Selasa, 08 April 2014

Behind The Thesis IV: Menolak Mempercepat Kiamat

sumber gambar http://septhianienotes.blogspot.com
Dengan cerita ini, saya tidak hendak menghakimi siapa pun. Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan. Cerita ini hanya untuk sharing pengalaman saya. Tidak ada niat lebih.


Ceritanya, saat saya berniat untuk menyelesaikan kuliah dan pergi ke Jakarta, November lalu, ibu dan abah mengusulkan agar Farras diantarkan ke Lamongan saja, supaya saya bisa fokus. Dan terus terang, alasan keenganan saya untuk segera menyelesaikan kuliah dan pergi ke Jakarta adalah Farras dan abahnya. Kalau diingat-ingat, memikirkan untuk berpisah dan memisahkan Farras dari abahnya sungguh menyesakkan. Semakin sesak ditambah bayang-bayang meniggalkan Farras untuk mengurus ujian-ujian. Karena itulah, saya memutuskan untuk tidak menambah rasa 'nyesek' dengan menolak secara halus usulan ibu dan abah. Saya yakinkan kepada mereka kalau saya bisa menyelesaikan kuliah dengan tetap momong Farras sendiri. Insha Allah.



Satu hari di Jakarta, di rumah bulek dengan membawa Farras tentu tidak mudah. Saya tidak hanya menyesuaikan diri, tetapi juga menyesuaikan Farras. Sungguh tidak mudah. Farras ternyata nampak dalam pribadi yang berbeda. Tidak bisa ditinggal dan kelihatan tidak kerasan. Sungguh situasi yang tidak kondusif untuk saya yang sedang butuh konsentrasi tinggi. Saya pun mulai goyah dan sempat terpikir untuk mengantarkan Farras ke rumah mbahnya di Lamongan, apalagi abah dan ibu di Lamongan tiap hari nelpon dan meminta Farras diantarkan ke sana. (Makluk, baru satu cucunya). Si Mas yang masih di Jakarta juga berpikiran sama. Tapi, pikiran itu segera saya singkirkan. Farras ini anak saya. Dan dia adalah amanah. Kalau hanya karena kuliah saya menitipkan Farras, bagaimana saya bertanggung jawab?



Akhirnya, saya tetap pada keputusan pertama. Saya akan momong Farras sendiri, apapun nanti keadaannya. Banyak cerita tentunya. Ada kalanya saya membawa Farras ke kampus untuk mengurus administrasi. Ada kalanya saya membawanya ketika konsultasi ke dosen, daftar ujian, bahkan saat saya ujian. Saat-saat seperti itu, Farras diajak buleknya di taman, lari-lari sampai capek, dan akan berteriak kegirangan saat melihat saya. Ada kalanya Farras saya tinggal di rumah bersama buleknya saat saya ujian dan membutuhkan waktu banyak. Farras juga pernah seharian saya tinggal ke perpustakaan. Hasilnya, saya tidak tenang dan Farras pun terlihat sangat kehilangan dan segera memeluk saat saya pulang. 



Ada pula cerita saya mengerjakan tesis dengan memangkunya, membawa Farras hujan-hujanan ke kampus, dan juga acara 'ngambek-ngembekan' dengan Farras. Kalau dipikir-pikir sekarang, masa itu sungguh menyedihkan. Sangat jarang saya mengajak Farras tertawa-tawa, bercanda, atau sekedar main mobil-mobilan. Saya juga sering memberikan Farras pada TV. Sungguh itu suatu dosa bagi saya. Saya hanya bisa mengambil hikmahnya, ketika penat dan rasa kesal pada Farras datang, maka saya segera ingat masa-masa di Jakarta dan segala salah yang telah saya perbuat padanya. Dengan begitu, saya akan urung mengerutkan dahi dan memanyunkan bibir. 



Lalu apa hubungannya dengan Kiamat? Ikuti kisah selanjutnya!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar