Kamis, 25 April 2013

Buku: Arah Baru Gerakan Feminisme


Pembahasan tentang feminisme akan selalu menjadi isu yang menarik kendati waktu telah berganti-ganti. Berbagai kajian selalu dilakukan setiap generasi atas nama satu gerakan ini. Isu yang berkembang di dalamnya pun akan selalu seiring dengan perjalanan zaman dan situasi yang terjadi.






Bisa kita buka kembali, lembaran sejarah feminisme tumbuh dan berkembang seiring dengan revolusi dunia ketika itu. Feminisme menjelma menjadi suatu gerakan yang memperjuangkan segala bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Berbagai penelitian dan teori kemudian muncul menjadi teori-teori baku tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terus berkembang hingga saat ini.

Kendati lahir dalam bentuk dan aksi yang berbeda serta melintasi kelas dan budaya yang berbeda, gerakan feminisme mempunyai satu tujuan yang jelas. Fokus perjuangannya adalah perlawanan terhadap konsep penindasan yang umum, terutama kelompok yang berkuasa –yaitu laki-laki dan budaya patriarki yang diakibatkan adanya ketidaksetaraan gender, yakni posisi laki-laki dan perempuan. Dengan paradigma yang homogen inilah, gerakan feminisme mencoba menjadi gerakan yang universal untuk semua perempuan yang tidak jarang mengabaikan konteks sosial historis di mana perempuan itu berada. Sayangnya gerakan ini terus berkembang dan makin diperparah oleh kondisi global yang menjadikan suatu ideologi tertentu menjadi dasar dan landasan dari setiap gerakan, apapun itu bentuknya.

Di sinilah posisi buku Perempuan Multikultural diletakkan sebagai suatu bentuk kritik terhadap perjalanan gerakan feminisme selama ini. Buku yang terdiri dari tulisan beberapa penulis ini mencoba menyoroti arah dan orientasi gerakan feminisme dari sudut pandang yang berbeda. Ketika paradigma homogen digunakan oleh para feminis dalam memandang posisi perempuan, maka tidak jarang kesimpulan yang didapat jauh dari kondisi perempuan sebenarnya.

Sesuai dengan paradigma multikulturalisme yang menghendaki adanya keadilan perlakuan terhadap setiap kelompok yang berbeda, feminis multkultural juga diharapkan untuk merubah pandangan yang universalistik, yang memandang perempuan –dengan kondisi dan situasi yang berbeda- dengan satu pandangan yang sama. Pengabaian terhadap adanya konteks sejarah dan budaya lokal dalam memandang posisi perempuan telah terbukti membawa gerakan ini menjadi gerakan yang elitis.

Seperti yang diajukan oleh Mohanty, sudah saatnya gerakan feminisme ini seharusnya lebih memperhatikan konteks sosial historis di mana perempuan itu berada. Analisa terhadap devaluasi nasib perempuan harus diperhatikan melalui analisis terhadap konteks lokal yang kontekstual. Karena apabila konsep-konsep seperti ini dianggap dapat diterapkan secara universal, maka homogenisasi praktik-praktik material dari kelas, ras, agama, dan kehidupan sehari-hari perempuan yang dihasilkannya, hanya dapat menciptakan pemahaman yang palsu mengenai kesamaan penindasan, kepentingan dan perjuangan di antara perempuan secara global. Artinya di balik persaudaraan perempuan masih terdapat rasisme, kolonialisme dan imperialisme.

Hal senada diungkapkan oleh Manneke yang juga menawarkan strategi baru untuk gerakan feminisme. Strategi yang dipinjam dari Gayatri Spivak yang dinamai strategic essensialisme –esensialisme yang sifatnya strategis dan tidak permanen- ini ditawarkan sebagai jawaban atas dua pandangan ekstrim feminisme, antara pandangan esensialis universalis dan pandangan keberbedaan perempuan secara mutlak yang memandang perempuan itu sebagai suatu entitas yang hanay bisa diakses oleh perempuan sendiri.

Istilah strategic essensialism ini bernanfaat dalam gerakan feminisme. Karena sebagai suatu isme, feminisme tidak bisa tidak harus memperjuangkan semua perempuan di mana pun juga mereka berada, lepas dari batas-batas geografis, etnis, dan kelas. Feminisme tidak bisa sepenuhnya elitis tetapi juga tidak mungkin bersifat subalternisme belaka. Da satu pihak, feminisme harus dapat menahan godaan untuk mengatasnamakan semua perempuan, tetapi di lain pihak tidak boleh terpaku pada ketertindasan semata.

Dengan pandangan yang berbeda inilah, buku Perempuan Multikultural mempunyai nilai tersendiri di banding buku-buku feminisme lain yang sedang menjamur. Ia tidak hanya sekedar menjadi kritik tajam atas kondisi yang sedang menghegomoni. Tawaran-tawaran yang dipaparkan pun sangat layak untuk diperbncangkan lebih lanjut serta dikembangkan dalam tataran praktis.

Perempuan Multikulturalis, Negoisasi dan Representasi
Xiii + 308 halaman
14,5 x 21, 5 cm2
Edi Hayat dan Miftahus Surur (Ed)
Desantara, Depok.
Cetakan I, Juni 2005







Tidak ada komentar:

Posting Komentar