Saya memang ibu muda, anak saya baru satu, Farras (17 bulan).
Namun, usia muda dan pengalaman pertama menjadi ibu, tidak menjadikan saya
pesimis dalam mendidik dan membesarkan sang buah hati. Sebaliknya, saya
mempunyai optimism yang tinggi dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik
dan membesarkannya. Modal saya yang utama adalah belajar. Saya terus belajar
dan membuka diri terhadap ilmu dan pengalaman-pengalaman baru dalam mendidik
anak.
Bagi saya, menjadi orang tua tidak sekedar takdir, yaitu
ketika saya melahirkan anak. Lebih dari itu, menjadi orang tua adalah suatu
amanah yang mulia, di mana saya menjadi manusia yang dipilih dan dipercaya oleh
Tuhan untuk dititipi seorang makhluk-Nya yang suci. Saya dan suami harus
bertanggung jawab untuk mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang
terbaik. Saya dan suami pun sangat berharap sang anak tidak menyesal menjadi
anak kami. Karena itulah kami berusaha untuk melakukan yang terbaik untuknya.
Pertama, perawatan
fisik terbaik. Pertama yang saya berikan kepada anak ketika ia lahir adalah
ASI. Ya, saya memberikan ASI eksklusif sesuai aturan pemerintah dan aturan
agama (agama Islam menganjurkan pemberian ASI selama dua tahun). Kendati
pemberian ASI secara eksklusif ini tidak mudah, terutama pada awal-awal
pemberian ASI, saya tidak pernah menyerah untuk terus memberikan ASI sebagai
makanan terbaik untuknya, terutama pada enam bulan pertama usia sang buah hati.
Saya memegang teguh fakta bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi dan tidak
menggantinya dengan makanan apapun pada enam bulan pertama. Saking keukeuh nya saya untuk memberikan ASI
eksklusif ini, saya bahkan dibilang ibu kuno dan jadul oleh tetangga-tetangga
saya. Saya juga dibilang pelit karena tidak memberikan makanan atau minuman
lain. Bagi saya, ini adalah tantangan. Sedapat mungkin saya sampaikan kepada
mereka yang belum memahami arti ASI eksklusif tentang manfaat ASI yang tidak
hanya merupakan kebutuhan pokok bayi dan tidak bisa diganti oleh makanan apapun,
tetapi lebih dari itu, ASI sangat berguna dalam pertumbuhan psikis dan
kecerdasan bayi.
Setelah program ASI eksklusif enam bulan setelesai, saya pun
memberikan makanan homemade sebagai
makanan pendamping ASI. Saya berusaha sebisa mungkin untuk memberikan
makanan-makanan alami yang penuh gizi dan menghindari makanan-makanan instan
yang tidak baik untuk bayi. Selain itu, saya memberikan imunisasi yang
direkomendasikan oleh pemerintah dan menjaga kesehatannya. Saya juga
membiasakan hidup yang alami kepada sang buah hati sejak dini dengan menggunakan
cloth diapers untuknya. Ini tidak
saja sekedar menghemat pengeluaran, tetapi lebih pada pemilihan gaya hidup yang
green yang saya harapkan mampu
diteladani olehnya.
Kedua, pendidikan
mental. Kalau perawatan fisik bisa dirasakan dan dilihat hasilnya, untuk
pendidikan mental atau pendidikan jiwa ini tidak bisa dirasakan secara instan.
Pendidikan jiwa yang saya dan suami berikan adalah penanaman nilai-nilai utama
kepada sang buah hati untuk nantinya nilai-nilai ini menjadi tali pegangan
dalam kehidupannya kelak.
Karena kami beragama Islam, nilai yang pertama kami tanamkan
adalah nilai tauhid. Sejak dini saya dan suami melibatkan sang buah hati dalam
ibadah-ibadah yang kami lakukan, membiasakannya berdoa dalam tiap perbuatan,
dan mengucapkan kalimat-kalimat indah dalam tiap kejadian. Selanjutnya, nilai
akhlak, seperti menghormati dan menyayangi orang tua, menyayangi orang lain,
menyayangi binatang, menyayangi tumbuhan, dan menjaga benda-benda lainnya. Saya
biasakan sang buah hati untuk tidak memukul, baik itu memukul kami, memukul
teman-temannya, memukul binatang, tidak merusak tumbuhan, dan merusak mainan,
buku, atau benda-benda lainnya. Sebaliknya, saya selalu katakana kepadanya,
“Farras sayang ibu, Farras sayang abah, Farras sayang teman-teman, Farras sayang
embah, Farras sayang bunga-bunga, Farras sayang kucing,” dan seterusnya. Hasilnya
luar biasa, di usia 17 bulan ini, Farras tidak terbiasa memukul, sebaliknya,
Farras sangat penyayang dan ramah terhadap sesame, sayang hewan, dan tumbuhan.
Nilai-nilai lain yang kami tanamkan kepadanya sejak dini
adalah aprisiasi diri dan orang lain. Saya sendiri mempunyai pengalaman buruk
ketika masih kecil dalam hal mengapresiasi diri. Belakangan saya sadar, bahwa
saat kecil saya dibullying oleh
lingkungan sekitar, terutama oleh keluarga besar saya sendiri. Mereka secara
sadar menggiring saya menjadi inferior karena selalu diremehkan, diabaikan,
dianggap tidak mampu seperti dan sejajar dengan mereka. Karena selalu mendapat
perlakuan yang tidak baik itu, orang tua saya (dengan segala keterbatasan
pengetahuan tentang parenting dan segala kecintaannya kepada saya) menarik diri
saya dari pertemuan-pertemuan keluarga besar dengan alasan mereka tidak ingin
saya diperlakukan buruk. Hasilnya, saya tumbuh menjadi pribadi yang minder,
tidak percaya diri, dan merasa tidak ada apa-apanya. Namun seiring berjalannya
waktu dan pengalaman merantau yang saya lalui, saya menemukan kepercayaan diri
yang tinggi dan akhirnya mampu berprestasi.
Karena pengalaman itulah, saya ingin mendidik sang buah hati
untuk menjadi pribadi yang penuh apresiasi diri, memahami dang menghargai
kemampuan diri, dan penuh percaya diri. Saya selalu memberikan tepuk tangan
ketika Farras berhasil melakukan hal-hal yang baru, seperti naik-turun tangga
tanpa jatuh, menyalakan kipas angin, berdoa ketika bangun tidur, dan lainnya. Saya
juga selalu mengucapkan terima kasih ketika Farras membantu pekerjaan-pekerjaan
saya, seperti mengambilkan sesuatu, membayarkan uang ketika belanja, memberikan
uang pada pengemis, dan lainnya. Hasilnya, Farras akan tersenyum bahagia setiap
tepuk tangan dan ucapan terima kasih saya berikan. Saya merasakan bahwa ia
merasa saya hargai dan setelah itu dia akan mencium saya. Saya yakin, jika
apresiasi diri ini dimiliki, maka sang buah hati nantinya akan mudah
mengapresiasi orang lain dan tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana.
Sikap lain yang tidak kalah penting saya tanamkan kepada
sang buah hati adalah sikap pantang menyerah. Sejak dini saya membiasakan sang
buah hati untuk mencoba apapun (selama tidak membahayakan jiwanya). Saya perkenalkan
konsep panas-dingin, kering-basah, berat-ringan, dan lainnya dengan langsung
mencobanya. Sebagai contoh, saya memintanya memegang air panas dalam gelas
dengan ujung jarinya. Maka setiap akan minum, Farras akan mnyentuhkan ujung
jarinya ke gelas untuk mengecek apakah air itu panas atau dingin. Sebagai juga
mencontohkan dan memperlihatkan pekerjaan-pekarjaan yang biasa saya lakukan dan
memintanya untuk membantu saya mengerjakannya. Karenanya, di usia 17 bulan
Farras terbiasa melakukan apapun sendiri (dalam pantauan saya tentunya),
seperti menuangkan air ke dalam gelas, makan sendiri, memakai bedak sendiri,
mengelap air yang tumpah (tanpa disuruh), dan lainnya. Dalam hal ini, saya
menerapkan kebiasaan untuk tidak segera membantunya ketika ia mengalami
kesulitan, seperti ketika ia belajar naik-turun tangga. Saya selalu memberikan
semangat kalau dia bisa melakukannya, dan pada akhirnya saya selalu
mengapresiasinya.
Farras bantu abah berkebun |
Itulah sekelumit cerita saya, pengalaman ibu muda yang masih
terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik. Di samping
pengalaman-pengalaman di atas, saya juga menerapkan pola asuh orang tua saya
yang saya anggap baik. Di anataranya, pertama,
selalu bersikap positif kepada anak. Orang tua saya tidak pernah mengatakan
saya dan adik-adik saya nakal meski dalam keadaan marah sekalipun. Ketika anak
melakukan kesalahan, maka orang tua saya selalu mengevaluasi diri di mana letak
kesalahan mereka dalam mendidik kami, dan kemudian minta maaf kepada kami atas
kesalahan mereka. Dengan cara ini, kesalahan itu tidak akan terulang.
Kedua, memisahkan permasalahan
anak dan orang tua. Orang tua saya tidak pernah ikut campur dalam prestasi
sekolah kami. Kami hanya dianjurkan belajar, tanpa dimarahi. Ketika kami
mendapat prestasi, mereka akan mengapresiasi, namun ketika kami gagal, orang
tua tidak ikut campur dalam mengatasinya, seperti memasukkan kami ke les-les
privat atau lainnya, karena bagi orang tua saya, kegagalan kami mendapat
prestasi bukan permasalahan mereka, tapi permasalahan kami sendiri. Ketika masih
kecil, saya menganggap orang tua saya sangat cuek dan tidak perhatian, namun
saat sudah besar, saya menyadari, tidakan orang tua saya tersebut sangat
mendidik saya dan adik-adik saya untuk mandiri dan bertanggung jawab.
Ketiga, tidak
memanjakan anak. Menyayangi anak tidak harus menuruti setiap
keinginan-keinginannya. Itulah prinsip orang tua saya dalam mendidik saya dan
adik-adik saya. Sejak kecil saya dan adik-adik sudah dilatih untuk mandiri dan
tidak dibiasakan untuk dilayani.
Akhirnya, menjadi orang tua adalah proses pembelajaran yang
terus menerus. Menjadi orang tua tidak cukup hanya dengan menyediakan
fasilitas-fasilitas materi yang dibutuhkan anak-anak. Lebih dari itu, menjadi
orang tua adalah menyiapkan anak-anak untuk hidup secara mandiri, menjadi pemimpin
bagi dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya.
Tulisan ini diikutsertakan dalam #LombaBlogNUB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar