan
negara lain harus siap membayar mahal bila paham feminisme dengan pandangan
hidupnya dicatut tanpa disesuaikan dengan budaya dan latar belakang bangsa
Indonesia.
Tulisan
ini akan mencoba meneropong perjalanan gerakan feminisme di Indonesia dan
pengaruhnya terhadap perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Penilaian ini lebih
bersifat kritis atas gerakan feminisme dan pengaruh yang dibawa olehnya
terhadap bangsa Indonesia. Selanjutnya penulis –dengan subyektifitasnya dan
mencoba seobyek mungkin- akan memberikan tawaran bagi gerakan perempuan di
Indonesia, yang disesuaikan dengan pandangan hidup dan latar belakang budaya
yang dimilikinya.
Pengaruh
Feminisme Barat di Indonesia
Sejak
awal kemunculannya, feminisme –yang lahir seiring dengan modernisasi- telah
memberikan pengaruh yang cukup luas di negara-negara lain di dunia. Hal ini
bisa dilihat dengan pengkajian-pengkajian terhadap paham ini yang selalu merujuk pada revolusi industri sebagai
latar belakang kemunculannya. Kendati hal ini baru terlihat jelas ketika
gelombang gerakan feminisme itu memperbaharui arah dan gerakannya di
pertengahan abad 20an.
Di
Indonesia sendiri, seperti yang disinyalir oleh Mansour Fakih telah terdengar
sejak awal tahun 60-an dan menjadi isu dalam kaitannya dengan pembangunan pada
tahun 70-an. Lebih lanjut, Fakih memerinci tahapan gerakan feminisme ini pada
tiga dasawarsa yang saling bersambung. Pada dasawarsa pertama, sekitar
1975-1985, permasalahan gender belum dianggap sebagai masalah penting oleh
LSM-LSM. Tahap ini dinamakan tahap “pelecehan” dengan asumsi gerakan pada masa
itu belum melihat isu keperempuanan dengan analisis gender yang memadai,
sehinggna reaksi terhadap masalah ini sering menimbulkan konflik antaraktivisa
perempuan dan lainnya.
Pada
dasawarsa selanjutnya, sekitar 1985-1995, dinamakan dengan tahap pengenalan dan
pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud dengan analisis gender dan mengapa
gender menjadi masalah pembangunan.[1]
Pada tahap selanjutnya, dari 1995-hingga sekarang, gerakan feminisme telah
menjadi gerakan yang kuat dengan basis dan strategi yang matang. Dimana ia
telah diarahkan untuk menuju pengintegrasian gender ke dalam seluruh kebijakan
dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan.[2]
Analisis
di atas sangat terlihat dengan kemunculan LSM-LSM perempuan pada dasawarsa
terakhir dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Berbagai LSM memfokuskan diri
pada isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan melihatnya dari sisi yang
berlainan, bahkan terkadang antar satu LSM dengan LSM lainnya terdapat
pertentangan yang mendasar.
Pengaruh
lain dari feminisme di Indonesia adalah kemunculan berbagai pusat-pusat studi
wanita di berbagai lembaga pendidikan dan institusi sebagai bagian integral dan
institusi tersebut. Dari lembaga-lembaga pengkajian-pengkajian ini nantinya
akan lahir berbagai macam buku panduan yang ditulis berdasarkan riset dan
penelitian terhadap fenomena yang terkait dengan perempuan. Kendati gerakan
feminisme di lembaga-lembaga kejian tingkat akademis ini terkesan elitis, namun
ia cukup berpengaruh terhadap gerakan feminisme secara luas.
Pengaruh
yang lebih luas adalah kemunculan berbagai lembaga perempuan pada setiap
organisasi kemasyarakatan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Kendati ia
bukan pure feminisme, namun pengaruhnya terhadap perubahan paradigma dan
budaya tidak bisa diabaikan.
Di
tingkatan politik, gerakan feminisme telah menduduki posisi yang tidak bisa
diabaikan. Ia telah berhasil menelurkan berbagai kebijakan-kebijakan publik
yang pengaruhnya dirasakan oleh masyarakat luas.
Dampak
Feminisme di Indonesia
Feminisme
yang memfokuskan diri pada isu-isu perempuan telah begitu luas berpengaruh pada
masyarakat Indonesia. Ia bukan lagi sesuatu yang tabu. Bahkan pada era ini,
analisis gender menjadi mata analisis wajib pada setiap persoalan.
Di
tingkatan politik, analisis gender telah menelurkan berbagai undang-undang yang
secara khusus ditujukan untuk perbaikan nasib perempuan di Indonesia.
Undang-undang dibuat dengan asumsi bahwa selama ini telah terjadi banyak
diskriminasi terhadap perempuan dan
sudah saaatnya keadilan perempuan diperjuangkan dan diraih.
Dalam
dunia pendidikan, analisis gender telah banyak digunakan, sehingga segala
diskriminasi perempuan semakin hari semakin menipis. Dengan kesempatan yang
sama antara perempuan dan laki-laki ini, semakin banyak perempuan-perempuan
cerdas yang muncul dengan aktualisasi potensi dirinya. Dan fenomena perempuan
yang bekerja di ruang publik bukan hal yang asing lagi di Indonesia.
Di
sisi lain, feminisme telah banyak merubah paradigma dan budaya di Indonesia.
Kalau dahulu perempuan baik diasumsikan sebagai istri yang baik, ibu yang
mengurusi anak di rumah, dan pendidik utama bagi anak-anaknya, maka pandangan
tersebut kian hari kian hilang. Kampanye bahwa perempuan adalah sama dengan
laki-laki telah banyak menarik perempuan terjun ke dalam dunia laki-laki dan
meninggalkan dunianya.
Feminisme
yang mengagung-agungkan kebebasan perempuan juga telah memberikan dampak yang
luar biasa terhadap pergeseran budaya di Indonesia. Banyak perempuan yang
merasa bebas dan merdeka dengan segala tindakan yang dipilihnya, kendati itu
bertentangan dengan adat dan norma yang berlaku di Indonesia. RUU Pornografi
–terlepas dari kontroversinya- yang
menjadi isu utama antaraktivis feminis merupakan satu contoh dari pergeseran
budaya di Indonesia, dimana selama bertahun-tahun, baru sekali ini pornografi dipermasalahkan
bahkan menjadi isu pemisahan wilayah oleh beberapa kalangan di Indonesia.
Tidak
hanya sampai di situ, pengadopsian paham feminisme tanpa alienasi telah
menjadikan sebagian perempuan Indonesia “memusuhi” laki-laki. Budaya patriarki
juga menjadi musuh utama gerakan ini, sehingga tugas utrama para feminis ini
adalah penghancuran budaya patriarki itu sendiri. Dengan dalih keadilan dan
kesetaraan gender, mereka telah merubah tatanan yang mapan dipakai oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pilihan melajang
atau menjadi lesbian sengaja dipilih karena dianggap institusi keluarga telah
menjadikan perempuan terdiskriminasi. Dan kampanye untuk meninggalkan institusi
keluarga ini telah dan sedang digencarkan oleh sebagian feminis. Bisa
dibayangkan, bila kondisi seperti ini dibiarkan tanpa kontrol yang memadai,
keadaan Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan Negara-negara Barat, tempat di
mana feminisme muncul.
Munuju
Arah Baru Gerakan Perempuan di Indonesia
Indonesia
adalah Negara beragama dan berbudaya. Oleh karenanya, dalam pengadopsian suatu
paham, hendaknya disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia agar tidak
berbenturan dengan jati diri bangsa Indonesia. Hal ini bukan berate kita harus
menolak mentah-mentah segala yang berasal dari luar, karena proses pinjma
meminjam dalam peradaban adalah suatu yang wajar. Namun, bila ia tidak
disaring, maka yang terjadi adalah perusakan budaya asal.
Memang
tidak bisa dikatakan bila budaya patriarki tidak menimbulkan permasalahan
terhadap perempuan. Namun untuk menghadapinya, pemakaian teori-teori femnisme
secara penuh bukanlah jalan keluarnya. Menghindari institusi keluarga dan
menghancurkannya tentu bukan hal bijak dipakai sebuah solusi untuk
menghancurkan budaya patriarki. Beberapa teori feminisme yang disambung oleh
para aktivis perempuan juga bukan tanpa masalah. Di satu sisi mereka memberikan
solusi, namun solusi itu ternyata menjadi permasalahan baru. Maka kritik
terhadap gerakan feminisme ini akan selalu muncul, naik dari luar feminis
maupun dari dalam tubuh feminis itu sendiri. Lahirnya teori ekofeminisme dan
feminisme global adalah respon sekaligus evaluasi terhadap feminisme yang marak
di dunia.[3]
Namun, lagi-lagi kehadiran keduanya juga telah menjadi masalah baru dalam dunia
feminisme, karena kecenderungan mereka untuk mendominasi.[4]
Pada
masa ini dikenalkan paradigma feminisme multikultural, yang menekankan analisis
lokal yang kontekstual menjadi dasar analisis gerakan feminisme. Diskursus
feminis Barat yang menganggap perempuan sebagai kelompok koheren yang sudah
terbentuk dan dipandang sebagai suatu yang homogen oleh kacamata Barat telah
menjadi etnosentris yang berbahaya.[5]
Lebih lanjut, dalam feminisme multikultural ini menekankan perbedaan kondisi
perempuan yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan juga berbeda.[6]
Untuk
konteks Indonesia, mungkin teori feminisme multikultural ini lebih cocok dengan
keragaman budaya yang dimilikinya. Karena tentunya kurang bijak bila menjadikan
kacamata Barat untuk memandang permasalahan perempuan di Indonesia yang khas
dengan apandangan hidupnya. Dibutuhkan paradigma yang sesuai dengan nilai-nilai
agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Selanjutnya,
paradigma inklusif dari Ratna Megawangi saya kira cukup baik untuk dijadikan
solusi permasalahan gender di Indonesia. Berpijak pada cita-cita Kartini, Ratna
telah merumuskan bahwa relasi gender bukanlah model konflk yang berasumsi bahwa
pola relasi social selalu berdasarkan konflik penguasa (laki-laki) dan subordinate (perempuan). Ia lebih
cenderung mengartikan bahwa relasi yang ada antara laki-laki dan perempuan
adalah fungsional.[7]
Dikatakan pula bahwa pradigma ini selaras dengan pandangan sufisme Islam, yaitu
nama-nama keindahan dan keagungan Tuhan, yang dalam Taoisme disimbolkan dengan yin/yang.
Simbol ini menggambarkan kesatuan antara yin (kualitas feminine) dan yang
(kualitas maskulin). Kesatuan ini tidak menjadikan keduanya hilang
identitasnya, di mana masing-masing tetap mempunyai ciri khasnya, yaitu hitam (yang)
dan putih (yin). Bagian lekukan ke dalam sisi hitam akan diisi oleh
bagian sisi putih, dan begitu sebaliknya. Laki-laki dan perempuan berbeda untuk
menjalankan misinya masing-masing, tetapi untuk saling merengkuh mencapai satu
tujuan, yaitu kelangsungan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Selain
itu, simbol yin/yang tidak mutlak hitam dan putih. Di dalam yang hitam
masih ada kemungkinan mempunyai titik putih, kendati hitam adalah warna
dominannya, dan begitu pula sebaliknya.[8]
Di
sini letak kebijakan pandangan inklusif ini. Ketika laki-laki mempunyai sifat
kasih sayang, dan perempuan memiliki sifat pemimpin, ia adalah wujud dari
warna-warna yang masing dimilikinya, namun ia bukalah dominan. Ketika perempuan
telah sukses pada pekerjaannya, karena situasi, kondisi, umur misalnya harus
menjalankan peran keibuannya dan menjadi tergantung pada suaminya, maka ia akan
menjalankannya tanpa harus mengalami konflik batin dan merasa tersubordinasi.
Epilog
Akhirnya
gerakan feminisme di Indonesia haruslah disesuaikan dengan konteks local bangsa
Indonesia. Bila paradigma yang dipakai oleh femnis tetaplah sama –dengan kaca
mata Barat- maka gerakan ini akan selamanya menjadi wacana elit yang hanya
dimiliki oleh kalangan menengah ke atas.
Tentunya
ini akan bertentangan dengan cita-cita feminisme sendiri yang mengimpikan
perubahan nasib perempuan ke arah yang lebih baik.
[1] Mansour Fakih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet.
VII, hal. 160-163.
[2] Ibid.
[3] Ratna Megawangi, Membiarkan
Berbeda, Bandung: Mizan, 1998.
[4] Ibid.
[5] Manneke Budiman, Feminisme
Multikultural: Refleksi sekaligus Proyeksi dalam Perempuan Multikultural,
Jakarta: Desantara, 2005, hal. 75-87.
[6] Gadis Arivia, Teori
Multikultural dan Feminisme Global dalam Jurnal Perempuan, Edisi XIII,
Maret 2000.
[7] Ratna Megawangi, op.cit,
hal. 219.
[8] Sachiko Murata, The Tao of
Islam (terj), Bandung: Mizan, 2004, cet. XI, hal. 86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar