Dalam sebuah laporan yang dituliskan Kompas (6/11/2004), para aktivis perempuan memprotes Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan atas slogan “Masa depan Indonesia bergantung pada kemampuan asuh para ibu terhadap anak-anaknya,” yang disampaikan dalam suatu pertemuan antara para aktivis perempuan dan Menteri Meutia Hatta di Jakarta. Pada kesempatan tersebut, Menteri menjelaskan bahwa ada budaya nasional yang memuliakan perempuan, yaitu perempuan sebagai ibu. Kementrian PP ingin mene
gaskan bahwa masa depan Indonesia bergantung pada kemampuan asuh ibu-ibu Indonesia terhadap anak-anak mereka. Para ibulah yang mencetak ketangguhan bangsa di masa depan.
Namun bagi para aktivis yang tergabung dalam Komnas Perempuan tersebut, motto atau slogan seperti di atas justru memojokkan perempuan. Karena dengan motto tersebut, stereotip patriarki yang sudah ada – yaitu bapak sebagai kepala keluarga dan pencari nafkan dan tugas ibu adalah mengasuh anak- akan semakin kuat. Maka menurut para aktivis tersebut, motto tersebut harus ditinjau ulang.
Ada kesempitan pemikiran yang ditunjukkan oleh para aktivis perempuan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam protes tersebut. Mereka masih berfikir dalam mainstream yang umum, yaitu bila ada pandangan bahwa laki-laki atau suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah harus segera ditinjau ulang dan kalau perlu dihapuskan. Bagi mereka perempuan sebagai ibu, yang berarti berada di bawah pimpinan sang suami dan berada di rumah dipandang dengan inferioritas yang tinggi. Mungkin tidak hanya para aktivis perempuan tersebut saja yang berfikiran demikian. Di sekitar lingkungan kita, kita juga sering kali menemui cara pandang seperti ini. Perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dianggap akan menghambat aktualisasi potensi diri karena perempuan hanya akan berhadapan dengan pekerjaan yang monoton, tidak menghasilkan keuntungan secara materi, dan untuk ini perempuan tidak dituntut untuk mempunyai suatu kemampuan dan profesionalisme yang tinggi.
Masih terlihat bahwa status ibu rumah tangga masih dianggap dengan perasaan yang rendah dibanding dengan karir perempuan lain yang terlihat keunggulannya. Dalam hubungan di masyarakat pun si perempuan akan memperkenalkan diri dengan rendah diri dengan mengatakan, “Saya tidak bekerja, saya hanya ibu rumah tangga biasa, hanya di rumah saja.”
Pandangan tersebut merupakan hasil pemikiran yang sempit, bahwa perempuan yang sukses adalah perempuan yang berhasil dalam karirnya, yang terkenal namanya, yang bisa menghasilkan materi, yang punya jabatan, dan lain sebagainya. Mereka inilah orang-orang yang menjalankan profesi yang membutuhkan profesionalisme dalam pekerjaannya. Sedangkan ibu rumah tangga tidak ada hubungannya dengan itu semua. Ibu rumah tangga hanya sebuah konstruksi sosial yang kebetulan digariskan untuk perempuan.
Padahal bila ditelaah, segala profesi dan profesionalisme mempunyai titik sama, yaitu semua harus bertumpu pada kesungguhan dan keberhasilan yang akan dihasilkan. Profesi tidak harus berkaitan dengan hal-hal yang bersifat profit dan official semata. Maka di sini, ibu bisa diletakkan sebagai profesi karena peran yang akan dimainkan membutuhkan profesioanalisme. Peran ibu rumah tangga harus dibekali dengan kesungguhan, perencanaan, tujuan, dan pelaksanaan program yang matang. Semua itu membutuhkan keahlian seperti halnya profesi-profesi lainnya.
Hal ini tentu akan berbeda dengan pandangan bahwa sebagai ibu rumah tangga hanya alternatif terminal terakhir yang dipilih perempuan. Perempuan yang menganggap bahwa menjadi ibu rumah tangga merupakan profesi akan mengerjakan tugas-tugasnya dengan perencanaan dan tujuan yang matang. ia tidak hanya mengerjakan secara asal dan serampangan yang dianggap sebagai rutinitas tanpa nilai. Ia akan mengerjakan segala tugasnya dengan kesungguhan serius, serta selalu membekali segala pekerjaannya dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang tidak sedikit.
Bila dikaitkan dengan konteks masa kini, era globalisasi yang tidak hanya membawa kepada kemudahan dan manfaat, peran ibu terhadap pendidikan anak-anaknya bukan perkara mudah dan sepele, apalagi lingkungan dan permainan mereka sarat akan bahaya dan dampak negatif terhadap anak-anak di samping nilai positifnya. Tidak jarang setiap permainan dan hiburan membawa aspek-aspek negatif terhadap psikologis anak yang membawanya kepada pribadi yang materialis, hedonis, konsumtif, di samping aspek positifnya. Pendidikan anak tidaklah cukup bila hanya diserahkan kepada lembaga formal sekolah saja. Lebih dari itu, lingkungan keluarga sangatlah besar pengaruhnya dalam hal ini. Di sinilah letak peran besar orang tua dalam pembentukan kepribadian anak. Kendati tugas mendidik dan membesarkan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu, namun pekerjaan ini harus ditangani dengan serius dan perhatian penuh oleh orang tua.
Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga harus melihat masalah ini sebagai agenda besar yang harus ditangani dengan cermat. Ia harus mempersiapkan diri dengan bekal ilmu dan wawasan yang luas yang semua itu tidak bisa diperoleh secara alami, namun perlu pembelajaran sejak dini. Bagi perempuan yang memilih sebagai profesinya, ini adalah karir yang perlu dijalankan dengan serius dan ketekunan serta kesungguhan, bukan dengan perasaan inferior. Rumah bisa dijadikan lahan aktualisasi diri dengan pendidikan terhadap anak-anak sebagai agenda utamanya. Dari rumah pula, perempuan akan diuji dengan kenyataan, apakah generasi yang dididik dengan keseriusan tinggi dan keberadaan seorang ibu di rumah lebih baik dari segi moral dan kepribadian ini lebih baik dari generasi hasil didikan seorang ibu yang menjadikan ibu rumah tangga sebagai karir sambilan?
Akhirnya, diperlukan pandangan yang luas terhadap segala sesuatu, apalagi dalam setiap hal yang akan dipilih. Perempuan yang memilih sebagai ibu rumah tangga tidak harus menjalani semua tugasnya dengan perasaan rendah. Dan orang-orang yang melihat pilihan ini pun tidak harus melihatnya sebagai suatu penindasan terhadap perempuan. Dan yang lebih penting adalah sikap adil dalam melihat sesuatu.
Namun bagi para aktivis yang tergabung dalam Komnas Perempuan tersebut, motto atau slogan seperti di atas justru memojokkan perempuan. Karena dengan motto tersebut, stereotip patriarki yang sudah ada – yaitu bapak sebagai kepala keluarga dan pencari nafkan dan tugas ibu adalah mengasuh anak- akan semakin kuat. Maka menurut para aktivis tersebut, motto tersebut harus ditinjau ulang.
Ada kesempitan pemikiran yang ditunjukkan oleh para aktivis perempuan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam protes tersebut. Mereka masih berfikir dalam mainstream yang umum, yaitu bila ada pandangan bahwa laki-laki atau suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah harus segera ditinjau ulang dan kalau perlu dihapuskan. Bagi mereka perempuan sebagai ibu, yang berarti berada di bawah pimpinan sang suami dan berada di rumah dipandang dengan inferioritas yang tinggi. Mungkin tidak hanya para aktivis perempuan tersebut saja yang berfikiran demikian. Di sekitar lingkungan kita, kita juga sering kali menemui cara pandang seperti ini. Perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dianggap akan menghambat aktualisasi potensi diri karena perempuan hanya akan berhadapan dengan pekerjaan yang monoton, tidak menghasilkan keuntungan secara materi, dan untuk ini perempuan tidak dituntut untuk mempunyai suatu kemampuan dan profesionalisme yang tinggi.
Masih terlihat bahwa status ibu rumah tangga masih dianggap dengan perasaan yang rendah dibanding dengan karir perempuan lain yang terlihat keunggulannya. Dalam hubungan di masyarakat pun si perempuan akan memperkenalkan diri dengan rendah diri dengan mengatakan, “Saya tidak bekerja, saya hanya ibu rumah tangga biasa, hanya di rumah saja.”
Pandangan tersebut merupakan hasil pemikiran yang sempit, bahwa perempuan yang sukses adalah perempuan yang berhasil dalam karirnya, yang terkenal namanya, yang bisa menghasilkan materi, yang punya jabatan, dan lain sebagainya. Mereka inilah orang-orang yang menjalankan profesi yang membutuhkan profesionalisme dalam pekerjaannya. Sedangkan ibu rumah tangga tidak ada hubungannya dengan itu semua. Ibu rumah tangga hanya sebuah konstruksi sosial yang kebetulan digariskan untuk perempuan.
Padahal bila ditelaah, segala profesi dan profesionalisme mempunyai titik sama, yaitu semua harus bertumpu pada kesungguhan dan keberhasilan yang akan dihasilkan. Profesi tidak harus berkaitan dengan hal-hal yang bersifat profit dan official semata. Maka di sini, ibu bisa diletakkan sebagai profesi karena peran yang akan dimainkan membutuhkan profesioanalisme. Peran ibu rumah tangga harus dibekali dengan kesungguhan, perencanaan, tujuan, dan pelaksanaan program yang matang. Semua itu membutuhkan keahlian seperti halnya profesi-profesi lainnya.
Hal ini tentu akan berbeda dengan pandangan bahwa sebagai ibu rumah tangga hanya alternatif terminal terakhir yang dipilih perempuan. Perempuan yang menganggap bahwa menjadi ibu rumah tangga merupakan profesi akan mengerjakan tugas-tugasnya dengan perencanaan dan tujuan yang matang. ia tidak hanya mengerjakan secara asal dan serampangan yang dianggap sebagai rutinitas tanpa nilai. Ia akan mengerjakan segala tugasnya dengan kesungguhan serius, serta selalu membekali segala pekerjaannya dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang tidak sedikit.
Bila dikaitkan dengan konteks masa kini, era globalisasi yang tidak hanya membawa kepada kemudahan dan manfaat, peran ibu terhadap pendidikan anak-anaknya bukan perkara mudah dan sepele, apalagi lingkungan dan permainan mereka sarat akan bahaya dan dampak negatif terhadap anak-anak di samping nilai positifnya. Tidak jarang setiap permainan dan hiburan membawa aspek-aspek negatif terhadap psikologis anak yang membawanya kepada pribadi yang materialis, hedonis, konsumtif, di samping aspek positifnya. Pendidikan anak tidaklah cukup bila hanya diserahkan kepada lembaga formal sekolah saja. Lebih dari itu, lingkungan keluarga sangatlah besar pengaruhnya dalam hal ini. Di sinilah letak peran besar orang tua dalam pembentukan kepribadian anak. Kendati tugas mendidik dan membesarkan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu, namun pekerjaan ini harus ditangani dengan serius dan perhatian penuh oleh orang tua.
Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga harus melihat masalah ini sebagai agenda besar yang harus ditangani dengan cermat. Ia harus mempersiapkan diri dengan bekal ilmu dan wawasan yang luas yang semua itu tidak bisa diperoleh secara alami, namun perlu pembelajaran sejak dini. Bagi perempuan yang memilih sebagai profesinya, ini adalah karir yang perlu dijalankan dengan serius dan ketekunan serta kesungguhan, bukan dengan perasaan inferior. Rumah bisa dijadikan lahan aktualisasi diri dengan pendidikan terhadap anak-anak sebagai agenda utamanya. Dari rumah pula, perempuan akan diuji dengan kenyataan, apakah generasi yang dididik dengan keseriusan tinggi dan keberadaan seorang ibu di rumah lebih baik dari segi moral dan kepribadian ini lebih baik dari generasi hasil didikan seorang ibu yang menjadikan ibu rumah tangga sebagai karir sambilan?
Akhirnya, diperlukan pandangan yang luas terhadap segala sesuatu, apalagi dalam setiap hal yang akan dipilih. Perempuan yang memilih sebagai ibu rumah tangga tidak harus menjalani semua tugasnya dengan perasaan rendah. Dan orang-orang yang melihat pilihan ini pun tidak harus melihatnya sebagai suatu penindasan terhadap perempuan. Dan yang lebih penting adalah sikap adil dalam melihat sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar