Jumat, 17 Oktober 2014

Ayo Hidup Sederhana!



Masih ingat berita tentang jam tangan jenderal kita yang menjadi bahan pembicaraan di negeri tetangga? Sang Jenderal diberitakan memiliki jam tangan mewah yang berharga milyaran rupiah. Tapi kemudian Sang Jenderal membantah, bahwa jam tangan itu bukan jam tangan asli dan hanya jam tangan tiruan yang harganya ‘hanya’ pada kisaran jutaan saja. Entah, mana berita yang benar, yang pasti harga jam tangan itu mahal, entah itu satu milyar atau lima juta, harga itu banyak dirasa mahal untuk kebanyakan masyarakat kita.
 
Ada satu nilai dan sikap kehidupan yang nampaknya akhir-akhir ini ditinggalkan oleh para pesohor kita, baik itu pejabat maupun artis. Nilai tersebut adalah kesederhanaan. Sebagian besar dari mereka seringkali memamerkan gaya hidup mewah, komsumtif, dan berlimpahan harta benda melimpah. Dengan bangganya mereka memperlihatkan harta benda mahal, mulai sepatu dengan harga sekian juta, tas sekian ratus juta, motor sekian milyar, mobil mewah sekian triliun, dan seterusnya, seolah mereka adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.
Tak sedikit pun ada rasa peduli, peka, atau iba pada kalangan masyarakat miskin yang menonton tayangan-tayangan itu setiap harinya. Ya, memang sih, semua itu diperolehnya dari hasil usaha mereka sendiri. Istilah mereka, ‘Ini kan uang-uang gue, kenapa lu yang ribut?’ Tapi yang namanya manusia kan makhluk sosial, begitu kata pelajaran sosiologi, yang artinya tidak bisa lepas dari manusia lain, tidak bisa hidup bebas tanpa penilaian orang lain –terlepas penilaian itu benar atau salah- dan juga tidak bisa hidup seenak udhele.

Nah, di tempat lain, diakui atau tidak, tindak kriminal akhir-akhir ini meningkat tajam. Setiap hari kita disuguhkan berita-berita negatif tanpa jeda. Jangan dikira semua itu tidak ada hubungannya dengan nilai kesederhanaan. Dan jangan dikira pula semua itu tidak ada hubungannya dengan tontonan-tontonan televisi dan media-media lain yang menampilkan kemewahan para pesohor yang tidak peka akan lingkungan masyarakat kebanyakan.

Bagaimana tidak? Ketika satu kelompok masyarakat berfoya-foya, memamerkan deretan mobil mewah serta gaya hidupnya, di tempat lain ada masyarakat yang jangankan untuk membeli ini itu, untuk makan saja susah. Sementara masyarakat lemah ini diberi tontonan gratis melalui televisi dan sobekan koran tentang kemewahan kelompok lainnya. Berita ini terus diperontonkan dari hari ke hari tiada henti. Hingga kesan yang terpatri dalam benak masyarakat adalah bahwa kesuksesan itu seperti yang dipertontonkan di televisi, kebahagiaan adalah ketika hidup bergelimang harta, bermobil mewah, mempunyai rumah berderet-deret banyaknya, dan seterusnya. Untuk mencapai semua itu, segala usaha pun ditempuh. Masih baik kalau usaha untuk mencapai itu semua dilalui dengan cara yang lurus, tapi pada kenyataannya, seringkali manusia dibutakan oleh godaan kemudahan mencapai kesuksesan. Seringkali media memberitakan betapa masyarakat kita lebih memilih jalan pintas untuk mencapai apa yang disebut sosok ‘kebahagiaan’ yang baru. Maka terjadilah penipuan, korupsi, perampokan, penculikan, dan kejahatan lainnya.

Padahal, dalam setiap pendidikan moral atau sekarang yang banyak disebut sebagai pendidikan karakter yang digembor-gemborkan oleh kurikulum pendidikan nasional, nilai kesederhanaan adalah sikap hidup yang mulia. Artinya, setiap masyarakat yang terdidik diharapkan memiliki sikap hidup tersebut agar tercipta kehidupan yang seimbang dan harmoni. Ketika kehidupan tercipta secara seimbang dan harmoni, maka segala konflik kesenjangan sosial masyarakat akan dapat dicegah.  Istilah jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin tidak perlu terjadi. Iri dengki masyarakat kelas menengah ke bawah pun tidak perlu ada. Toh, nilai kekayaan, penghormatan, serta kepribadian tidak akan luntur hanya karena kesederhanaan, bukan?

Inilah pekerjaan rumah bagi kita semua, bagi para guru yang mendidik siswa-siswa di sekolah, bagi para anggota masyarakat dengan perilakunya, bagi para pejabat dengan teladan dan contoh nyatanya, bagi para pengusaha dengan gaya hidupnya, dan yang paling bertanggung jawab adalah bagi kita, para orang tua. Orang tua adalah peletak nilai-nilai dasar kehidupan seorang anak yang kelak akan menjadi manusia dewasa. Orang tua yang paling banyak diharapkan mampu menjadi pendidik sekaligus teladan bagi nilai-nilai kebajikan yang kelak akan menjadi pijakan anak dalam menjalani kehidupannya. Karena kehidupan kita, bukan hanya milik kita, tetapi milik masyarakat kita yang kelak akan dipertanggung jawabkan kepada Pemiliknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar