Rabu, 02 April 2014

BEHIND THE THESIS III: Saya dan Bakol Ikan

Saya dan teman-teman SMA setelah belajar Tafsir di bawah pohon palem
Di tengah gegap gempitanya berita kelulusan saya (lebay dikit lah ya...), melalui facebook, sms, dan telpon, saya dipertemukan kembali dengan teman-teman sekolah saya (teman aliyah/SMA) yang sudah hampir 11 tahun tidak bertemu sejak kelulusan. Awalnya hanya tersambung dengan satu teman, kemudian pesan berantai pun menyambungkan saya dengan beberapa teman dekat saya kala itu.

Banyak cerita terkisah dari mereka, mulai dari pernikahan, anak, pekerjaan, dan juga harapan-harapan. Posisi saya saat itu sedang bolak-balik Lampung-Jakarta-Lampung, karena setelah ujian tertutup saya pulang ke Lampung, tiga hari kemudian saya kembali ke Jakarta dan malamnya langsung balik ke Lampung, dan sebulan kemudian saya kembali ke Jakarta untuk wisuda. Jadi sedikit banyak mereka tau aktivitasku. Sedikit banyak pun mereka akhirnya tau aktivitas saya, masih sekolah.

Mereka bilang, saya ini sukses. Tapi dalam hati saya pun bertanya, sukses itu seperti apa sih? Mungkin bagi mereka, saya sukses karena masih terus bisa sekolah, merantau (merantau itu jalan kesuksesan, begitu pendapat sebagian orang, padahal mah ya, sama saja), dan ada satu hal yang dikatakan salah satu sahabat, "Mbak sukses lah ya, enak, bisa full menjadi ibu. Sementara saya harus ikut membantu suami bekerja." Satu lagi sentilan bagi saya untuk bisa lebih bersyukur.

Dari sekian cerita dari mereka, ada satu cerita sahabat yang membuat saya terharu sampai menitikkan air mata. Cerita ini datang dari Izza (bukan nama sebenarnya), sahabat selama 6 tahun selalu satu kelas dengan saya. Orangnya pinter, cantik, baik, ngemong, dan luwes. Saya dulu selalu merasa seperti adiknya karena sifatnya yang selalu ngemong dan penyabar. 

Kabar terakhir yang saya dengar sebelum akhirnya tersambung lagi, dia tidak melanjutkan kuliah dan memutuskan untuk menikah dengan laki-laki pilihannya. Pernikahannya tidak dirayakan secara besar-besaran, bahkan guru-guru kami di sekolah dulu pun tidak ada yang diundang. Saya tidak tau pasti alasan Izzah dalam hal ini.

Saat saya menikah, saya masih mencoba menghubunginya dan tersambung. Saya kabarkan ke dia kalau saya akan menikah dan kemungkinan akan tinggal di Lampung. Saat itu dia cerita sedikit kondisi suaminya yang sakit-sakitan. Saya pikir, hanya sakit biasa yang bisa sembuh dalam hitungan hari atau bulan.

Tapi ternyata tidak. Suami Izzah ternyata menderita penyakit yang susah disembuhkan. Sudah macam-macam penyakitnya. Kata salah satu teman, ternyata si Izzah sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak awal menikah sekitar 8 tahun lalu karena suaminya sudah sakit sejak saat itu dan tidak kunjung sembuh. Pernah sekali sembuh dan sampai bisa mengendarai motor, tapi itu cuma sekali dan sejak sat itu penyakitnya kian parah. Kabar terakhir, kondisi suami Izzah sudah semakin memburuk, sudah tidak bisa tidur berbaring dan hanya bisa duduk saja, kehilangan salah satu penglihatannya, tidak bisa berjalan, dan hanya bisa menjadi kembang bayang, begitu kata teman.

Tau kah apa yang dilakukan Izzah dalam situasinya saat ini, sodara-sodara? Izzah kini bekerja sebagai bakol ikan, penjual ikan di pasar Lamongan. Di pagi buta dia akan keliling ke kampung-kampung untuk mencari petani yang panen ikan, kemudian membawa ikan-ikan yang dibelinya dari petani itu ke pasar ikan dengan mobik pick up. Dia selalu memakai capil pelindung kepala yang lebar karena daerah kami memang sangat panas. Setelah menjual ilan-ikannya, dia kemudian pulang, mengurus anak, suami, dan sekarang semua itu dilakukannya sendiri karena sang mertua yang biasa membantu mengurus suami sudah meniggal. Tidak hanya itu, Izzah juga akan mengajak suaminya jalan-jalan sore dengan memboncengnya. Izzah juga akan mengajak suaminya ke acara-acara, seperti pasar malam, pasar rakyat, dan acara lainnya meski keduanya hanya duduk-duduk karena sang suami sudah tidak bisa berjalan. Untuk keperluan sehari-hari sang suami, seperti mandi, buang air, makan, dan lainnya, jangan ditanya lagi bagaimana cara Izzah melakukannya.

Sejak SMP, Izzah sudah mengasuh adiknya karena kedua orang tuanya merantau ke Malaysia sebagai TKI. Izzah sudah seperti bapak-ibu bagi si adik. Saat duduk di bangku aliyah, Izzah kemudian merawat kakaknya yang sakit parah karena kedua orang tuanya masih di Malaysia sampai akhirnya sang kakak meninggal dunia. Tak lama sesudah itu, Izzah menikah dan begitulah, ia kembali harus merawat orang sakit. Seolah takdir Izzah diciptakan di dunia ini adalah untuk merawat orang-orang yang dicintainya.

Hubungannya dengan saya? Memang tidak ada. Hanya saja, kami mempunyai mimpi yang sama ketika kami masih sama-sama sekolah dulu. Dia yang selalu menjadi rival peringkat saya juga mempunyai cita-cita yang tinggi, ingin melanjutkan kuliah, menjadi guru, dan mengajar. Sementara saya, dengan mulus bisa mewujudkan mimpi. Saya diizinkan merantau dan kuliah di ibu kota, melanjutkan s2, dan bertakdir dengan suami yang tidak mengharuskan saya bekerja sehingga bisa full mengasuh dan mendidik anak.

Apakah saya lebih sukses? Mungkin dari sisi akademis, iya. Tapi dari sisi kehidupan yang lebih luas, dari sisi nilai yang dicatat Sang Pencipta, seperti pengorbanan, keikhlasan, kerelaan, kepasrahan, dan juga semangat berusaha, saya merasa sangat kerdil dibanding Izzah. Saya merasa tidak ada apa-apanya. Akademis hanya strata yang dinilai manusia, sementara nilai-nilai kehidupan yang dimiliki Izzah, Allah lah yang melihat dan menilainya. Apa yang saya raih sungguh tidak ada apa-apanya dibanding raihan Izzah. 

Saya langsung teringat dengan suami tercinta. Ah... saya merasa bersalah karena terkadang masih ada rasa tidak bersyukur atasnya, kadang masih ada rasa kecewa, sakit hati, dan mengeluh atasnya. Padahal semua telah dia berikan kepada saya, kepada Farras, dan keluarga kecil kami. Maafkan aku Mas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar