Senin, 07 April 2014

Aktualisasi Kualitas Feminin dari Caleg Perempuan: Menuju Indonesia Harmoni

Sebenarnya, apa masalahnya bila calon legislatif itu berasal dari kaum laki-laki saja? Perlukah perempuan mengambil posisi untuk duduk bersama para laki-laki di kursi legislatif? Apa peran penting yang bisa diharapkan dari para perempuan yang berhasil duduk di sana?

Tiga masalah itulah yang hendak di uraikan dalam tulisan ini. Pertama, terkait masalah bila seluruh anggota dewan itu laki-laki semua. Pertama kali yang harus diuraikan di sini adalah persoalan konsep gender, antara nature dan nurture, antara bawaan dan konstruksi sosial, yaitu persoalan sekitar pertanyaan, apakah perbedaan antara sifat perempuan dan laki-laki itu disebabkan oleh perbedaan alami atau konstruksi sosial? Saya sendiri berpendapat bahwa perbedaan tersebut tidak melulu berdasar pada konstruksi sosial semata, di balik semua sifat perempuan, seperti mengasihi, memelihara, berkorban, dan sejenisnya itu, merupakan bawaan atau hal yang alami ada pada diri perempuan, bukan karena konstruksi sosial semata.


Dalam hal ini, ulasan Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam menarik untuk dikutip, bahwa dalam setiap ajaran, terdapat suatu keseimbangan antara dua kutub yang sering dianggap berseberangan, seperti aktif/pasif, pengasih/pemarah, atas/bawah, dan begitu juga laki-laki/perempuan. Murata berkesimpulan, bahwa pola-pola berlawanan sekaligus berkesimbangan yang dalam filsafat Cina disebut sebagai prinsip yin dan yang juga terdapat dalam ajaran Islam, terutama pada Nama-nama Allah. Dalam hal ini, Murata menyebut bahwa Nama Tuhan yang patriarkat termanifestasikan dalam segala sesuatu di alam semesta sebagai segala sesuatu yang aktif, seperti berkuasa, melimpahkan, dan sebagainya. Pada sisi sebaliknya, Tuhan juga mempunyai Nama-nama yang bersifat matriarkat yang pasif, seperti pengasih, penyayang, penerima, dan lainnya. Kaitannya dengan konsep gender, dalam sisi alamiah laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan mendasar yang kemudian menjadikan kedua jenis makhluk ini berbeda secara alami, di mana perbedaan tersebut tidak bisa dipertukarkan. Paling tidak, kedua jenis makhluk ini dapat dikatakan mempunyai kualitas dominan secara kodrati, yaitu laki-laki mempunyai kualitas maskulin dan perempuan mempunyai kualitas feminin.

Idealnya, dalam setiap sisi kehidupan, kedua kualitas ini berjalan seiring dan seimbang karena hanya dengan keseimbangan kehidupan manusia bisa menjadi kesatuan yang harmonis. Sayangnya, kualitas maskulin seringkali menempati proporsi yang lebih besar dibanding kualitas feminin. Dalam tataran kehidupan sosial, ketidakseimbangan ini nampak pada penekanan aspek kekuasaan. Yang terjadi kemudian adalah manusia berlomba-lomba untuk mencapai power, baik dalam bentuk materi, kekuasaan pada alam, dominasi pada sesama, dan ekploitasi. Akibatnya, terjadilah krisis multidimensi yang akut seperti kerusakan alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan makin banyaknya perempuan yang menelantarkan anaknya. Dalam hal ini, baik laki-laki dan perempuan terlihat ingin menguasai, mendominasi, mengeksploitasi segalanya. Semua itu adalah contoh nyata dari memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, pemeliharaan, penerima, pengorbanan, kepedulian, dan lainnya) dalam masyarakat.

Maka langkah yang harus dilakukan adalah persoalan kedua, perlukan perempuan ikut terlibat secara aktif bersama laki-laki dalam barisan kepemimpinan? Jawabannya adalah perlu. Sebagaimana diuraikan di atas, perempuan dalam kodratinya mempunyai kualitas dominan, yaitu kualitas feminin, seperti cinta, kepedulian, pemeliharaan, penerima, pengorbanan, dan lainnya. Kualitas-kualitas ini tentu saja sangat diperlukan untuk mewujudkan pemenuhan kepentingan masyarakat. Masyarakat dalam hal ini rakyat Indonesia membutuhkan para wakil yang mempunyai cinta yang tulus untuk rakyat, kepedulian yang ikhlas dalam melayani, serta pengorbanan sepenuh hati dari para pemimpinnya, bukan para pemimpin yang hanya bisa berkuasa, mengeksploitasi rakyat dan alamnya, dan kemudian mendominasi. Karena itulah, para caleg perempuan ini mempunyai posisi penting untuk menyeimbangkan kebijakan melalui kualitas instrinsic yang dimilikinya.

Maka persoalan ketiga, apa peran penting yang bisa diharapkan dari para perempuan yang berhasil duduk di sana, pun harus diwujudkan. Perempuan yang nantinya berhasil duduk di kursi legislatif diharapkan mampu mempertahankan kualitas femininnya dalam mewakili aspirasi rakyat, mengayomi kepentingan rakyat, memelihara dan peduli dengan nasib rakyat, bukan sebaliknya. Perempuan yang sudah berhasil duduk tidak semestinya menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk dalam perangkap sistem maskulin. Sehingga, rasa kepekaan hati tetap mewarnai setiap kebijakan yang menyangkut kehidupan dan kebutuhan rakyat. Dengan keseimbangan tersebut, diharapkan akan tercipta kebijakan yang seimbang, kepemimpinan yang harmonis, serta kehidupan yang egaliter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar