Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari
Kartini sebagai salah satu Hari Nasional.
Tanggal tersebut dirujuk kepada tanggal kelahiran Raden Ajeng Kartini, seorang
pahawan perempuan yang berjuang dengan pena dalam upaya kebangkitan nasional.
Sayangnya, kepahlawanan R.A. Kartini sebagai perintis nasionalisme ini kurang
dikenal dalam sejarah daripada ketenaran namanya sebagai perintis emansipasi
perempuan di Indonesia ini. Padahal kalau kita membaca ketajaman pena-pena R.A.
Kartini melalui surat-suratnya, kita akan mendapati semangat nasionalisme yang
kuat padanya.
Semangat nasionalisme ini dituangkan dalam setiap ungkapan
keprihatinan jiwanya akan nasib bangsa dan rakyat Insulinde (nama populer
Indonesia sebelum 1922). Ungkapan keprihatinan tersebut ia tulis dalam surat,
kemudian ia kirimkan kepada sahabat-sahabat penanya yang berbangsa Belanda,
baik yang berada di Belanda maupun sahabatnya yang kebetulan bertugas di
Indonesia.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, R.A. Kartini juga
memikirkan jalan keluar yang dibutuhkan bangsa dan rakyatnya dari kesengsaraan.
Dalam masa pingitan –adat Jawa yang pada saat itu berlaku untuk gadis-gadis
bangsawan, yaitu dengan mengurung para gadis sampai ada laki-laki yang
membebaskannya yang kemudian menjadikannya istri- itulah, R.A. Kartini
memikirkan dengan tajam akar dari segala permasalahan yang menimpa rakyatnya. Akhirnya
iapun pada kesimpulan bahwa untuk memerangi penderitaan, rakyat tidak boleh
bodoh, rakyat harus diberi pendidikan.
Dengan bekal kemampuan bahasa Belanda yang baik, gagasan
pendidikan rakyat pribumi ia sampaikan pada sahabat-sahabatnya. Di antara mereka
adalah istri-istri pejabat pemerintah Belanda. Hubungan baik antar sahabat
inilah yang kemudian memudahkan nama R.A. Kartini dikenal di kalangan pejabat
pemerintah Belanda. Ia pun membuat nota yang diberi judul “Berilah Pendidikan
kepada Bangsa Jawa” dimulai dengan pengakuan bahwa tidaklah mungkin untuk
memberikan pendidikan kepada seluruh rakyat secara sekaligus. Yang mungkin
adalah memberikan pendidikan kepada golongan atas dulu, yang kelak akan
menebarkan manfaatnya kepada rakyat. Sebab ketika itu, rakyat Jawa sangat
menjunjung tinggi kaum bangsawannya, dan apa yang dikatakan oleh kaum bangsawan
sangat mudah di turut oleh kalangan rakyat.
R.A. Kartini kemudian memandang begitu besarnya peran
perempuan dalam pemecahan masalah ini. Bagi R.A. Kartini perempuan sebagai ibu
adalah pendidik utama bagi generasi selanjutnya. Di pangkuan ibu, sang anak
mulai merasakan, berfikir, dan bicara. Pendidikan masa kecil itu mempunyai pengaruh
yang besar untuk pebentukan kepribadian sang anak di masa selanjutnya. Tetapi
bagaimana ibu-ibu ini bisa mendidik anak-anak mereka kalau mereka sendiri tidak
terdidik? Bangsa Indonesia tidak mungkin bisa maju, kalau kaum perempuan tidak
diikut-sertakan dan tidak diberi tugas dalam usaha pembudayaan bangsa.
Di sini kita bisa lihat bagaimana R.A. Kartini merumuskan
kedudukan dan peran penting perempuan dalam kehidupan. Perempuan akan menjadi
penentu nasib suatu bangsa di masa mendatang. Di tangannya tergenggam nasib suatu
bangsa. Ketika perempuan memainkan perannya dengan baik, maka bisa dipastikan
bangsa akan menjadi bangsa yang luhur. Dan perempuan akan mampu menjalankan
peran utama tersebut bila ia terdidik. Itulah inti nota yang dituliskan oleh
R.A. Kartini untuk bangsanya.
Reduksi Jejak Kartini
Nampaknya, gagasan R.A. Kartini tentang pendidikan
perempuan ini tidak popular di Indonesia. Ketika nama R.A. Kartini disebut,
maka yang muncul hanyalah perjuangnnya melawan adat feodal dan budaya patriarki
yang ia hadapi saat itu. Maka ketika pembahasan tentang gerakan feminisme di Indonesia,
nama R.A. Kartini akan menduduki baris depan gerakan tersebut.
Ironisnya, tidak semua gagasan para aktivis perempuan Indonesia
–yang mengaku meneruskan perjuangan R.A. Kartini- itu sejalan dengan apa yang
telah digagas oleh R.A. Kartini. Bahkan, terkadang antara keduanya terdapat
pertentangan.
Ketika menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempaun, Meutia
Hatta menganjurkan para perempuan untuk kembali memerankan peran pentingnya
sebagai pendidik utama dengan slogan “Masa depan Indonesia bergantung pada
kemampuan asuh para ibu terhadap anak-anaknya.” Sang Menteri kala itu menjelaskan
bahwa ada budaya nasional yang memuliakan perempuan, yaitu perempuan sebagai
ibu. Kementrian PP ingin menegaskan bahwa masa depan Indonesia bergantung pada
kemamapuan asuh ibu-ibu Indonesia terhadap anak-anak mereka. Para ibulah yang
mencetak ketangguhan bangsa di masa depan.
Namun, anjuran ini mendapat kritikan dari para aktivis
perempuan. Bagi mereka, mengembalikan perempuan sebagai pendidik utama berarti
telah mendeskriditkan perempuan, dan itu berarti mengembalikan perempuan pada
adat feodal. Menurut mereka, motto
atau slogan seperti di atas justru memojokkan perempuan. Karena dengan motto
tersebut, stereotip patriarki yang sudah ada –yaitu bapak sebagai kepala keluarga
dan pencari nafkan dan tugas ibu adalah mengasuh anak- akan semakin kuat. Maka
menurut para aktivis tersebut, motto tersebut harus ditinjau ulang.
Ada kesempitan
pemikiran yang ditunjukkan oleh para aktivis perempuan tentang hubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam protes tersebut. Mereka masih berfikir dalam
mainstream yang umum, yaitu bila ada pandangan bahwa laki-laki atau suami
sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah harus segera ditinjau ulang dan
kalau perlu dihapuskan. Bagi mereka perempuan sebagai ibu, yang berarti berada
di bawah pimpinan sang suami dan berada di rumah dipandang dengan inferioritas
yang tinggi. Mungkin tidak hanya para aktivis perempuan tersebut saja yang
berfikiran demikian. Di sekitar lingkungan kita, kita juga sering kali menemui
cara pandang seperti ini. Perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dianggap akan
menghambat aktualisasi potensi diri karena perempuan hanya akan berhadapan
dengan pekerjaan yang monoton, tidak menghasilkan keuntungan secara materi, dan
untuk ini perempuan tidak dituntut untuk mempunyai suatu kemampuan dan profesionalisme
yang tinggi. Masih terlihat bahwa status ibu rumah tangga masih dianggap dengan
perasaan yang rendah dibanding dengan karir perempuan lain yang terlihat
keunggulannya. Dalam hubungan di masyarakat pun si perempuan akan
memperkenalkan diri dengan rendah diri dengan mengatakan, “Saya tidak bekerja,
saya hanya ibu rumah tangga biasa, hanya di rumah saja.”
Pandangan
tersebut merupakan hasil pemikiran yang sempit, bahwa perempuan yang sukses
adalah perempuan yang berhasil dalam karirnya, yang terkenal namanya, yang bisa
menghasilkan materi, yang punya jabatan, dan lain sebagainya. Mereka inilah
orang-orang yang menjalankan profesi yang membutuhkan profesionalisme dalam
pekerjaannya. Sedangkan ibu rumah tangga tidak ada hubungannya dengan itu
semua. Ibu rumah tangga hanya sebuah konstruksi sosial yang kebetulan
digariskan untuk perempuan.
Padahal bila
ditelaah, segala profesi dan profesionalisme mempunyai titik sama, yaitu semua
harus bertumpu pada kesungguhan dan keberhasilan yang akan dihasilkan. Profesi
tidak harus berkaitan dengan hal-hal yang bersifat profit dan official
semata. Maka di sini, ibu bisa diletakkan sebagai profesi karena peran yang
akan dimainkan membutuhkan profesioanalisme. Peran ibu rumah tangga harus
dibekali dengan kesungguhan, perencanaan, tujuan, dan pelaksanaan program yang
matang. Semua itu membutuhkan keahlian seperti halnya profesi-profesi lainnya.
Hal ini tentu
akan berbeda dengan pandangan bahwa sebagai ibu rumah tangga hanya alternatif
terminal terakhir yang dipilih perempuan. Perempuan yang menganggap bahwa
menjadi ibu rumah tangga merupakan profesi akan mengerjakan tugas-tugasnya
dengan perencanaan dan tujuan yang matang. Ia tidak hanya mengerjakan secara asal dan
serampangan yang dianggap sebagai rutinitas tanpa nilai. Ia akan mengerjakan
segala tugasnya dengan kesungguhan serius, serta selalu membekali segala
pekerjaannya dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang tidak sedikit.
Perempuan yang
memilih menjadi ibu rumah tangga harus melihat masalah ini sebagai agenda besar
yang harus ditangani dengan cermat. Ia harus mempersiapkan diri dengan bekal
ilmu dan wawasan yang luas yang semua itu tidak bisa diperoleh secara alami,
namun perlu pembelajaran sejak dini. Bagi perempuan yang memilih sebagai
profesinya, ini adalah karir yang perlu dijalankan dengan serius dan ketekunan
serta kesungguhan, bukan dengan perasaan inferior. Rumah bisa dijadikan lahan
aktualisasi diri dengan pendidikan terhadap anak-anak sebagai agenda utamanya.
Dari rumah pula, perempuan akan diuji dengan kenyataan, apakah generasi yang
dididik dengan keseriusan tinggi dan keberadaan seorang ibu di rumah lebih baik
dari segi moral dan kepribadian ini lebih baik dari generasi hasil didikan
seorang ibu yang menjadikan ibu rumah tangga sebagai karir sambilan?
Tidak hanya sampai di situ. Perjuangan R.A. Kartini atas
kebebasan dan persamaan hak bagi perempuan juga mengalami reduksi. Kebebasan
yang dimiliki oleh perempuan saat ini dipresentasikan dengan kebebasan
perempuan dalam memperlakukan dan mengeksplorasi tubuhnya dengan keindahan. Bahkan,
sebagian perempuan merasa bahwa dengan perlakuan-perlakuan tersebut, mereka
telah menunjukkan keberhasilan dari gerakan kebebasan perempuan yang telah
diperjuangkan oleh R.A. Kartini dahulu.
Padahal, bila diperhatikan, apa yang diperjuangkan oleh
R.A. Kartini dahulu adalah sesuatu kebebasan dan persamaan yang jujur dan luhur.
Perjuangan R.A. Kartini adalah perjuangan melawan ketidakadilan yang terjadi
pada perempuan, baik ketidakadilan yang dilakukan oleh Bangsa Belanda maupun
ketidakadilan yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Apa yang ditulis dalam
lembaran-lembaran suratnya bukanlah perjuangan kebebasan perempuan tanpa batas
seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar