Kamis, 25 April 2013

Arah Baru Gerakan Perempuan di Indonesia; Tinjauan Kritis atas Feminisme di Indonesia

Prolog

Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan feminisme di Indonesia telah banyak berpengaruh pada kehidupan bangsa Indonesia, baik pada level budaya, sosial, maupun politik. Salah satunya adalah munculnya berbagai fenomena yang mungkin pada era sebelumnya sama sekali tidak dikenal menjadi pemandangan yang biasa saat ini. Hal ini dikarenakan adanya perubahan paradigma yang merupakan konsekuensi logis dari persinggungan antar budaya dan pandangan hidup.

Feminisme yang lahir di Negara Barat telah menjadi satu paham yang menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan segala responnya. Ia yang lahir dengan kompleksitas latar belakangnya dan pengalaman telah menjadi “patokan” atas gerakan serupa di negara-negara lain, baik di dunia keduia, bahkan pada dunia ketiga.

Adopsi yang tanpa seleksi ini tentunya bukan tanpa resiko dan konsekuensi. Karena bagi Indonesia yang memiliki karakteristik dan ciri khas yang membedakannya dengan negara lain harus siap membayar mahal bila paham feminisme dengan pandangan hidupnya dicatut tanpa disesuaikan dengan budaya dan latar belakang bangsa Indonesia.

Tulisan ini akan mencoba meneropong perjalanan gerakan feminisme di Indonesia dan pengaruhnya terhadap perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Penilaian ini lebih bersifat kritis atas gerakan feminisme dan pengaruh yang dibawa olehnya terhadap bangsa Indonesia. Selanjutnya penulis –dengan subyektifitasnya dan mencoba seobyek mungkin- akan memberikan tawaran bagi gerakan perempuan di Indonesia, yang disesuaikan dengan pandangan hidup dan latar belakang budaya yang dimilikinya.

Pengaruh Feminisme Barat di Indonesia

Sejak awal kemunculannya, feminisme –yang lahir seiring dengan modernisasi- telah memberikan pengaruh yang cukup luas di negara-negara lain di dunia. Hal ini bisa dilihat dengan pengkajian-pengkajian terhadap paham ini yang  selalu merujuk pada revolusi industri sebagai latar belakang kemunculannya. Kendati hal ini baru terlihat jelas ketika gelombang gerakan feminisme itu memperbaharui arah dan gerakannya di pertengahan abad 20an.

Di Indonesia sendiri, seperti yang disinyalir oleh Mansour Fakih telah terdengar sejak awal tahun 60-an dan menjadi isu dalam kaitannya dengan pembangunan pada tahun 70-an. Lebih lanjut, Fakih memerinci tahapan gerakan feminisme ini pada tiga dasawarsa yang saling bersambung. Pada dasawarsa pertama, sekitar 1975-1985, permasalahan gender belum dianggap sebagai masalah penting oleh LSM-LSM. Tahap ini dinamakan tahap “pelecehan” dengan asumsi gerakan pada masa itu belum melihat isu keperempuanan dengan analisis gender yang memadai, sehinggna reaksi terhadap masalah ini sering menimbulkan konflik antaraktivisa perempuan dan lainnya.

Pada dasawarsa selanjutnya, sekitar 1985-1995, dinamakan dengan tahap pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud dengan analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan.[1] Pada tahap selanjutnya, dari 1995-hingga sekarang, gerakan feminisme telah menjadi gerakan yang kuat dengan basis dan strategi yang matang. Dimana ia telah diarahkan untuk menuju pengintegrasian gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan.[2]

Analisis di atas sangat terlihat dengan kemunculan LSM-LSM perempuan pada dasawarsa terakhir dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Berbagai LSM memfokuskan diri pada isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan melihatnya dari sisi yang berlainan, bahkan terkadang antar satu LSM dengan LSM lainnya terdapat pertentangan yang mendasar.

Pengaruh lain dari feminisme di Indonesia adalah kemunculan berbagai pusat-pusat studi wanita di berbagai lembaga pendidikan dan institusi sebagai bagian integral dan institusi tersebut. Dari lembaga-lembaga pengkajian-pengkajian ini nantinya akan lahir berbagai macam buku panduan yang ditulis berdasarkan riset dan penelitian terhadap fenomena yang terkait dengan perempuan. Kendati gerakan feminisme di lembaga-lembaga kejian tingkat akademis ini terkesan elitis, namun ia cukup berpengaruh terhadap gerakan feminisme secara luas.

Pengaruh yang lebih luas adalah kemunculan berbagai lembaga perempuan pada setiap organisasi kemasyarakatan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Kendati ia bukan pure feminisme, namun pengaruhnya terhadap perubahan paradigma dan budaya tidak bisa diabaikan.

Di tingkatan politik, gerakan feminisme telah menduduki posisi yang tidak bisa diabaikan. Ia telah berhasil menelurkan berbagai kebijakan-kebijakan publik yang pengaruhnya dirasakan oleh masyarakat luas.

Dampak Feminisme di Indonesia

Feminisme yang memfokuskan diri pada isu-isu perempuan telah begitu luas berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Ia bukan lagi sesuatu yang tabu. Bahkan pada era ini, analisis gender menjadi mata analisis wajib pada setiap persoalan.

Di tingkatan politik, analisis gender telah menelurkan berbagai undang-undang yang secara khusus ditujukan untuk perbaikan nasib perempuan di Indonesia. Undang-undang dibuat dengan asumsi bahwa selama ini telah terjadi banyak diskriminasi  terhadap perempuan dan sudah saaatnya keadilan perempuan diperjuangkan dan diraih.

Dalam dunia pendidikan, analisis gender telah banyak digunakan, sehingga segala diskriminasi perempuan semakin hari semakin menipis. Dengan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki ini, semakin banyak perempuan-perempuan cerdas yang muncul dengan aktualisasi potensi dirinya. Dan fenomena perempuan yang bekerja di ruang publik bukan hal yang asing lagi di Indonesia.

Di sisi lain, feminisme telah banyak merubah paradigma dan budaya di Indonesia. Kalau dahulu perempuan baik diasumsikan sebagai istri yang baik, ibu yang mengurusi anak di rumah, dan pendidik utama bagi anak-anaknya, maka pandangan tersebut kian hari kian hilang. Kampanye bahwa perempuan adalah sama dengan laki-laki telah banyak menarik perempuan terjun ke dalam dunia laki-laki dan meninggalkan dunianya.

Feminisme yang mengagung-agungkan kebebasan perempuan juga telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap pergeseran budaya di Indonesia. Banyak perempuan yang merasa bebas dan merdeka dengan segala tindakan yang dipilihnya, kendati itu bertentangan dengan adat dan norma yang berlaku di Indonesia. RUU Pornografi –terlepas dari kontroversinya-  yang menjadi isu utama antaraktivis feminis merupakan satu contoh dari pergeseran budaya di Indonesia, dimana selama bertahun-tahun,  baru sekali ini pornografi dipermasalahkan bahkan menjadi isu pemisahan wilayah oleh beberapa kalangan di Indonesia.

Tidak hanya sampai di situ, pengadopsian paham feminisme tanpa alienasi telah menjadikan sebagian perempuan Indonesia “memusuhi” laki-laki. Budaya patriarki juga menjadi musuh utama gerakan ini, sehingga tugas utrama para feminis ini adalah penghancuran budaya patriarki itu sendiri. Dengan dalih keadilan dan kesetaraan gender, mereka telah merubah tatanan yang mapan dipakai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pilihan melajang atau menjadi lesbian sengaja dipilih karena dianggap institusi keluarga telah menjadikan perempuan terdiskriminasi. Dan kampanye untuk meninggalkan institusi keluarga ini telah dan sedang digencarkan oleh sebagian feminis. Bisa dibayangkan, bila kondisi seperti ini dibiarkan tanpa kontrol yang memadai, keadaan Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan Negara-negara Barat, tempat di mana feminisme muncul.



Munuju Arah Baru Gerakan Perempuan di Indonesia

Indonesia adalah Negara beragama dan berbudaya. Oleh karenanya, dalam pengadopsian suatu paham, hendaknya disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia agar tidak berbenturan dengan jati diri bangsa Indonesia. Hal ini bukan berate kita harus menolak mentah-mentah segala yang berasal dari luar, karena proses pinjma meminjam dalam peradaban adalah suatu yang wajar. Namun, bila ia tidak disaring, maka yang terjadi adalah perusakan budaya asal.

Memang tidak bisa dikatakan bila budaya patriarki tidak menimbulkan permasalahan terhadap perempuan. Namun untuk menghadapinya, pemakaian teori-teori femnisme secara penuh bukanlah jalan keluarnya. Menghindari institusi keluarga dan menghancurkannya tentu bukan hal bijak dipakai sebuah solusi untuk menghancurkan budaya patriarki. Beberapa teori feminisme yang disambung oleh para aktivis perempuan juga bukan tanpa masalah. Di satu sisi mereka memberikan solusi, namun solusi itu ternyata menjadi permasalahan baru. Maka kritik terhadap gerakan feminisme ini akan selalu muncul, naik dari luar feminis maupun dari dalam tubuh feminis itu sendiri. Lahirnya teori ekofeminisme dan feminisme global adalah respon sekaligus evaluasi terhadap feminisme yang marak di dunia.[3] Namun, lagi-lagi kehadiran keduanya juga telah menjadi masalah baru dalam dunia feminisme, karena kecenderungan mereka untuk mendominasi.[4]

Pada masa ini dikenalkan paradigma feminisme multikultural, yang menekankan analisis lokal yang kontekstual menjadi dasar analisis gerakan feminisme. Diskursus feminis Barat yang menganggap perempuan sebagai kelompok koheren yang sudah terbentuk dan dipandang sebagai suatu yang homogen oleh kacamata Barat telah menjadi etnosentris yang berbahaya.[5] Lebih lanjut, dalam feminisme multikultural ini menekankan perbedaan kondisi perempuan yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan juga berbeda.[6]

Untuk konteks Indonesia, mungkin teori feminisme multikultural ini lebih cocok dengan keragaman budaya yang dimilikinya. Karena tentunya kurang bijak bila menjadikan kacamata Barat untuk memandang permasalahan perempuan di Indonesia yang khas dengan apandangan hidupnya. Dibutuhkan paradigma yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.

Selanjutnya, paradigma inklusif dari Ratna Megawangi saya kira cukup baik untuk dijadikan solusi permasalahan gender di Indonesia. Berpijak pada cita-cita Kartini, Ratna telah merumuskan bahwa relasi gender bukanlah model konflk yang berasumsi bahwa pola relasi social selalu berdasarkan konflik penguasa (laki-laki)  dan subordinate (perempuan). Ia lebih cenderung mengartikan bahwa relasi yang ada antara laki-laki dan perempuan adalah fungsional.[7] Dikatakan pula bahwa pradigma ini selaras dengan pandangan sufisme Islam, yaitu nama-nama keindahan dan keagungan Tuhan, yang dalam Taoisme disimbolkan dengan yin/yang. Simbol ini menggambarkan kesatuan antara yin (kualitas feminine) dan yang (kualitas maskulin). Kesatuan ini tidak menjadikan keduanya hilang identitasnya, di mana masing-masing tetap mempunyai ciri khasnya, yaitu hitam (yang) dan putih (yin). Bagian lekukan ke dalam sisi hitam akan diisi oleh bagian sisi putih, dan begitu sebaliknya. Laki-laki dan perempuan berbeda untuk menjalankan misinya masing-masing, tetapi untuk saling merengkuh mencapai satu tujuan, yaitu kelangsungan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Selain itu, simbol yin/yang tidak mutlak hitam dan putih. Di dalam yang hitam masih ada kemungkinan mempunyai titik putih, kendati hitam adalah warna dominannya, dan begitu pula sebaliknya.[8]

Di sini letak kebijakan pandangan inklusif ini. Ketika laki-laki mempunyai sifat kasih sayang, dan perempuan memiliki sifat pemimpin, ia adalah wujud dari warna-warna yang masing dimilikinya, namun ia bukalah dominan. Ketika perempuan telah sukses pada pekerjaannya, karena situasi, kondisi, umur misalnya harus menjalankan peran keibuannya dan menjadi tergantung pada suaminya, maka ia akan menjalankannya tanpa harus mengalami konflik batin dan merasa tersubordinasi.

Epilog

Akhirnya gerakan feminisme di Indonesia haruslah disesuaikan dengan konteks local bangsa Indonesia. Bila paradigma yang dipakai oleh femnis tetaplah sama –dengan kaca mata Barat- maka gerakan ini akan selamanya menjadi wacana elit yang hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas.

Tentunya ini akan bertentangan dengan cita-cita feminisme sendiri yang mengimpikan perubahan nasib perempuan ke arah yang lebih baik.



[1] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. VII, hal. 160-163.
[2] Ibid.
[3] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, 1998.
[4] Ibid.
[5] Manneke Budiman, Feminisme Multikultural: Refleksi sekaligus Proyeksi dalam Perempuan Multikultural, Jakarta: Desantara, 2005, hal. 75-87.
[6] Gadis Arivia, Teori Multikultural dan Feminisme Global dalam Jurnal Perempuan, Edisi XIII, Maret 2000.
[7] Ratna Megawangi, op.cit, hal. 219.
[8] Sachiko Murata, The Tao of Islam (terj), Bandung: Mizan, 2004, cet. XI, hal. 86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar