Masih ingat berita tentang jam tangan jenderal kita yang
menjadi bahan pembicaraan di negeri tetangga? Sang Jenderal diberitakan
memiliki jam tangan mewah yang berharga milyaran rupiah. Tapi kemudian Sang
Jenderal membantah, bahwa jam tangan itu bukan jam tangan asli dan hanya jam
tangan tiruan yang harganya ‘hanya’ pada kisaran jutaan saja. Entah, mana
berita yang benar, yang pasti harga jam tangan itu mahal, entah itu satu milyar
atau lima juta, harga itu banyak dirasa mahal untuk kebanyakan masyarakat kita.
Ada satu nilai dan sikap kehidupan yang nampaknya akhir-akhir
ini ditinggalkan oleh para pesohor kita, baik itu pejabat maupun artis. Nilai
tersebut adalah kesederhanaan. Sebagian besar dari mereka seringkali memamerkan
gaya hidup mewah, komsumtif, dan berlimpahan harta benda melimpah. Dengan
bangganya mereka memperlihatkan harta benda mahal, mulai sepatu dengan harga
sekian juta, tas sekian ratus juta, motor sekian milyar, mobil mewah sekian
triliun, dan seterusnya, seolah mereka adalah orang yang paling bahagia di
dunia ini.
Tak sedikit pun ada rasa peduli, peka, atau iba pada kalangan masyarakat miskin yang menonton tayangan-tayangan itu setiap harinya. Ya, memang sih, semua itu diperolehnya dari hasil usaha mereka sendiri. Istilah mereka, ‘Ini kan uang-uang gue, kenapa lu yang ribut?’ Tapi yang namanya manusia kan makhluk sosial, begitu kata pelajaran sosiologi, yang artinya tidak bisa lepas dari manusia lain, tidak bisa hidup bebas tanpa penilaian orang lain –terlepas penilaian itu benar atau salah- dan juga tidak bisa hidup seenak udhele.
Tak sedikit pun ada rasa peduli, peka, atau iba pada kalangan masyarakat miskin yang menonton tayangan-tayangan itu setiap harinya. Ya, memang sih, semua itu diperolehnya dari hasil usaha mereka sendiri. Istilah mereka, ‘Ini kan uang-uang gue, kenapa lu yang ribut?’ Tapi yang namanya manusia kan makhluk sosial, begitu kata pelajaran sosiologi, yang artinya tidak bisa lepas dari manusia lain, tidak bisa hidup bebas tanpa penilaian orang lain –terlepas penilaian itu benar atau salah- dan juga tidak bisa hidup seenak udhele.
Nah, di tempat lain, diakui atau tidak, tindak kriminal
akhir-akhir ini meningkat tajam. Setiap hari kita disuguhkan berita-berita
negatif tanpa jeda. Jangan dikira semua itu tidak ada hubungannya dengan nilai
kesederhanaan. Dan jangan dikira pula semua itu tidak ada hubungannya dengan
tontonan-tontonan televisi dan media-media lain yang menampilkan kemewahan para
pesohor yang tidak peka akan lingkungan masyarakat kebanyakan.
Bagaimana tidak? Ketika satu kelompok masyarakat
berfoya-foya, memamerkan deretan mobil mewah serta gaya hidupnya, di tempat
lain ada masyarakat yang jangankan untuk membeli ini itu, untuk makan saja
susah. Sementara masyarakat lemah ini diberi tontonan gratis melalui televisi
dan sobekan koran tentang kemewahan kelompok lainnya. Berita ini terus
diperontonkan dari hari ke hari tiada henti. Hingga kesan yang terpatri dalam
benak masyarakat adalah bahwa kesuksesan itu seperti yang dipertontonkan di
televisi, kebahagiaan adalah ketika hidup bergelimang harta, bermobil mewah,
mempunyai rumah berderet-deret banyaknya, dan seterusnya. Untuk mencapai semua
itu, segala usaha pun ditempuh. Masih baik kalau usaha untuk mencapai itu semua
dilalui dengan cara yang lurus, tapi pada kenyataannya, seringkali manusia
dibutakan oleh godaan kemudahan mencapai kesuksesan. Seringkali media
memberitakan betapa masyarakat kita lebih memilih jalan pintas untuk mencapai
apa yang disebut sosok ‘kebahagiaan’ yang baru. Maka terjadilah penipuan,
korupsi, perampokan, penculikan, dan kejahatan lainnya.
Padahal, dalam setiap pendidikan moral atau sekarang yang
banyak disebut sebagai pendidikan karakter yang digembor-gemborkan oleh
kurikulum pendidikan nasional, nilai kesederhanaan adalah sikap hidup yang
mulia. Artinya, setiap masyarakat yang terdidik diharapkan memiliki sikap hidup
tersebut agar tercipta kehidupan yang seimbang dan harmoni. Ketika kehidupan
tercipta secara seimbang dan harmoni, maka segala konflik kesenjangan sosial
masyarakat akan dapat dicegah. Istilah
jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin tidak perlu terjadi. Iri dengki
masyarakat kelas menengah ke bawah pun tidak perlu ada. Toh, nilai kekayaan, penghormatan, serta kepribadian tidak akan luntur hanya karena kesederhanaan, bukan?
Inilah pekerjaan rumah bagi kita semua, bagi para guru yang
mendidik siswa-siswa di sekolah, bagi para anggota masyarakat dengan
perilakunya, bagi para pejabat dengan teladan dan contoh nyatanya, bagi para
pengusaha dengan gaya hidupnya, dan yang paling bertanggung jawab adalah bagi
kita, para orang tua. Orang tua adalah peletak nilai-nilai dasar kehidupan
seorang anak yang kelak akan menjadi manusia dewasa. Orang tua yang paling
banyak diharapkan mampu menjadi pendidik sekaligus teladan bagi nilai-nilai
kebajikan yang kelak akan menjadi pijakan anak dalam menjalani kehidupannya. Karena kehidupan kita, bukan hanya milik kita, tetapi milik masyarakat kita yang kelak akan dipertanggung jawabkan kepada Pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar