‘Ketika
orang dewasa mendapatkan atasan yang buruk, mereka akan selalu punya pilihan
untuk mencari kerja lain. Atau yang paling buruk, resign dan menganggur. Anak? Ketika mereka mendapatkan orang tua
yang pemarah, mereka tidak dapat menggantinya.’
Itulah salah
satu tulisan yang berkesan dan membekas kuat dari buku Sabtu bersama Bapak yang
ditulis oleh Adhitya Mulya. Buku ini bisa dikategorikan novel tapi isi
kontennya lebih banyak mengarah pada buku parenting. Anda jangan membayangkan
isi buku yang berisi tentang tips-tips atau teori-teori parenting atau teori
psikologi di dalamnya. Karena bentuknya novel, semua pesan-pesan penting
seorang bapak kepada anaknya yang berisi nilai-nilai kehidupan dikemas dalam
sebuah cerita, di mana pesan-pesan tersebut disimpan dalam bentuk rekaman yang
bisa diputar berulang-ulang, bahkan ketika sang bapak sudah tiada.
Dalam cerita
tersebut, semua terasa direncanakan. Ya, sang bapak yang sudah didiagnosis
kanker menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama lagi sementara dua anak
laki-lakinya masih kecil. Karenanya dia memilih untuk merekam pesan-pesannya
yang berisi nilai-nilai kehidupan dalam bentuk video. Ini menyadarkan saya bahwa
tidak selamanya saya bersama anak-anak, bahwa tidak ada yang tau kapan umur
akan berakhir, dan saya merasa belum menyiapkan bekal apa-apa untuk kedua anak
laki-laki saya.
Ada banyak
pesan yang bagi saya berkesan dan saya garisbawahi, baik pesan tersebut tersirat
sebagai pesan sang bapak, maupun pesan tersurat yang penulis sampaikan dalam
rangkaian alur cerita. Di antaranya adalah pesan yang saya kutip di awal
tulisan. Ya, seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Kalau bisa
memilih, tentunya mereka akan memilih orang tua yang baik, tidak pemarah,
sabar, sayang, tidak suak membentak, pokoknya yang baik-baik deh. Tapi
kenyataannya, anak-anak itu tidak bisa memilih siapa yang menjadi orang tuanya.
Dan sayangnya, banyak orang tua yang menganggap anak adalah milik mereka secara
mutlak dan mereka berhak berlaku apa saja terhadap anak-anak nya, termasuk
memarahinya atau membentaknya.
Inilah yang
menyentak saya. Saya, yang masih terkadang keceplosan membentak anak-anak, pun
membayangkan anak-anak berkata kepada saya, ‘ibu, aku tidak mau jadi anak ibu
yang pemarah. Aku mau jadi anak ibu itu saja.’ Pastinya sangat sakit lah ya
seandainya anak-anak bicara seperti itu. Inilah yang harus terus saya perbaiki,
menjadi yang terbaik untuk anak-anak, seperti pesan yang dikutip Ellen Kristi,
“Anak-anak selayaknya memperoleh yang
terbaik dari ibu mereka: waktu-waktu ketika ia paling segar, paling siaga dalam
sehari itu.” ~ Charlotte Mason
(Vol. 1, hlm. 18).
Hal kedua yang bagi saya berkesan adalah kata-kata si
penulis tentang dunia anak. ‘terkadang bagi orang dewasa, apa yang dibincangkan
anak-anak terasa remeh, tapi bagi anak-anak, semua topik yang mereka bicarakan
tidak ada yang terasa remeh.’ Ya, itulah yang selalu saya usahakan,
mendengarkan segala yang dibicarakan Farras dengan sungguh-sungguh, dengan
menatap mata saat mendengarkannya, berada sejajar dengannya, dan menanggapinya
secara serius seolah-olah dia adalah teman sebaya saya. Tidak mudah memang
melakukan semua itu apalagi saat pekerjaan rumah menumpuk, tugas kuliah (saat
masih kuliah, dulu maksudnya), atau sedang mengerjakan sesuatu yang serius dan
anak mengajak bicara. Dan saya rasa, tidak banyak orang tua yang sabar
melakukan ini (bukan berarti saya juga orang yang selalu sabar). Tapi dampak
yang saya rasakan dari pola komunikasi ini sangat efektif. Farras selalu
berbicara tentang semua hal kepada saya, bahkan ketika dia sedih dan marah pun
dia bilang, “Ibu, Ais (Farras) sedih. Ibu marah terus.” Atau saat dia tidak mau
bermain dengan teman-temannya, “Ibu, Ais ga mau main sama abang. Abangnya mukul
Ais.” Ke depannya saya terus berharap bahwa keterbukaan ini akan terus terjaga
dan saya pun berharap bahwa Farras menjadikan kami tempat cerita pertama
tentang apapun.
Kesan ketiga yang bagi saya mendalam dan menohok adalah
tentang pengorbanan. Ini tentang seorang salah satu tokoh perempuan dalam
cerita tersebut yang ditawari suaminya untuk bekerja lagi di luar rumah karena
sang istri yang punya kemampuan dan potensi yang bagus dalam karir yang sempat
diraih sebelum mereka menikah. Agak malas sebenernya kalau saya mengulas
tentang ini, tentang ibu pekerja vs ibu yang tinggal di rumah, atau apalah
istilahnya. Kalau pembahasan ini diangkat, yang terjadi adalah perang abadi tak
berkesudahan. Tapi saya bukan hendak menyororti perang itu. Yang ingin saya
garis bawahi adalah kata-kata sang istri yang menolak tawaran izin suaminya.
“Anak-anak kita, bukan pengorbanan saya. Mereka adalah
pemberian.”
Mak jleb. Saya selama ini menganggap bahwa pilihan saya
di rumah adalah pengorbanan saya untuk anak-anak. Ya, dengan hanya berada di
rumah, saya merasa berkorban, berkorban cita-cita, ambisi, karir (jiaaah...kaya
pernah punya karir saja, hehehe), dan keinginan untuk dikenal dengan segala
karya. Dengan perngorbanan itu saya merasa telah menjadi pahlawan bagi
anak-anak saya. Tapi kata-kata sang istri di cerita tersebut telah menampar
saya. Anak-anak adalah anugerah bagi kami, orang tuanya. Sudah sepatutnya kami
merawat mereka, mendidik dan mengasuh mereka, bagaimanapun pola pengasuhannya. Kalau
saya memilih untuk membesarkan sendiri mereka, itu semata-mata cara yang saya
anggap terbaik. Tidak ada pengorbanan di sini. Mereka juga tidak menuntut
pengorbanan ini. Dan saya tidak lantas pantas dianggap seorang yang ‘wow’ atas
pilihan ini.
Lanjut sang istri, “setiap orang punya cara berbeda akan
bagaimana mereka merasa berharga. Dan ini semua hak mereka. Semua benar. Beberapa
orang merasa berharga jika mereka bekerja di kantor. Mungkin karena orangtua
mereka sudah capek-capek nyekolahin mereka. Beberapa mereka merasa berharga
jika mereka memastikan diri berada di rumah dan menjamin rumah tangga beres......
yang penting itu, bagaimana pun kita bekerja, anak-anak tidak kekurangan
perhatian orang tua.”
Lagi-lagi saya merasa ditampar. Merasa tidak berharga? Itu
yang kadang saya rasakan kala suntuk datang dan setan bersliweran. Saya ‘hanya’
berada di rumah, tanpa menghasilkan apa-apa. Masih lebih baik Mbak Yuni
tetangga sebelah yang lulusan SMA, yang bekerja dan bergaji. Saya ‘hanya’ di
rumah, tidak memberi manfaat bagi sesama, masih lebih baik Mbak Laila, teman
saya di kampung yang lulusan perguruan tinggi kecil di daerah, yang bisa
mengajar di almamater kami. Saya lulusan S2 di sebuah perguruan tinggi negeri
di ibu kota, dengan nilai cumlaude (pamer dikit boleh lah ya) pula, dan
nyatanya saya ‘hanya’ di rumah. Betapa tidak berharganya saya!
Untungnya perasaan itu hanya kadang-kadang saja datang
dan mengganggu saya. Melihat pertumbuhan Farras yang bagi saya sangat
membahagiakan, membuat rasa berharga itu saya genggam kembali. Mendengar anak-anak
tetangga yang memprihatinkan, membuat saya tidak ingin ‘menyerahkan’ anak-anak
ini pada pengasuhan tangan orang lain. Melihat ketenangan dan ridho suami saat
meninggalkan rumah untuk bekerja, membuat saya tenang dan percaya diri. Saya berharga!
Saya berharga bagi keluarga saya, bagi anak-anak saya, dan bagi suami saya. Oya,
dan bagi keempat orang tua kami, yang bangga atas cucu-cucunya.
Akhirnya, ada kata-kata penulis yang membuat saya
berlinang air mata, yaitu ketika sang anak yang sudah dewasa ingin menghabiskan
waktu dengan ibunya, ingin memastikan sang ibu istirahat dengan benar. “Sebagaimana
sang ibu memastikan dirinya tidur dengan benar saat dia masih kecil.” Pandangan
saya langsung tertuju pada Farras-Fawwaz yang terlelap di kedua sisi saya,
Farras-Fawwaz yang selalu tidur berdampingan di sisi kanan dan kiri saya. Semoga
saja kalian bisa merasakan cinta ibu yang begitu besar pada kalian, Nak. Aduh,
kalian.... ibu sayang kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar