Hastag perang ibu kembali ramai di dunia maya. Perang itu
antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan segala poster dan gambar-gambar
nyinyirnya. Yang satu menjelekkan yang lain dan merasa pilihannya lah yang
paling benar. Biasanya ibu bekerja akan menggunakan argumen kemandirian.
Sementara ibu rumah tangga menggunakan argumen surga.
Saya sendiri baru saja mengalami perdebatan ini di timeline
saya, walau perdebatannya tidak seseru dan sesengit di timeline fanpage-fanpage
yang menayangkan gambar-gambar penyulut perang. Dalam status terbaru yang saya
tulis itu, saya mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan memilih secara bebas
pilihan hidup saya. Saya memilih berada di rumah. Saya katakan bahwa pilihan
ini bukan bangga-banggaan, tetapi lebih ungkapan rasa syukur karena saya tau,
di luar sana ada banyak perempuan yang ‘terpaksa’ memilih meninggalkan anak
dengan rasa sesak di dada.
Begitulah kria-kira bunyi status saya. Niat saya –sungguh-
hanyalah bersyukur, sama sekali tidak ada niat untuk menyindir, nyinyir, atau
menyepelekan apalagi menghinakan pilihan orang lain yang berbeda dengan saya,
yaitu perempuan-perempuan yang memilih bekerja dan berkarya di luar rumah.
Saya menulis status ini karena suatu kejadian memilukan yang
saya rasakan sehari sebelumnya. Pagi-pagi, saat saya membersihkan halaman
rumah, sekitar jam 7an lah, saya mendengar anak tetangga yang berumur 8 bulan
menjerit kencang karena hendak ditinggal ibunya bekerja. Sebenarnya sang ibu
sudah kembali bekerja sejak cuti melahirkannya habis. Jadi selama ini si anak
sering diantarkan ke kampung dan diasuh oleh simbahnya di sana. Karena simbah
harus mengurus simbah kakung dan mbah buyut, akhirnya si balita diantar ke
kota.
Si ibu pun mencari pengasuh seorang ibu paruh baya yang
sudah memiliki cucu juga. Nah, saat berpisah dengan si ibu dan beralih ke
tangan pengasuhnya inilah drama mengharukan ini terjadi. Akhirnya entah dengan
cara apa si ibu pengasuh pun bisa menenangkan si balita. Tapi kejadian kembali
berulang. Sekitar jam 10an, si balita kembali menjerit-jerit. Kami, saya dan
ibu-ibu yang tidak bekerja, langsung berhamburan keluar mendatangi jeritan
balita. Satu persatu dari kami bergiliran membujuk, menenangkan, menggendong si
balita supaya bisa tenang. Tapi tidak berhasil. Karena panik dan tangisan
balita yang sudah terlalu lama, kami pun memutuskan untuk menghubungi sang ibu
dan memintanya segera pulang.
Saat seperti itulah, saya membayangkan yang menangis adalah
Farras. Waduh.... tak terasa, air mata saya pun keluar saat menenangkan balita.
Saya membayangkan betapa tersiksanya si balita dan satu-satunya orang yang
diharapkannya tidak ada di sampingnya. Saya yang sudah dewasa –tua maksudnya,
hehehe- terkadang merasa merana dan sedih tidak terkira saat mengharapkan orang
yang paling menenangkan, sementara dia tidak ada di sisi, apalagi si balita.
Tapi saya pun tidak bisa berbuat banyak untuk si balita. Si
ibu ‘terpaksa’ harus bekerja karena tuntutan ekonomi. Bagi saya itu sungguh
pilihan yang sangat pahit. ‘Andai saja ada pilihan pekerjaan yang bisa saya
kerjakan di rumah, Mbak, saya akan berhenti dan memilih di rumah saja,’ begitu
katanya suatu hari.
Atas keadaan itulah saya menulis status yang ternyata dibaca
banyak orang dan sebagian dari mereka salah faham atas status tersebut. Saya
dianggap mensyukuri sesuatu sambil mengkufuri yang lain. Saya bersyukur menjadi
ibu di rumah dan mengkufuri ibu-ibu yang bekerja di luar. Ada pula komentar
yang menganggap bahwa saya sebagai ibu di rumah lebih baik daripada ibu yang
bekerja di luar.
Tidak, bukan itu maksud saya. Ungkapan rasa syukur itu
seperti ketika saya melihat tayangan ‘Orang Pinggiran’ di Trans 7 yang
rata-rata berada di bawah garis kemiskinan dan saya mensyukuri keadaan saya
yang lebih baik dari mereka yang masih bisa makan tiap hari, atau ketika saya
menyaksikan betapa tidak tenangnya warga Gaza dalam menjalani keseharian mereka
sementara saya bisa menjalani hari-hari saya dengan tenang. Tidak ada niat
untuk mengkufuri orang lain. Sama sekali bukan. Saya tetap menghormati pilihan
perempuan-perempuan lain yang berbeda dengan saya. Bahkan saya sangat salut
dengan ibu-ibu pekerja yang tetap bisa mengantarkan anak-anak mereka ke pintu
kesuksesan mereka. Tapi saya pribadi merasa buakn perempuan multitasking dengan
beragam kemampuan yang bisa saya kerjakan dalam satu waktu sekaligus. Untuk
saat ini, bagi saya, pilihan menjadi ibu di rumah adalah pilihan yang tepat.
Hanya bagi saya. Saya tidak berharap semua orang setuju dengan saya karena
keadaan masing-masing orang berbeda-beda. Dalam hal ini pun, saya tidak merasa
menjadi ibu yang paling baik dalam mendidik anak. Saya sadar sepenuhnya, bahwa
masih banyak celah dan kekurangan saya selama menjadi ibu dan itu adalah peer
saya ke depan. Saya juga tidak menganggap ibu bekerja di luar itu lebih buruk
dalam mendidik anak-anak mereka.
Tapi, ini tapi lho ya. Kalau ada teman-teman dekaaaaaat
banget yang bertanya pendapat saya tentang pilihan mereka (menjadi ibu di rumah
atau bekerja di luar), saya akan berharap mereka setuju dengan saya. Itu pun
setelah saya benar-benar memahami kondisi dan kecenderungan pilihannya. Kalau
pun pada akhirnya dia mempunyai pilihannya sendiri, saya tetap menghormatinya
dan tetap mendukungnya. Misalnya, tahun lalu ada teman sekamar waktu di asrama
dulu yang bertanya apakah pilihannya berhenti mengajar dan mengurus anak serta
ibunya yang sudah sepuh itu sudah tepat. Dia bertanya kepada saya karena
kebanyakan kakak-kakaknya protes atas pilihannya. Dia dikatakan bodoh lah,
tidak pandai memilih lah, menyia-nyiakan kesempatan lah, dan lain-lain. Saya
pun memastikan, apakah pilihannya itu sudah disetujui suaminya? Apakah
pilihannya itu sudah dipikir matang-matang? Saya kemudian mengutarakan pendapat
pribadi saya dan kami pun saling berbagi. Saya katakan kepadanya beberapa
konsekuensi dari pilihannya (jangan dikira, ibu di rumah tidak merasakan
kegalauan sebagaimana ibu bekerja di luar) yang saya harapakan bisa bermanfaat
saat dia menjalaninya kelak.
Jadi, saya tegaskan bahwa pilihan saya adalah untuk kebaikan
saya pribadi, yang belum tentu baik bagi orang lain. Bagi saya, semua pilihan
ada nilai dan konsekuensinya masing-masing. Dan semua akan dimintai
pertangggungjawaban kelak di akhirat nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar