Selasa, 02 Desember 2014

“Anakmu Bukan Milikmu”

Hati Ibu Seluas Samudera
Itulah pesan yang disampaikan ibu saat saya melahirkan anak pertama saya. Ibu bercerita panjang lebar tentang pengalamannya menjadi ibu dari delapan anak dan juga perasaan terhadap anak-anaknya. Memang dengan nada bercanda, namun saya merasakan ada kepedihan yang luar biasa di balik tawa dan senyumnya. “Anak memang delapan dalam hitungan, tapi yang tinggal di rumah cuma tinggal satu,” begitulah kira-kira.

Abah dan ibu dikaruniai delapan anak, satu anak yang meninggal di usia dua bulan. Saya sendiri adalah anak pertama. Sudah menjadi kebiasaan di keluarga kami, setelah kami lulus MI (madarasah ibtidaiyah), kami dikirim ke pesantren yang tidak jauh dari rumah. Sejauh ini, saya dan kelima adik saya menghabiskan enam tahun kami (saat bersekolah di SMP dan SMA) di pesantren, dan kemudian melanjutkan kuliah di kota yang berbeda. Saya melanjutkan kuliah di Jakarta, adik kedua saya melanjutkan kuliah di Kairo, adik ketiga, keempat, dan kelima melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Adik keenam masih sekolah, dan hanya adik bungsu kami yang masih tinggal di rumah karena masih sekolah di MI.

Sabtu, 29 November 2014

Beraktivitas dengan Lagu

Farras sangat suka menyanyi meski pengucapan liriknya belum begitu jelas. Beberapa lagu sudah dihafalnya, seperti lagu Balonku, Kereta Api, Hujan, Naik-naik ke Puncak Gunung, Bintang Kecil, Pelangi-pelangi, Topi Saya Bundar, Bangun Pagi, Burung Kaka Tua, Cicak-cicak di Dinding, Dua Mata Saya, Kring-kring, Naik Delman, Satu-satu, dan beberapa lagu gubahan yang biasanya dipakai di TPA, seperti lagu-lagu Bahasa Arab, Inggris, dan lagu-lagu gubahan lainnya.

Kemampuan Farras menghafal lagu memang bagus. Dua atau tiga kali diperdengarkan sebuah lagu, Farras pasti sudah bisa menirukan. Saya sendiri tidak mempunyai sura yang bagus, tapi tetap saja Farras selalu minta saya menyanyi. Kalau semua lagu sudah dinyanyikan, dia minta lagu yang lain.

Jumat, 28 November 2014

Anak adalah Cerminan Dirimu

Gambar diambil dari sini

Di samping rumah saya, ada pohon ceri yang selalu berbuah dan mengundang para tetangga untuk mengmbil buahnya. Ada yang memang suka buka ceri, ada yang cuma sekedar iseng, dan ada pula yang mengmbil buah tersebut untuk makanan burung. Saya sih senang-senang saja karena lingkungan di sekitar rumah jadi selalu rame.

Suatu hari, ada salah satu tetangga yang biasa kami panggil opa bersama seorang cucunya sedang mencari buah ceri. TIba-tiba, si cucu yang berusia sekitar 4 tahun itu nyletuk, 'ah, mata opa belo sih, makanya ga liat ada buah mateng di sebelah situ.' Wuih... Bagi saya, kata-kata si bocah emapt tahun itu 'canggih' sekali untuk anak umuran empat tahun dan ditujukan untuk opanya. Saya sampai tercengang mendengarnya. Bagaimana lah pendidikan di rumah si bocah empat tahun ini sampai dengan begitu mudahnya dia mengucapkan kata-kata 'canggih' itu.

Rabu, 26 November 2014

Tentang Calistung-nya Farras

Menguji ketrampilan membolak-balik buku perhalaman
Sebelumnya, jangan membayangkan anak saya, Farras (2,5 tahun) sudah mampu membaca, menulis, atau berhitung. Tapi, cerita ini seputar kegiatan Farras dalam bidang akademik (katakankah begitu) dan juga pengalaman saya menemaninya.

Sebelum saya tercerahkan, saya dulu mempunyai obsesi kalau saya mempunyai anak, saya akan mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung sedini mungkin. Saya sempat membelikannya kartu-kartu yang berisi gambar dan tulisan di usianya yang belum genap 6 bulan. Saya tertarik dengan cerita teman tentang anaknya yang sudah bisa membaca sebelum usia dua tahun. Sampai akhirnya saya sadar setelah saya bergabung di grup-grup parenting dan pendidikan anak. Saya belajar bagaimana mendidik dan mengasuh anak dengan benar, termasuk di dalamya mendidik secara akademik, yang banyak menjelaskan dampak buruk mengajarkan calistung di usia dini. Ternyata obsesi saya sangatlah keliru. Itu murni keinginan saya. Egois sekali ya?

“Anggin Mas Aja! (Panggil Mas saja!)”

“Mas, ukan abang. (mas, bukan abang).” Begitu protes Farras kepada salah satu tetangga yang memanggilkan ‘abang’ untuk anaknya. Farras mau dipanggil ‘mas’, dan tidak mau dipanggil dengan panggilan lainnya, tidak ‘abang,’ tidak juga ‘kakak.’ Pantas saja, dia menggubah lagu Satu-satu.

“Tiga-tiga, sayang adik-mas, satu-dua-tiga, sayang semuanya.” Begitu lagu gubahan Farras. Saya sih nurut saja apa maunya si mas yang satu ini. Yang pasti banyak sekali keceriaan saat hamil kedua ini karena mempunyai si mas yang baik dan sangat perhahatian ini.

Minggu, 02 November 2014

Belajar dari Kasus MA; Catatan Ibu

Ini bukan masalah politik. Saya tidak punya kapasitas untuk menulis hal-hal yang berbau politik. Dari berita yang saya baca, si MA yang berprofesi sebagai tukang sate ini mengedit gambar Pak Jokowi dan Bu Mega dengan gambar porno. Ini bukan tentang saya membela Pak Jokowi atau karena pada pemilu lalu saya memilih Pak Jokowi. Yang lebih memprihatinkan bagi saya adalah kasus pornografinya, terlepas yang jadi korban itu Pak Jokowi atau bukan.

Jujur saja, saya sangat menyayangkan kasus ini menjadi alat politik bagi sebagian orang yang ingin mengambil keuntungan atau sekedar cari muka. Bagi saya pribadi, kasus pornografi adalah kejahatan besar yang menjadi hantu bagi generasi masa depan. Ini bukan kasus sepele atau kasus yang bisa dianggap sepele hanya karena yang menjadi korban adalah lawan politik, seperti yang dianggap oleh Pak Suryadharma Ali. Pelakunya juga tidak bisa dibela sedemikian rupa hanya karena yang menjadi korban adalah orang yang dibenci, seperti pembelaan yang dilakukan oleh segelintir orang atas nama solidaritas melawan penguasa. Kesalahan ini juga tidak bisa dianggap benar hanya karena yang melakukan adalah anak sendiri, seperti yang diinginkan oleh orang tua MA yang menyatakan bahwa MA adalah tulang punggung keluarga (memangnya kalau menjadi tulang punggung keluarga MA ini bebas melakukan kesalahan apa saja?)

Sabtu, 18 Oktober 2014

Buku Kesukaan Farras

Buku The 7 Habits (atas) dan Bermain Bersama Tini (bawah)


Ada dua buku kesukaan Farras saat ini, buku Muhammad is My Prophet (Kisah Perjalanan Nabi Muhammad saw) dan buku The 7 Habits of Happy Kids. Buku pertama saya beli sebagai ganti buku tentang Nabi Muhammad yang selama ini saya-cari-cari tapi ternyata sudah tidak terbit lagi, yaitu Buku 365 Hari Bersama Nabi Muhammad saw yang menurut rekomendasi beberapa teman buku itu termasuk kategori living book. Karena sudah mentok tidak mendapatkan buku itu, akhirnya untuk sementara saya menggantinya dengan buku Kisah Nabi Muahammad yang mendekati kategori living book. 

Ada satu kisah yang paling diingat Farras dalam buku ini (meski belum tuntas saya membacakannya), yaitu kisah kelahiran Nabi Muhammad, saat pasukan Abrahah mencoba menghancurkan Ka'bah dengan tentara gajahnya. Dia meminta saya mengulang-ulang cerita itu. 'Bu, mau kuku (buku) Amad (Muhammad), ada gajah diempan (dilempar) batu sama uwung (burung), twus (terus) dibakan (dibakar) sama Allah,' begitu katanya.

Jumat, 17 Oktober 2014

Ayo Hidup Sederhana!



Masih ingat berita tentang jam tangan jenderal kita yang menjadi bahan pembicaraan di negeri tetangga? Sang Jenderal diberitakan memiliki jam tangan mewah yang berharga milyaran rupiah. Tapi kemudian Sang Jenderal membantah, bahwa jam tangan itu bukan jam tangan asli dan hanya jam tangan tiruan yang harganya ‘hanya’ pada kisaran jutaan saja. Entah, mana berita yang benar, yang pasti harga jam tangan itu mahal, entah itu satu milyar atau lima juta, harga itu banyak dirasa mahal untuk kebanyakan masyarakat kita.
 
Ada satu nilai dan sikap kehidupan yang nampaknya akhir-akhir ini ditinggalkan oleh para pesohor kita, baik itu pejabat maupun artis. Nilai tersebut adalah kesederhanaan. Sebagian besar dari mereka seringkali memamerkan gaya hidup mewah, komsumtif, dan berlimpahan harta benda melimpah. Dengan bangganya mereka memperlihatkan harta benda mahal, mulai sepatu dengan harga sekian juta, tas sekian ratus juta, motor sekian milyar, mobil mewah sekian triliun, dan seterusnya, seolah mereka adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Dikira Jualan Buku


Koleksi kami yang baru sedikit

Kalau membaca cerita-cerita klasik, maka tidak dapat tidak pasti kita menemui cerita tentang ruangan khusus membaca, menggambar, atau berdikusi yang dimiliki tiap tokoh, contohnya dalam roman Pride and Prejudice (Jane Austen). Atau paling tidak dikisahkan kegemaran tokoh utamanya pada buku. Sampai-sampai saya menyimpulkan bahwa pengetahuan dan kemampuan yang wajib dimiliki oleh anak-anak pada masa itu adalah pengetahuan sejarah, biografi, dan kemampuan membaca sastra dan puisi. Seorang anak (atau siapapun itu) baru dikatakan berpendidikan (beradab) bila menguasai ketiga hal tersebut. Menguasai di sini bukan hanya sekedar menghafal urutan tahun dalam sejarah, atau pandai menyairkan puisi lho ya, tetapi lebih dari itu, menguasai sejarah dan biografi adalah anak (atau seseorang) mampu mengambil pelajaran dari kedua subjek tersebut.

Jumat, 10 Oktober 2014

Inilah Pilihan Saya


Hastag perang ibu kembali ramai di dunia maya. Perang itu antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan segala poster dan gambar-gambar nyinyirnya. Yang satu menjelekkan yang lain dan merasa pilihannya lah yang paling benar. Biasanya ibu bekerja akan menggunakan argumen kemandirian. Sementara ibu rumah tangga menggunakan argumen surga.

Saya sendiri baru saja mengalami perdebatan ini di timeline saya, walau perdebatannya tidak seseru dan sesengit di timeline fanpage-fanpage yang menayangkan gambar-gambar penyulut perang. Dalam status terbaru yang saya tulis itu, saya mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan memilih secara bebas pilihan hidup saya. Saya memilih berada di rumah. Saya katakan bahwa pilihan ini bukan bangga-banggaan, tetapi lebih ungkapan rasa syukur karena saya tau, di luar sana ada banyak perempuan yang ‘terpaksa’ memilih meninggalkan anak dengan rasa sesak di dada.

Sabtu, 12 Juli 2014

Catatan Menyapih ala WWL



Akhirnya, aku bisa menuliskan pengalaman berharga dan terhitung hasil dari coba-coba yang melelahkan ini. hehehe. 

Karena pernah melakukan kesalahan dengan mengizinkan bidan memberikan susu formula di awal hari-hari Farras dan juga beberapa hari ikut-ikutan sang bidan memberikan susu formula, aku mulai bertekad untuk memberikan ASI eksklusif (meskipun banyak cibiran karena dianggap tega tidak memberikan makanan buat bayi sampai umur 6 bulan), melanjutkan ASI dan MPASI buatan sendiri (ini pun banyak yang menganggap aku kurang kerjaan karena sudah banyak makanan instan untuk bayi), dan menuntaskan ASI sampai dua tahun (lagi-lagi harus menghadapi cemoohan orang-orang ke Farras yang masih ngASI di usia yang mereka anggap sudah besar). 

Tentang Toilet Training dan Menyapih ala WWL

Akhir Maret lalu, aku merasa kelabakan sendiri karena usia Farras yang sudah 22 bulan lebih dan aku belum mempersiapkan diri untuk toilet training serta menyapihnya. Itu karena sejak awal November sampai awam Maret aku disibukkan dengan urusan penyelesaian kuliah, ujian-ujian menumpuk, sampai akhirnya diwisuda. Beberapa kali aku dan Farras juga harus bolak-balik Lampung-Jakarta untuk ursan ini. Jangankan kepikiran serius soal kebutuhan Farras, yang ada saat itu hanya fokus kuliah, lulus cepat, dan wisuda.

Akhirnya setelah semua urusan selesai, akhir Maret aku bertekad untuk memulainya. Dimulai dari usaha melatih Farras untuk toilet training dan secara bersamaan memulai sounding Farras untuk disapih ala WWL.

Sabtu, 17 Mei 2014

Mertua Vs Menantu: Berdamai dengan Mertua

Daun Lidah Mertua

Gara-gara dapat curhatan dari seorang teman tentang mertuanya, jadi pengen nulis tentang mertua dan pengalaman bermertua. Eh Bu, maaf ya, kisahmu aku jadiin topik bahasan. Sungkem dulu sama si Ibu. Tapi tenang saja Bu, nama dan tempat aku samarkan kok. Hihihi.

Dulu, sebelum nikah, aku mempunyai doa paket. Aku minta pada Allah untuk memberikan suami yang baik yang sepaket dengan mertua yang baik. Jujur saja, kata mertua bagiku waktu itu sangat menakutkan dan membuat aku sangat kuatir bila nanti aku mendapat mertua yang tidak 'pas' denganku. Jujur lagi, ketakutanku itu bukan tanpa alasan. Aku mempunyai cerita buruk tentang hubungan mertua dan menantu yang tidak baik yang imbasnya sangat luar biasa, tidak hanya sampai pada hubungan suami-istri, tetapi sampai pada anak atau bahkan cucu, dan aku ini adalah imbasnya.

Jumat, 16 Mei 2014

Menyikapi Perbedaan

Saya menghormati perbedaan dan saya pun menghormati orang yang berbeda dengan saya. Jangankan berbeda soal hal-hal yang kecil seperti perbedaan pengasuhan, ibu bekerja/ibu di rumah, ASI/susu formula, TV/anti TV, dan sejenisnya, orang yang berbeda mazhab atau bahkan berbeda agama pun saya hormati. Cara saya menghormatinya yaitu membiarkan mereka pada pendapat mereka, tidak memaksa mereka mengikuti cara pandang saya, dan tidak menjelek-jelekkan mereka. Saya baru bereaksi ketika mereka sudah menyinggung, menyalahkan, serta memaksa saya mengikuti cara pandang mereka. Kalau sudah begitu, saya pun akan bereaksi.

Kesannya pasif ya? Lalu apa peran dakwah sebagaimana dianjurkan agama? Sebelum ke sana, saya percaya, semua pandangan pasti didasarkan alasan yang logis. Nah, dalah hal alasan inilah pangkal perbedaan itu terjadi.

Kamis, 15 Mei 2014

Nek Wes Ngono Lho, Trus Njur Lapo?

Artinya, kalau sudah begitu lho, terus kenapa? Pertanyaan itu adalah untuk menjawab alasan dari segala sesuatu. Saya biasa memakai pertanyaan itu ketika saya hendak memilih sesuatu, melakukan sesuatu, atau bahkan menilai sesuatu. Ketika jawaban dari pertanyaan tersebut esensial, maka saya akan dengan keyakinan kuat melakukannya. Sebaliknya, bila jawaban dari pertanyaan tersebut hanya bersifat luaran, berarti saya menyimpulkan hal tersebut tidak penting.

Suatu hari, seorang kerabat bercerita kalau dia hendak membeli motr gede. Saya dan suami menyerankan untuk memikirkan ulang keinginannya, karena dia masih lajang dan hendak menikah. Lebih baik dia utamakan dulu persiapan rumah tangganya. Rupanya, masukan kami tidak didengar, dan jadilah motor gede dibeli. Saya dan suami kecewa tentunya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat. Saya nyletuk ke suami, 'emang kalau sudah punya motor gede lho terus lapo?' 'ya, gaya lah, dipandang orang, dan disungkani,' begitu kata suami. 'Nek sudah disungkani orang lho trus lapo? Bisa kenyang gitu? Bisa punya sumah gitu?' Jawab saya. 'hahaha... iya kali,' kata suami saya.

Minggu, 11 Mei 2014

Hidup Tanpa HP Pintar


Ceritanya, aku terpaksa mengganti HP karena HP lamaku rusak setelah dicemplungin Farras ke sayur asem panas. Untungnya, HP yang rusak itu HP murah, seharga enam porsi nasi bebek di Bandar Lampung. Tidak ada penyesalan kecuali beberapa nomor kontak yang tersimpan di memori HP lenyap seiring matinya HP.


Aku hanya tersenyum, sama sekali tidak marah, dan sempat tertawa melihat ekspresi Farras saat aku tanya di mana HPku. "HP di mam," katanya. Rupanya, HP sudah di mangkok sayur asem panas yang baru aku tuang dari priuk. 

Jumat, 09 Mei 2014

Selera Ndeso



Gini nih enaknya nikah dengan orang sekampung... ups... maksudnya nikah dengan orang yang sama-sama berasal dari kampung. Urusan selera makan, aku dan si Mas tidak banyak kendala. Selera makan kami sama, (ada yang beda ding, si Mas suka banget duren, dan aku sebaliknya), selera kampung, meskipun kami tinggal di kota (pinggiran kota maksudnya). Tapi, dibanding si Mas yang selera makannya benar-benar kuampung, aku masih doyan makanan-makanan yang kata orang makanan kota, kaya pizza, burger, dll.



Nah, urusan selera ini rupanya nurun ke Farras. Selera Farras yang lahir di kota, ternyata sangat kampungan. Makanan kesukaannya itu singkong dan segala olahan makanan dari singkong, mau itu singkong rebus, singkong goreng, singkong bakar, gethuk singkong, gimbal singkong, sampai kripik singkong. Selain singkong, Farras sangat suka nasi jagung plus sayur asem bandeng. *abahnya banget. Farras juga sangat suka nasi jagung lauk pepes pindang. *kalau ini ibunya banget.

Selasa, 08 April 2014

Masih Menolak Mempercepat Kiamat




Klik di sini untuk membaca cerita sebelumnya. Jadi alasan utama saya menolak usulan ibu dan abah untuk mengasuh Farras selama saya di Jakarta adalah saya tidak ingin merepotkan mereka, meskipun saya tau betul, mereka tulus dan pasti senang ada Farras di sana. Kata abah, di rumah sepi karena sekarang tinggal si bungsu, Ami saja. Kami berenam sudah tidak tigngal di rumah, sementara Ami sudah besar. Hari-harinya banyak di sekolah, ngaji, dan main. Ibu dan abah hanya kebagian sisa-sisa waktu bersama bungsu. Itupun banyak di waktu tidur. Jadi sangat wajar, ibu dan abah merasa kesepian. Bisa dibayangkan, sejak 28 tahun lalu terbiasa mengasuh anak, delapan anak pula (satu alm), dan kini bungsu sudah 10 tahun, pasti ada rasa kangen untuk mengasuh. (Pelajaran bagi saya untuk selalu menikmati tiap-tiap waktu bersama anak, karena suatu saat masa-masa ini akan menjadi kenangan yang dirindukan). 



Tapi bagi saya, sudah saatnya mereka istirahat dari urusan mengasuh balita atau batita. Sudah cukup dan bahkan berlebih upaya mereka mengasuh kami, dari kami di rahim hingga kami besar. Rasanya tidak pantas bagi saya untuk kembali membebankan pengasuhan anak saya kepada mereka, sementara saya merasa belum bisa berbuat apa-apa untuk mereka. Apalagi keberadaan saya di Jakarta saat itu tidak bisa dipastikan waktunya. 

Behind The Thesis IV: Menolak Mempercepat Kiamat

sumber gambar http://septhianienotes.blogspot.com
Dengan cerita ini, saya tidak hendak menghakimi siapa pun. Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan. Cerita ini hanya untuk sharing pengalaman saya. Tidak ada niat lebih.


Ceritanya, saat saya berniat untuk menyelesaikan kuliah dan pergi ke Jakarta, November lalu, ibu dan abah mengusulkan agar Farras diantarkan ke Lamongan saja, supaya saya bisa fokus. Dan terus terang, alasan keenganan saya untuk segera menyelesaikan kuliah dan pergi ke Jakarta adalah Farras dan abahnya. Kalau diingat-ingat, memikirkan untuk berpisah dan memisahkan Farras dari abahnya sungguh menyesakkan. Semakin sesak ditambah bayang-bayang meniggalkan Farras untuk mengurus ujian-ujian. Karena itulah, saya memutuskan untuk tidak menambah rasa 'nyesek' dengan menolak secara halus usulan ibu dan abah. Saya yakinkan kepada mereka kalau saya bisa menyelesaikan kuliah dengan tetap momong Farras sendiri. Insha Allah.

Senin, 07 April 2014

Aktualisasi Kualitas Feminin dari Caleg Perempuan: Menuju Indonesia Harmoni

Sebenarnya, apa masalahnya bila calon legislatif itu berasal dari kaum laki-laki saja? Perlukah perempuan mengambil posisi untuk duduk bersama para laki-laki di kursi legislatif? Apa peran penting yang bisa diharapkan dari para perempuan yang berhasil duduk di sana?

Tiga masalah itulah yang hendak di uraikan dalam tulisan ini. Pertama, terkait masalah bila seluruh anggota dewan itu laki-laki semua. Pertama kali yang harus diuraikan di sini adalah persoalan konsep gender, antara nature dan nurture, antara bawaan dan konstruksi sosial, yaitu persoalan sekitar pertanyaan, apakah perbedaan antara sifat perempuan dan laki-laki itu disebabkan oleh perbedaan alami atau konstruksi sosial? Saya sendiri berpendapat bahwa perbedaan tersebut tidak melulu berdasar pada konstruksi sosial semata, di balik semua sifat perempuan, seperti mengasihi, memelihara, berkorban, dan sejenisnya itu, merupakan bawaan atau hal yang alami ada pada diri perempuan, bukan karena konstruksi sosial semata.

Rabu, 02 April 2014

BEHIND THE THESIS III: Saya dan Bakol Ikan

Saya dan teman-teman SMA setelah belajar Tafsir di bawah pohon palem
Di tengah gegap gempitanya berita kelulusan saya (lebay dikit lah ya...), melalui facebook, sms, dan telpon, saya dipertemukan kembali dengan teman-teman sekolah saya (teman aliyah/SMA) yang sudah hampir 11 tahun tidak bertemu sejak kelulusan. Awalnya hanya tersambung dengan satu teman, kemudian pesan berantai pun menyambungkan saya dengan beberapa teman dekat saya kala itu.

Banyak cerita terkisah dari mereka,

Selasa, 01 April 2014

BEHIND THE THESIS II: Gagal Melewati Tantangan Bentakan

setelah dua bulan di jakarta (13 november-13 januari), akhirnya kami pulang ke lampung dan tinggal menunggu jadual ujian promosi. taukah perasaan saya waktu itu saudara-saudara? lega! dab bahagia tentunya. saya merasa mendapati diri sendiri, anak, suami, dan semua kembali seperti semula. keakraban yang dua bulan menghilang, telah kembali. dan itu tidak dapat terganti.

sampai saat ini, saat saya menulis cerita ini, saya masih sering teringat bagaimana buruknya saya dalam menghadapi farras selama di jakarta.

Senin, 31 Maret 2014

BEHIND THE THESIS I: Pantangan Selama Nesis



Akhirnya, aku pun menyelesaikan kuliah magisterku tanggal 27 Januari 2014, setelah genap 6 semester aku kuliah di SPs UIN Syarif. Kau tau rasanya? Seperti bisul yang meletus. Ya, plong. Serasa aku terlepas dari beban berat yang kupikul selama dua tahun terakhir (satu tahun kuliah dan dua tahun tahap penyelesaian tesis).

Selama dua tahun itu, tentu saja banyak yang terjadi dalam kehidupanku selain tesis. Dari hal kecil seperti hilangnya semua data-data tesis dan juga dua bab tesis sampai hal besar, yaitu lahirnya Farras. Ada juga cerita “magister koret-koret,”

Senin, 24 Maret 2014

Cinta, Jodoh, dan Nikah

Dalam status FB beberapa waktu yang lalu, saya menulis:
    "Jatuh cinta dan menikah adalah dua hal yang berbeda. Jatuh cinta tidak bisa     memilih sedangkan menikah adalah memilih. Di saat memilih itulah, ada hal-    hal yang perlu dipertimbangkan."
 
Niat hati sebenarnya ingin menyenggol seorang sabahat yang sedang ngotot dengan perasaannya dan ingin melanjutkan si perasaan kepada jenjang pernikahan. Si sahabat beranggapan bahwa perasaannya adalah benar dan jalan yang tepat untuk diteruskan ke jenjang pernikahan.
 
Status itu juga saya anggap sebagai perenungan yang dalam atas sebuah kata yang bernama "menikah."