![]() |
sumber gambar |
Puasa saja belum kok sudah mikir mudik?
Iya, bagi kami pecinta alat transportasi seribu umat, kereta api, maka harus
siap-siap berburu tiket. Seperti tahun sebelumnya, tiket kereta api dibuka secara
online sejak 90 hari sebelum hari-H keberangkatan dimulai sejak pukul 00.01
dini hari.
Karena kelas yang kami pilih adalah kelas
bawah, kelas ekonomi maksudnya, maka perebutan kursi pun terasa panas. Bahkan untuk
hari-7, tiket kelas ekonomi langsung ludes hanya dalam waktu 15 menit saja. Untungnya
hari kepulangan kami sebelum hari-7, jadi tidak perlu begadang dan dag-dig-dug
berebut tiket pas pemesanan.
Memangnya mudik itu harus ya? Kami selalu
berusaha untuk mudik setiap lebaran. Dan memang hanya sekali saja kami tidak
mudik. Itu pun karena Farras masih berusia tiga bulan saat itu. Kami tidak mau
ambil resiko membawa bayi mungil itu menyebrangi lautan dan membelah daratan
untuk mudik. Bagi kami, mudik tidak sekedar mengobati rasa rindu pada keluarga
dan rumah masa kecil kami. Lebih dari itu, niat kami mudik adalah untuk
membahagiakan orang tua, terlebih sejak ada anak-anak, cucu-cucu mereka. Orang tua
mana sih yang tidak bahagia saat semua anak-anaknya berkumpul? Kakek-nenek mana
sih yang tidak bahagia saat para cucu datang dan merindukan mereka? Pastinya tidak
ada, kan. Karena itulah, dengan mudik ini sebisa mungkin kami berusaha untuk
membahagiakan mereka saat kesempatan membahagiakan itu masih ada.
Terus kenapa memilih kereta? Kelas ekonomi
pula. Jawabannya bisa Anda tebak dong. Irit dan hemat. Hemat kan pangkal kaya. Hihihi.
(Mudah-mudahan Allah benar-benar membuat kami kaya, terutama kaya hati. Amiiin).
Ya, hemat memang alasan utama. Dibanding bis apalagi pesawat, harga tiket
kereta memang lebih murah. Dengan dua anak tentu sangat berat bagi kami untuk
mudik dengan pesawat. Harga tiket pesawat pasti meroket saat lebaran. Kalau dipaksakan
naik pesawat, bagaimana kami bisa makan? Hahaha. Lebay. Sementara harga tiket
bis memang terjangkau. Selisihnya juga tidak banyak dengan tiket kereta. Tapi kami
pernah punya pengalaman buruk dengan kendaraan panjang itu. Farras pernah
tantrum kepanasan saat mudik pertama kali, waktu itu Farras berumur lima bulan.
Entah apa penyebabnya. Ada yang bilang karena aku, pikiranku kacau balau waktu
itu karena kepikiran abah yang di ICU. Ada juga yang bilang Farras tantrum
karena kelaparan, jadi ibu mertua memberi apa saja untuk mengenyangkannya. Ada juga
yang bilang bis itu ada ‘setan’ di roda belakangnya. Ada juga yang bilang kalau
bis itu panas dan memang keadaan di luar panas dan macet. Alasan terakhir
itulah yang paling masuk akal menurutku.
Pengalaman lain mudik dengan bis itu saat
dapat bis yang, aduh, masa di bis antarkota-antarprovinsi ada kecoanya? Kapok saya.
Tahun lalu, saat kami mudik dengan kereta, sementara saudara-saudara lain mudik
dengan bis, ternyata mereka terkatung-katung di jalan sampai tiga hari,
sementara kami sudah santai seperti di pantai sudah sampai di rumah, padahal
mereka berangkat lebih dulu. Jalur mudik tahun kemarin memang macet parah
karena Jembatan Comal yang putus. Dan kami yang naik kereta tentunya tidak
melewati jembatan itu dong. Hihihi.
Karena itulah kami dengan mantap memilih
naik kereta. Dari Lampung kami naik bis Damri ke Jakarta. Dari sana kami
sambung naik kereta. Kami sudah merasa nyaman dengan kereta yang sekarang. Tidak
perlu berebut kursi seperti dulu. Satu orang satu kursi, bahkan untuk anak kami
yang berusia tiga tahun dua bulan pun sudah wajib membeli satu kursi sendiri. Fasilitas
di kereta pun sudah jauh berubah. Toilet yang selalu bersih dan tersedia air, udara
yang sejuk dengan AC yang optimal, tidak ada lagi pedagang kecil yang berjualan
keliling di kereta (jangankan di kereta, di stasiun saja mereka tidak diizinkan
berdagang, untuk ini aku merasa kasihan dengan para pejuang hidup itu), dan
yakinlah, sudah tidak ada lagi manusia-manusia yang bertumpuk-tumpuk di antara
kursi-kursi di dalam kereta (kecuali kalau mereka yang menghendaki). Ditambah
lagi waktu tempuh kereta yang saat ini lebih pendek dari sebelumnya karena
dibangunnya dua jalur kereta. Ini bukan iklan dari PT. KAI lho ya, tapi ini
cerita pengalaman kami saat mudik tahun lalu.
Berapa jam yang akan kami tempuh? Lama tentunya.
Perjalanan dari Lampung-Jakarta kami tempuh selama 8 jam. Setelah itu kami
istirahat dan rencananya kami akan bermain di Monas sambil menunggu kereta kami
datang. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan dengan kereta selama kurang lebih
11 jam.
Yah... itulah salah satu perjuangan kami di
tanah rantau. Mudik tidak hanya butuh tenaga, tapi mudik juga membutuhkan biaya
(yang tidak sedikit. Biasanya orang di kampung menganggap para perantau itu
kaya dan banyak duitnya, jadi tradisinya, kami para perantau juga harus
menyiapkan angpau. Hihihi), dan yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan
mental.
Apa maksudnya persiapan mental saat mudik? Biasanya
momen lebaran adalah momen berkumpul, baik sanak saudara maupun teman lama. Ada
reuni, pertemuan keluarga, arisan, atau apalah namanya. Saat itulah ada rasa
ingin unjuk, unjuk gigi, unjuk keberhasilan, unjuk kesuksesan, bahkan unjuk
kemewahan. Jadi tidak salah kalau saudara dan sahabat di kampung menganggap
para perantau ini orang-orang yang ‘sukses’ dan menjadikan mereka merasa
minder. Sayangnya, tidak sedikit para perantau tersebut semakin menari di atas
angin dengan anggapan dan pujian para saudara dan sahabat tersebut. Kalau sudah
begitu, jarak antara para perantau dan saudara di kampung akan semakin lebar. Aku
tidak suka itu. Karenanya persiapan mental diperlukan untuk mendekatkan hati
yang menjauh, merekatkan kerinduan yang tercipta oleh jarak dan masa, juga
mencairkan kebekuan karena perpisahan.
Ayo! Saatnya berbenah dan bersiap untuk
mudik. Eh, masih dua bulan setengah lagi ding. Yang sangat tidak kalah
pentingnya adalah mabrurnya puasa yang menjadi ladang ujian bagi kita yang
bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar