Selasa, 01 April 2014

BEHIND THE THESIS II: Gagal Melewati Tantangan Bentakan

setelah dua bulan di jakarta (13 november-13 januari), akhirnya kami pulang ke lampung dan tinggal menunggu jadual ujian promosi. taukah perasaan saya waktu itu saudara-saudara? lega! dab bahagia tentunya. saya merasa mendapati diri sendiri, anak, suami, dan semua kembali seperti semula. keakraban yang dua bulan menghilang, telah kembali. dan itu tidak dapat terganti.

sampai saat ini, saat saya menulis cerita ini, saya masih sering teringat bagaimana buruknya saya dalam menghadapi farras selama di jakarta. saya sempat menuliskannya.

Tangis Kedua karena Farras 

Aku berharap, keadaan emosionalku hari ini lebih baik dibanding kemarin. Ya, kemarin sore aku tidak bisa mengendalikan amarahku kepada Farras. Aku merasa begitu berat dalam mendidik dan mengasuh Farras. Hingga tak terasa air mataku tumpah. Ini untuk kedua kalinya setelah masa baby blues aku merasa berat karena Farras. 

Memang Farras tergolong anak yang anteng, tenang, dan tidak banyak berulah. Aku pun sangat bersyukur atas kondisinya itu. Tak jarang rasanya aku mensyukuri dan bangga atas Farras. Ditambah bonus pujian dari orang-orang tentang Farras yang rata-rata positif. Namun, di sini keadaannya berbeda. Kami sedang berada di rumah orang. Semua keadaan, emosi, ekspresi, tingkah, laku, serta semuanya harus disesuaikan dengan keadaan rumah dan si empunya rumah. Aku tidak bisa secuek dan senyaman saat berada di rumah dalam menghadapi Farras. Aku pun tidak bisa seenaknya sendiri bersikap sebagaimana saat aku berada di rumah. 

Dan di sini, untuk pertama kali aku mendengar cibiran serius untuk Farras. “Cengeng.” Begitulah kata si empunya rumah. Awalnya cibiran tersebut tak kuhiraukan dan aku anggap angin lalu. Namun nyatanya cibiran tersebut dianggap serius dan membuahkan satu sikap yang juga serius. Farras dianggap tidak ada dan tidak berharga. Sebagai ibunya, sikap tersebut sungguh mengganggu. Rasa tidak terima dan kecewa tentu saja tak bisa kuhindari. Tapi, nyatanya Farras membuatku begitu tidak nyaman dengan sikapnya yang bagiku berlebihan. Farras tidak bisa aku tinggal barang sedetik pun. Bahkan untuk sekedar ke kamar mandi yang tidak terkunci pun Farras merengek dan menangis. Setiap saat Farras selalu merengek dan membuat telingaku pecah dan bosan. Permintaannya pun macam-macam. 

Puncaknya terjadi kemarin sore. Rumah banjir. Seharusnya aku turun untuk membantu nguras banjir. Atau paling tidak aku ikut sedikit-sedikit bantu. Tapi, semua berlalu. Sedikit pun Farras tidak bisa ditinggal. Hanya bisa merengek dan menangis. Akhirnya, si empunya rumah terlihat kesal mengepel rumah. Aku sadar dia kesal dengan ulah Farras yang terus-menerus merengek. Hasilnya, emosiku tak bisa kutahan. Aku membentak Farras dengan keras dan meluapkan emosiku ke Farras dengan sebebas-bebasnya. Saaat itulah aku merasa menjadi seperti buto ijo yang jahat, atau seperti ibu tiri, atau semacamnya. Dan sayangnya, musuh yang aku hadapi adalah anakku sendiri. 

Sampai akhirnya aku ‘ngambek’ dan mengacuhkan dia. Sejak maghrib sampai jam 9 malam aku biarkan Farras dan cuek kepadanya. Aku menghindarinya karena tidak ingin marah dan membentaknya lagi. Aku ingin menenangkan diri. Aku tidak mau terus-terusan berada alam situasi ‘panas’ yang tentunya tidak sehat untuk kami berdua. Hasilnya, Farras memang gembira dengan buleknya. Dan aku pun lebih tenang dengan emosiku. Sampai jam 9, akhirnya Farras tersenyum melihat mataku yang terbuka dan dia minta aku menyandinginya tidur. Tapi tak lama kemudian, Farras di antara sadar dan tak sadar nangis dengan kencang tanpa sebab apapun. Dalam batinku, aku sadar tangisan Farras kala itu adalah ungkapan kemarahannya kepadaku yang telah beberapa jam menyuekinnya. Aku terima dan kami beristirahat bersama dan semalaman Farras mengasi tanpa bentakan sedikit pun dariku. Ciputat, 12/01/14 

bila aku ingat kejadian itu, rasanya saya ingin memutar waktu dan merubah keadaan. saya ingin lebih tenang, tidak emosional, dan sabar menghadapi farras. tapi, itu tidak mungkin terjadi. saya telah berbuat salah. saya telah menorehkan luka. dan saya telah membuatnya lara. hari-hari yang kami lalui di jakarta kala itu sungguh-sungguh tidak sehat. kami bisa saling tertawa, tetapi dalam sekejap, saya bisa marah. saya sadar sepenuhnya, saat itu farras juga tidak bahagia dengan emosi saya. itu sangat berbeda dengan keadaan kami sekarang ini. saya benar-benar bahagia, dan saya pun bisa melihat farras pun bahagia bersama saya.

bila saya pikir-pikir ulang, akar masalahnya satu, situasi yang membuat saya demikian. situasi saya yang stres dikejar-kejar waktu untuk cepat menyelesaikan ujian, situasi saya menghadi para penguji yang kadang tidak ramah, situasi saya berada di rumah orang yang tentu saja membuat saya "ewoh," situasi saya yang jauh dari suami yang biasanya selalu ada untuk tempat berbagi. sayangnya, saya hanya punya farras kecil yang menjadi korban dari semua situasi tersebut. sungguh itu adalah pengorbanan yang sangat tidak seimbang, kelulusan kuliah dengan menorehkan luka pada jiwa farras kecil yang tak berdosa. untuk ini, ibu sangat-sangat minta maaf ya nak! maafkan ibu yang belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu!

kini semua telah berlalu. saya sudah lepas dari semua situasi-situasi yang menyeramkan itu. saya menyesal dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan serupa untuk kedua kalinya. saya ingin bahagia bersama kebahagiaan farras dan abah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar