Kamis, 25 April 2013

Ibu Sebagai Madrasah Pertama



Allah swt. telah mengajarkan kita untuk mendoakan kedua orang tua kita dengan: “Allahumma ighfirlii dzunuubii wa liwaalidayya wa irham humaa kamaa rabbayanii shaghiraa.?” Dari doa tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa antara ayah –laki-laki- dan ibu –perempuan- keduanya mempunyai peran yang sama penting dalam pendidikan seorang anak.

Ibu adalah madrasah pertama bagi pendidikan seorang anak. Apa yang didapatkan oleh seorang anaknya pada masa-masa awalnya akan sangat berpengaruh ketika ia tumbuh besar kelak. Usia anak yang cenderung meniru apa yang dilakukan sangat ditentukan siapa yang ada di sekelingnya tersebut. Di sinilah letak peran penting seorang perempuan dalam pembentukan watak seorang anak, dimana perempuanlah orang yang pertama kali berhubungan kontak dengan sang anak, yaitu dimulai sejak sang anak berada dalam kandungan atau bahkan jauh sebelum itu.

Ketika anak dalam kandungan, perempuan sebagai ibu –selain juga peran penting ayah- memainkan peran penting untuk pertumbuhkambangan sang anak. Ketika ibu tidak menjaga pola kesehatan fisik dan mentalnya, akibat buruk tidak hanya dirasakan oleh perempuan itu sendiri, anak yang berada di dalam kendungannya pun turut merasakannya. Fenomena ini akan berlanjut hingga sang anak lahir. Kontak fisik dan batin begitu erat terjalin antara ibu dan anak. Maka ketika seorang ibu memperlakukan anak dengan kasar ketika merawat sang anak, maka pada saat itu pula ia telah memberikan contoh perilaku kasar pada sang anak.

Pada masa-masa berikutnya, anak akan melewati sebuah masa emas atau lebih sering disebut dengan golden age. Anak akan dengan mudah mencerap segala informasi yang sampai padanya. Ia akan menjadikan informasi-informasi tersebut melekat dengan kuat dalam ingatannya. Hingga dikatakan: “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.”  Bagi orang tua yang menyadari betul akan istimewanya masa-masa tersebut akan memanfaatkan masa tersebut dengan sebaik-baiknya. Ia akan melakukan pendidikan yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan psikologi anak. Dan bagi orang tua yang menyadari akan pentingnya nilai-nilai agama, penanaman nilai-nilai agama, moral dan akhlak akan dilakukan pada masa-masa emas ini pula.

Kita tentu mengetahui sejarah para ulama kita yang dalam usia yang sangat belia telah menguasai berbagai ilmu agama. Sebut salah satu di antaranya adalah Imam Syafi’i. Selain karomah Allah swt. yang teruanugerahken kepada beliau, peran ibu beliau –yang jarang kita kenal- sangat berperan, dimana beliau sudah yatim semenjak kecil. Maka –sekali lagi- ditekankan, ibu haruslah mengerti dan memahami posisi penting ini dengan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk sebuah “misi suci,” membangun generasi-generasi tangguh yang akan menjadi pelaku-pelaku sejarah di masa mendatang. Akan berbeda tentunya bila kita membandingkan perempuan yang mempunyai ilmu dan tidak. Ketika perempuan itu mempunyai ilmu dan memahami hakekat dirinya –sebagai khalifah- maka ia akan selalu berbuat apa yang disebut al Quran sebagai gelar al Quran bagi kaum Muslim, umat yang terbaik yang selalu bermanfaat bagi manusia. Perempuan yang menyadari dan memahami akan tugas ini pun akan melakukan tugas ini dengan posisi di mana ia berada.

Sayangnya, sedikit sekali orang tua yang menyadari peranan penting mereka –lebih-lebih ibu yang mempunyai kedekatan emosional lebih- dalam pendidikan anak ini. Mereka beranggapan ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, maka tanggung jawab pendidikan sudah lepas dari tangan mereka dan beralih pada guru-guru yang ada di sekolah. Padahal, pada kenyataannya, lebih banyak waktu kebersamaan keluarga bagi anak daripada kebersamaan anak dengan guru-guru mereka.

Terlebih lagi pada ibu. Ibu yang mempunyai peran penting dalam sosialnya, seperti melahirkan, menyusui dan mendidik –di samping ayah- seyogyanya menyadari betul akan peran penting yang dimainkannya. Ia seharusnya memanfaatkan momen-momen penting yang dilalui oleh anak dan mengisinya dengan hal-hal yang berharga, melalui pendidikan yang ia berikan selama kebersamaannya dengan sang anak. Ia juga berpeluang untuk menanamkan nilai-nilai yang bersumber pada agama yang juga sesuai dengan fitrah sang anak. Maka ketika semua ini disadari, akan lahir generasi-generasi tangguh dari keluarga tersebut.

Dalam sebuah syair dikatakan:
Ibu adalah pembina bangsa, jika dibina dengan sempurna telah kau bangun suatu bangsa menjadi bangsa yang sukse  mulia.
Ibu laksana taman nan menawan, jika dirawat dan dicurah hijan akan tumbuh mekar dan segar berdaun lebat rindang menyebar.
Ibu adalah guru utama dari sebanayk guru pertama, jasa baik karya nyatanya penuhi penjuru dunia.

Dari hal tersebut, tidak mengherankan bila Nabi Muhammad saw. menjadikan ibu bertingkat tiga dibanding ayah dalam penghormatannya. Maka patutlah dipertanyakan sikap sejumlah aktifis perempuan yang menentang motto Meneg Pemperdayaan Perempuan; surga di bawah telapak kaki ibu, yang dijadikan pangkal tolak penegasan Meneg PP tentang peran penting seorang ibu dalam penentuan masa depan bangsa Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar