Sabtu, 21 Maret 2015

Review "Sabtu Bersama Bapak"


‘Ketika orang dewasa mendapatkan atasan yang buruk, mereka akan selalu punya pilihan untuk mencari kerja lain. Atau yang paling buruk, resign dan menganggur. Anak? Ketika mereka mendapatkan orang tua yang pemarah, mereka tidak dapat menggantinya.’

Itulah salah satu tulisan yang berkesan dan membekas kuat dari buku Sabtu bersama Bapak yang ditulis oleh Adhitya Mulya. Buku ini bisa dikategorikan novel tapi isi kontennya lebih banyak mengarah pada buku parenting. Anda jangan membayangkan isi buku yang berisi tentang tips-tips atau teori-teori parenting atau teori psikologi di dalamnya. Karena bentuknya novel, semua pesan-pesan penting seorang bapak kepada anaknya yang berisi nilai-nilai kehidupan dikemas dalam sebuah cerita, di mana pesan-pesan tersebut disimpan dalam bentuk rekaman yang bisa diputar berulang-ulang, bahkan ketika sang bapak sudah tiada.

Dalam cerita tersebut, semua terasa direncanakan. Ya, sang bapak yang sudah didiagnosis kanker menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama lagi sementara dua anak laki-lakinya masih kecil. Karenanya dia memilih untuk merekam pesan-pesannya yang berisi nilai-nilai kehidupan dalam bentuk video. Ini menyadarkan saya bahwa tidak selamanya saya bersama anak-anak, bahwa tidak ada yang tau kapan umur akan berakhir, dan saya merasa belum menyiapkan bekal apa-apa untuk kedua anak laki-laki saya.

Ada banyak pesan yang bagi saya berkesan dan saya garisbawahi, baik pesan tersebut tersirat sebagai pesan sang bapak, maupun pesan tersurat yang penulis sampaikan dalam rangkaian alur cerita. Di antaranya adalah pesan yang saya kutip di awal tulisan. Ya, seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Kalau bisa memilih, tentunya mereka akan memilih orang tua yang baik, tidak pemarah, sabar, sayang, tidak suak membentak, pokoknya yang baik-baik deh. Tapi kenyataannya, anak-anak itu tidak bisa memilih siapa yang menjadi orang tuanya. Dan sayangnya, banyak orang tua yang menganggap anak adalah milik mereka secara mutlak dan mereka berhak berlaku apa saja terhadap anak-anak nya, termasuk memarahinya atau membentaknya.

Inilah yang menyentak saya. Saya, yang masih terkadang keceplosan membentak anak-anak, pun membayangkan anak-anak berkata kepada saya, ‘ibu, aku tidak mau jadi anak ibu yang pemarah. Aku mau jadi anak ibu itu saja.’ Pastinya sangat sakit lah ya seandainya anak-anak bicara seperti itu. Inilah yang harus terus saya perbaiki, menjadi yang terbaik untuk anak-anak, seperti pesan yang dikutip Ellen Kristi, “Anak-anak selayaknya memperoleh yang terbaik dari ibu mereka: waktu-waktu ketika ia paling segar, paling siaga dalam sehari itu.” ~ Charlotte Mason (Vol. 1, hlm. 18).

Hal kedua yang bagi saya berkesan adalah kata-kata si penulis tentang dunia anak. ‘terkadang bagi orang dewasa, apa yang dibincangkan anak-anak terasa remeh, tapi bagi anak-anak, semua topik yang mereka bicarakan tidak ada yang terasa remeh.’ Ya, itulah yang selalu saya usahakan, mendengarkan segala yang dibicarakan Farras dengan sungguh-sungguh, dengan menatap mata saat mendengarkannya, berada sejajar dengannya, dan menanggapinya secara serius seolah-olah dia adalah teman sebaya saya. Tidak mudah memang melakukan semua itu apalagi saat pekerjaan rumah menumpuk, tugas kuliah (saat masih kuliah, dulu maksudnya), atau sedang mengerjakan sesuatu yang serius dan anak mengajak bicara. Dan saya rasa, tidak banyak orang tua yang sabar melakukan ini (bukan berarti saya juga orang yang selalu sabar). Tapi dampak yang saya rasakan dari pola komunikasi ini sangat efektif. Farras selalu berbicara tentang semua hal kepada saya, bahkan ketika dia sedih dan marah pun dia bilang, “Ibu, Ais (Farras) sedih. Ibu marah terus.” Atau saat dia tidak mau bermain dengan teman-temannya, “Ibu, Ais ga mau main sama abang. Abangnya mukul Ais.” Ke depannya saya terus berharap bahwa keterbukaan ini akan terus terjaga dan saya pun berharap bahwa Farras menjadikan kami tempat cerita pertama tentang apapun.

Kesan ketiga yang bagi saya mendalam dan menohok adalah tentang pengorbanan. Ini tentang seorang salah satu tokoh perempuan dalam cerita tersebut yang ditawari suaminya untuk bekerja lagi di luar rumah karena sang istri yang punya kemampuan dan potensi yang bagus dalam karir yang sempat diraih sebelum mereka menikah. Agak malas sebenernya kalau saya mengulas tentang ini, tentang ibu pekerja vs ibu yang tinggal di rumah, atau apalah istilahnya. Kalau pembahasan ini diangkat, yang terjadi adalah perang abadi tak berkesudahan. Tapi saya bukan hendak menyororti perang itu. Yang ingin saya garis bawahi adalah kata-kata sang istri yang menolak tawaran izin suaminya.

“Anak-anak kita, bukan pengorbanan saya. Mereka adalah pemberian.”

Mak jleb. Saya selama ini menganggap bahwa pilihan saya di rumah adalah pengorbanan saya untuk anak-anak. Ya, dengan hanya berada di rumah, saya merasa berkorban, berkorban cita-cita, ambisi, karir (jiaaah...kaya pernah punya karir saja, hehehe), dan keinginan untuk dikenal dengan segala karya. Dengan perngorbanan itu saya merasa telah menjadi pahlawan bagi anak-anak saya. Tapi kata-kata sang istri di cerita tersebut telah menampar saya. Anak-anak adalah anugerah bagi kami, orang tuanya. Sudah sepatutnya kami merawat mereka, mendidik dan mengasuh mereka, bagaimanapun pola pengasuhannya. Kalau saya memilih untuk membesarkan sendiri mereka, itu semata-mata cara yang saya anggap terbaik. Tidak ada pengorbanan di sini. Mereka juga tidak menuntut pengorbanan ini. Dan saya tidak lantas pantas dianggap seorang yang ‘wow’ atas pilihan ini.

Lanjut sang istri, “setiap orang punya cara berbeda akan bagaimana mereka merasa berharga. Dan ini semua hak mereka. Semua benar. Beberapa orang merasa berharga jika mereka bekerja di kantor. Mungkin karena orangtua mereka sudah capek-capek nyekolahin mereka. Beberapa mereka merasa berharga jika mereka memastikan diri berada di rumah dan menjamin rumah tangga beres...... yang penting itu, bagaimana pun kita bekerja, anak-anak tidak kekurangan perhatian orang tua.”
Lagi-lagi saya merasa ditampar. Merasa tidak berharga? Itu yang kadang saya rasakan kala suntuk datang dan setan bersliweran. Saya ‘hanya’ berada di rumah, tanpa menghasilkan apa-apa. Masih lebih baik Mbak Yuni tetangga sebelah yang lulusan SMA, yang bekerja dan bergaji. Saya ‘hanya’ di rumah, tidak memberi manfaat bagi sesama, masih lebih baik Mbak Laila, teman saya di kampung yang lulusan perguruan tinggi kecil di daerah, yang bisa mengajar di almamater kami. Saya lulusan S2 di sebuah perguruan tinggi negeri di ibu kota, dengan nilai cumlaude (pamer dikit boleh lah ya) pula, dan nyatanya saya ‘hanya’ di rumah. Betapa tidak berharganya saya!

Untungnya perasaan itu hanya kadang-kadang saja datang dan mengganggu saya. Melihat pertumbuhan Farras yang bagi saya sangat membahagiakan, membuat rasa berharga itu saya genggam kembali. Mendengar anak-anak tetangga yang memprihatinkan, membuat saya tidak ingin ‘menyerahkan’ anak-anak ini pada pengasuhan tangan orang lain. Melihat ketenangan dan ridho suami saat meninggalkan rumah untuk bekerja, membuat saya tenang dan percaya diri. Saya berharga! Saya berharga bagi keluarga saya, bagi anak-anak saya, dan bagi suami saya. Oya, dan bagi keempat orang tua kami, yang bangga atas cucu-cucunya.


Akhirnya, ada kata-kata penulis yang membuat saya berlinang air mata, yaitu ketika sang anak yang sudah dewasa ingin menghabiskan waktu dengan ibunya, ingin memastikan sang ibu istirahat dengan benar. “Sebagaimana sang ibu memastikan dirinya tidur dengan benar saat dia masih kecil.” Pandangan saya langsung tertuju pada Farras-Fawwaz yang terlelap di kedua sisi saya, Farras-Fawwaz yang selalu tidur berdampingan di sisi kanan dan kiri saya. Semoga saja kalian bisa merasakan cinta ibu yang begitu besar pada kalian, Nak. Aduh, kalian.... ibu sayang kalian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar