Koleksi kami yang baru sedikit |
Kalau membaca cerita-cerita klasik, maka tidak dapat tidak pasti
kita menemui cerita tentang ruangan khusus membaca, menggambar, atau berdikusi
yang dimiliki tiap tokoh, contohnya dalam roman Pride and Prejudice (Jane
Austen). Atau paling tidak dikisahkan kegemaran tokoh utamanya pada buku.
Sampai-sampai saya menyimpulkan bahwa pengetahuan dan kemampuan yang wajib
dimiliki oleh anak-anak pada masa itu adalah pengetahuan sejarah, biografi, dan
kemampuan membaca sastra dan puisi. Seorang anak (atau siapapun itu) baru dikatakan
berpendidikan (beradab) bila menguasai ketiga hal tersebut. Menguasai di sini
bukan hanya sekedar menghafal urutan tahun dalam sejarah, atau pandai
menyairkan puisi lho ya, tetapi lebih dari itu, menguasai sejarah dan biografi
adalah anak (atau seseorang) mampu mengambil pelajaran dari kedua subjek
tersebut.
Kenapa sejarah itu penting? Ini tidak sekedar terkait dengan
pengetahuan tentang urutan tahun dari suatu kajadian. Lebih dari itu,
pengetahuan tentang sejarah diperlukan untuk mengetahui peristiwa yang telah
lalu untuk kemudian dijadikan bahan pelajaran dan asah pikiran atas tiap
kejadian di masa kini. Sementara sastra dan puisi diperlukan untuk
menyingkapkan hal-hal yang terdalam dalam jiwa manusia, yang kemudian bisa
dijadikan teladan dan petunjuk bagi perilaku.
Selain pada cerita, saya juga mengamati film-film luar negeri yang
selalu menampilkan buku ada di ruangan mereka. Baik itu film Barat maupun
drama-drama romantis, seperti drama Korea. Hampir di setiap latar dari film-film
tersebut ada pajangan rak buku dan beberapa tokoh utamanya gandrung pada buku. Bahkan
pada film kartun Masha and The Bear pun sangat menonjolkan buku dan kesenangan
si Bear pada buku yang akhirnya menular pada Bear.
Lain halnya dengan ruangan-ruangan yang ada di masyarakat kita. Hanya sedikit rumah yang dihiasi rak-rak buku. Kalaupun ada rak buku, biasanya lebih banyak buku-buku pelajaran yang formal saja. Akan aneh dipandang kalau ada ruang tamu yang dihiasi rak-rak buku. Seperti ruang tamu saya saat ini (rak buku ditaruh di ruang tamu karena rumah kami mungil dan memang tidak punya ruang khusus membaca). Orang yang pertama kali ke rumah banyak yang mengira kami jualan buku, atau jualan mushaf (karena di rak bagian atas ada beberapa buku tafsir), atau kami membuka perpustakaan umum.
Saya, dari kecil ingin sekali punya perpustakaan mini. Sejak madrasah
ibtidaiyah, saya mempunyai hobi mengumpulkan buku-buku, meskipun lebih pada
buku pelajaran. Saya senang sekali kalau ada kesempatan berkunjung ke rumah
paklek, sepupu, atau saudara-saudara lain yang mempunyai banyak buku yang biasanya hanya diletakkan dalam tumpukan
kardus. Saya betah berlama-lama membongkar kardus-kardus itu dan
memilih-milihnya untuk kemudian saya bawa pulang. Tidak peduli itu buku buat
anak madrasah ibtidayah atau SMP, bagi saya yang penting bisa menambah
pengetahuan. Yang paling menarik bagi saya waktu itu adalah buku pelajaran
sejarah. Tidak heran, di antara semua teman sekelas saya, buku sayalah yang
paling lengkap. Ditambah lagi kebiasaan abah yang tidak pernah menolak untuk
membelikan saya buku ketika saya memintanya (dan hanya berlaku pada permintaan
berupa buku, tidak yang lainnya). Ketika di madrasah tsanawiyah dan madrasah
aliyah pun, tetap, koleksi buku saya tetap yang terbanyak di antara
teman-teman, termasuk kitab-kitab kuning. Ini lagi-lagi karena abah tidak pernah
menolak ketika saya minta belikan buku.
Sayangnya, buku-buku koleksi saya yang banyak itu hanya seputar
buku pelajaran. Tidak ada buku sastra atau bacaan lainnya. Itu karena di kota
kami jarang sekali toko buku besar yang menjual aneka macam buku. Juga karena
abah (seperti halnya para orang tua kebanyakan) yang masih menekankan
penguasaan ilmu-ilmu pelajaran saja. Biasanya kalau saya ingin baca buku
cerita, saya meminjamnya di perpustakaan. Keadaan perpustakaan yang sepi (baik
perpustkaan madrasah, tsanawiyah, maupun aliyah), menguntungkan saya memilih
banyak koleksi tanpa harus mengantri. Saya ingat, saya membaca karya-karya
sastra angkatan Balai Pustaka, seperti Salah Asuhan, Salah Pilih, Siti Nurbaya,
juga angkatan Pujangga Baru, seperti di Bawah Lindungan Kabah, dan lainnya
ketika saya di tsanawiyah. Saking kuatnya cerita-cerita itu, saya seringkali
bermimpi bisa mengunjungi Sumatera Barat yang banyak digunakan sebagai latar
pada cerita-cerita itu. Dan tau kah saudara-saudara, ternyata cerita-cerita itu
lebih kuat teringat di benak kepala saya dibandingkan isi dari buku-buku
pelajaran. Saya setuju dengan ungkapan seorang teman yang menyatakan bahwa anak
lebih membutuhkan buku-buku cerita, karya sastra, serta puisi untuk
mengembangkan imajinasi mereka dibandingkan buku-buku pelajaran.
Jujur saja, saya merasa sangat minder ketika bergabung di suatu
grup komunitas parenting dan pecinta buku di facebook. Saya yang merasa sudah
mempunyai bacaan yang banyak rupanya tidak ada apa-apanya dengan teman-teman.
Bahkan ketika mereka bernostalgia dengan bacaan mereka ketika kecil, seperti
serial Tini, Heidi, Peter Pan, dan lainnya, saya tidak tau apa-apa. Apalagi
ketika membaca daftar yang dibuat oleh sebuah komunitas homeschooling tentang
daftar bacaan anak-anak, wuiiiih... saya semakin menedelep (tenggelam, kata
orang Jawa). Tak satu pun dari daftar buku-buku tersebut saya pernah saya baca.
Apalagi rujukan buku-buku sejarahnya, jauuuuuh.
Lalu, sebenarnya apa manfaat buku-buku sastra dan sejarah itu? Seperti
yang saya singgung sebelumnya. Semua buku-buku itu akan menanamkan karakter dan
nilai sikap yang lebih kuat bila dibandingkan penanaman karakter dan nilai
melalui buku-buku pelajaran yang bersifat formal. Baru-baru ini (ya, di umur
emak-emak yang dua tahun lagi menginjak umur 30 tahun ini), saya membaca novel
klasik anak-anak (yang seharusnya sudah dibaca anak ketika kelas tiga SD) yang
berjudul A Little Princess, yang
menceritakan sikap dan karakter si tokoh utama yang cerdas, rendah hati, serta
baik hati, saat kehidupannya kaya raya, dan tetap tegar, tidak mengeluh, sabar,
serta bersemangat, ketika kemiskinan menimpanya. Dan ketika kekayaannya kembali,
ia tetap bersahaja, tanpa sedikitpun berniat membalas dendam orang-orang yang
menyakitinya. Dan begitulah sejatinya sikap dan kepribadian yang harus dimiliki
oleh setiap manusia. Bila seorang anak membaca cerita ini dan menghayatinya,
bisa dipastikan cerita ini akan kuat melekat di ingatan sang anak dibanding buku-buku
pelajaran yang paparkan secara formal. Ini hanya salah satu contoh.
Memang terlambat bagi saya untuk menyadari hal ini. Tapi saya rasa
belum terlambat untuk Farras (dan adik-adiknya kelak). Karena itulah, sedapat
mungkin saya akan memperbaiki keadaan kami. Memang buku-buku kami di rumah
belum banyak (terutama buku-buku sastra), tapi setidaknya, anak-anak kami terbiasa dengan buku, mencintai buku, gemar membaca, dan senantiasa ingin tau dan cinta ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar