Tidak bisa dipungkiri
perempuan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan ini, kendati
peran tersebut sering terlupakan. Pepatah mengatakan bahwa di balik kesuksesan
seorang laki-laki terdapat rahasia seorang perempuan bukanlah sekedar dongeng
belaka. Sejarah pun telah melukiskan kebenaran pepatah tersebut. Keberhasilan
Nabi Muhammad saw. dalam berdakwah tidak bisa dilepaskan dengan peran Siti
Khadijah yang begitu gigih mendampingi beliau. Dan masih banyak lagi
contoh-contoh yang lainnya.
Khusus untuk
proses kelahiran generasi-generasi penerus bangsa dan agama, perempuan
–sebenarnya- mempunyai peran yang sangat penting. Namun peran tersebut sering
terlewatkan dan disia-siakan, baik oleh perempuan itu sendiri maupun oleh
lingkungan yang ada. Banyak yang menjadi sebab terjadinya fenomena ini, yang di
antaranya adalah budaya patriarki yang masih sangat dijunjung tinggi, di
samping kurangnya pengetahuan akan peran penting perempuan dalam pendidikan
anak.
Budaya
patriarki tidak hanya eksis di lingkungan kita saja, akan tetapi ia telah
mendominasi hampir di seluruh wilayah yang ada di dunia ini. Maka ketika
perempuan yang sudah tersadarkan akan menggugat budaya tersebut dengan berupaya
untuk menumbangkan budaya tersebut. Gerakan ini pada awalnya hanya sekedar menggugat
segala ketidakadilan yang ditimbulkan oleh hegemoni budaya patriarki. Namun
dalam perjalanannya, tidak jarang para pelaku gerakan ini sudah melewati
garis-garis kewajaran. Mereka –para pelaku gerakan yang biasa disebut dengan
kaum feminis- akan menggugat segala hal yang dianggap mendeskriditkan
perempuan, termasuk agama.
Dalam Islam
budaya ini sesungguhnya tidak dikenal. Islam menempatkan perempuan sejajar
dengan laki-laki dan mereka hanya dibedakan dalam kadar kualitas keimanan
mereka masing-masing. Kalaupun terdapat perbedaan, itu hanya dalam segi fungsi
sosial yang diperankan oleh masing-masing pihak, perempuan dan laki-laki. Maka
apabila terdapat anggapan bahwa laki-lakilah yang mempunyai peran penting dalam
rumah tangga –termasuk dalam pendidikan anak, itu merupakan anggapan yang
keliru. Bukankan Allah swt. telah mengajarkan kita untuk mendoakan kedua orang
tua kita dengan: “Allahumma ighfirlii dzunuubii wa liwaalidayya wa irham
humaa kamaa rabbayanii shaghiraa.?” Dari doa tersebut, bisa diambil
kesimpulan bahwa antara ayah –laki-laki- dan ibu –perempuan- keduanya mempunyai
peran yang sama penting dalam pendidikan seorang anak.
Ibu adalah
madrasah pertama bagi pendidikan seorang anak. Apa yang didapatkan oleh seorang
anaknya pada masa-masa awalnya akan sangat berpengaruh ketika ia tumbuh besar
kelak. Usia anak yang cenderung meniru apa yang dilakukan sangat ditentukan
siapa yang ada di sekelingnya tersebut. Di sinilah letak peran penting seorang
perempuan dalam pembentukan watak seorang anak, dimana perempuanlah orang yang
pertama kali berhubungan kontak dengan sang anak, yaitu dimulai sejak sang anak
berada dalam kandungan atau bahkan jauh sebelum itu.
Ketika anak
dalam kandungan, perempuan sebagai ibu –selain juga peran penting ayah- memainkan
peran penting untuk pertumbuhkambangan sang anak. Ketika ibu tidak menjaga pola
kesehatan fisik dan mentalnya, akibat buruk tidak hanya dirasakan oleh
perempuan itu sendiri, anak yang berada di dalam kendungannya pun turut
merasakannya. Fenomena ini akan berlanjut hingga sang anak lahir. Kontak fisik
dan batin begitu erat terjalin antara ibu dan anak. Maka ketika seorang ibu
memperlakukan anak dengan kasar ketika merawat sang anak, maka pada saat itu
pula ia telah memberikan contoh perilaku kasar pada sang anak.
Pada
masa-masa berikutnya, anak akan melewati sebuah masa emas atau lebih sering
disebut dengan golden age. Anak akan dengan mudah mencerap segala
informasi yang sampai padanya. Ia akan menjadikan informasi-informasi tersebut
melekat dengan kuat dalam ingatannya. Hingga dikatakan: “belajar di waktu
kecil bagai mengukir di atas batu.” Bagi orang tua yang menyadari
betul akan istimewanya masa-masa tersebut akan memanfaatkan masa tersebut
dengan sebaik-baiknya. Ia akan melakukan pendidikan yang sesuai dengan tingkat
perkembangan dan psikologi anak. Dan bagi orang tua yang menyadari akan
pentingnya nilai-nilai agama, penanaman nilai-nilai agama, moral dan akhlak
akan dilakukan pada masa-masa emas ini pula.
Kita tentu
mengetahui sejarah para ulama kita yang dalam usia yang sangat belia telah
menguasai berbagai ilmu agama. Sebut salah satu di antaranya adalah Imam
Syafi’i. Selain karomah Allah swt. yang teruanugerahken kepada beliau, peran
ibu beliau –yang jarang kita kenal- sangat berperan, dimana beliau sudah yatim
semenjak kecil. Maka –sekali lagi- ditekankan, ibu haruslah mengerti dan
memahami posisi penting ini dengan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya
untuk sebuah “misi suci,” membangun generasi-generasi tangguh yang akan menjadi
pelaku-pelaku sejarah di masa mendatang. Akan berbeda tentunya bila kita
membandingkan perempuan yang mempunyai ilmu dan tidak. Ketika perempuan itu
mempunyai ilmu dan memahami hakekat dirinya –sebagai khalifah- maka ia akan
selalu berbuat apa yang disebut al Quran sebagai gelar al Quran bagi kaum
Muslim, umat yang terbaik yang selalu bermanfaat bagi manusia. Perempuan yang
menyadari dan memahami akan tugas ini pun akan melakukan tugas ini dengan
posisi di mana ia berada.
Sayangnya,
sedikit sekali orang tua yang menyadari peranan penting mereka –lebih-lebih ibu
yang mempunyai kedekatan emosional lebih- dalam pendidikan anak ini. Mereka
beranggapan ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, maka tanggung jawab
pendidikan sudah lepas dari tangan mereka dan beralih pada guru-guru yang ada
di sekolah. Padahal, pada kenyataannya, lebih banyak waktu kebersamaan keluarga
bagi anak daripada kebersamaan anak dengan guru-guru mereka.
Terlebih lagi
pada ibu. Ibu yang mempunyai peran penting dalam sosialnya, seperti melahirkan,
menyusui dan mendidik –di samping ayah- seyogyanya menyadari betul akan peran
penting yang dimainkannya. Ia seharusnya memanfaatkan momen-momen penting yang
dilalui oleh anak dan mengisinya dengan hal-hal yang berharga, melalui
pendidikan yang ia berikan selama kebersamaannya dengan sang anak. Ia juga
berpeluang untuk menanamkan nilai-nilai yang bersumber pada agama yang juga
sesuai dengan fitrah sang anak. Maka ketika semua ini disadari, akan lahir
generasi-generasi tangguh dari keluarga tersebut.
Dalam sebuah
syair dikatakan:
Ibu
adalah pembina bangsa, jika dibina dengan sempurna telah kau bangun suatu
bangsa menjadi bangsa yang sukse mulia.
Ibu
laksana taman nan menawan, jika dirawat dan dicurah hijan akan tumbuh mekar dan
segar berdaun lebat rindang menyebar.
Ibu
adalah guru utama dari sebanayk guru pertama, jasa baik karya nyatanya penuhi
penjuru dunia.
Dari hal
tersebut, tidak mengherankan bila Nabi Muhammad saw. menjadikan ibu bertingkat
tiga dibanding ayah dalam penghormatannya. Maka patutlah dipertanyakan sikap
sejumlah aktifis perempuan yang menentang motto Meneg Pemperdayaan Perempuan;
surga di bawah telapak kaki ibu, yang dijadikan pangkal tolak penegasan Meneg
PP tentang peran penting seorang ibu dalam penentuan masa depan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar