Jumat, 10 Oktober 2014

Inilah Pilihan Saya


Hastag perang ibu kembali ramai di dunia maya. Perang itu antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan segala poster dan gambar-gambar nyinyirnya. Yang satu menjelekkan yang lain dan merasa pilihannya lah yang paling benar. Biasanya ibu bekerja akan menggunakan argumen kemandirian. Sementara ibu rumah tangga menggunakan argumen surga.

Saya sendiri baru saja mengalami perdebatan ini di timeline saya, walau perdebatannya tidak seseru dan sesengit di timeline fanpage-fanpage yang menayangkan gambar-gambar penyulut perang. Dalam status terbaru yang saya tulis itu, saya mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan memilih secara bebas pilihan hidup saya. Saya memilih berada di rumah. Saya katakan bahwa pilihan ini bukan bangga-banggaan, tetapi lebih ungkapan rasa syukur karena saya tau, di luar sana ada banyak perempuan yang ‘terpaksa’ memilih meninggalkan anak dengan rasa sesak di dada.


Begitulah kria-kira bunyi status saya. Niat saya –sungguh- hanyalah bersyukur, sama sekali tidak ada niat untuk menyindir, nyinyir, atau menyepelekan apalagi menghinakan pilihan orang lain yang berbeda dengan saya, yaitu perempuan-perempuan yang memilih bekerja dan berkarya di luar rumah.

Saya menulis status ini karena suatu kejadian memilukan yang saya rasakan sehari sebelumnya. Pagi-pagi, saat saya membersihkan halaman rumah, sekitar jam 7an lah, saya mendengar anak tetangga yang berumur 8 bulan menjerit kencang karena hendak ditinggal ibunya bekerja. Sebenarnya sang ibu sudah kembali bekerja sejak cuti melahirkannya habis. Jadi selama ini si anak sering diantarkan ke kampung dan diasuh oleh simbahnya di sana. Karena simbah harus mengurus simbah kakung dan mbah buyut, akhirnya si balita diantar ke kota.

Si ibu pun mencari pengasuh seorang ibu paruh baya yang sudah memiliki cucu juga. Nah, saat berpisah dengan si ibu dan beralih ke tangan pengasuhnya inilah drama mengharukan ini terjadi. Akhirnya entah dengan cara apa si ibu pengasuh pun bisa menenangkan si balita. Tapi kejadian kembali berulang. Sekitar jam 10an, si balita kembali menjerit-jerit. Kami, saya dan ibu-ibu yang tidak bekerja, langsung berhamburan keluar mendatangi jeritan balita. Satu persatu dari kami bergiliran membujuk, menenangkan, menggendong si balita supaya bisa tenang. Tapi tidak berhasil. Karena panik dan tangisan balita yang sudah terlalu lama, kami pun memutuskan untuk menghubungi sang ibu dan memintanya segera pulang.

Saat seperti itulah, saya membayangkan yang menangis adalah Farras. Waduh.... tak terasa, air mata saya pun keluar saat menenangkan balita. Saya membayangkan betapa tersiksanya si balita dan satu-satunya orang yang diharapkannya tidak ada di sampingnya. Saya yang sudah dewasa –tua maksudnya, hehehe- terkadang merasa merana dan sedih tidak terkira saat mengharapkan orang yang paling menenangkan, sementara dia tidak ada di sisi, apalagi si balita.

Tapi saya pun tidak bisa berbuat banyak untuk si balita. Si ibu ‘terpaksa’ harus bekerja karena tuntutan ekonomi. Bagi saya itu sungguh pilihan yang sangat pahit. ‘Andai saja ada pilihan pekerjaan yang bisa saya kerjakan di rumah, Mbak, saya akan berhenti dan memilih di rumah saja,’ begitu katanya suatu hari.
Atas keadaan itulah saya menulis status yang ternyata dibaca banyak orang dan sebagian dari mereka salah faham atas status tersebut. Saya dianggap mensyukuri sesuatu sambil mengkufuri yang lain. Saya bersyukur menjadi ibu di rumah dan mengkufuri ibu-ibu yang bekerja di luar. Ada pula komentar yang menganggap bahwa saya sebagai ibu di rumah lebih baik daripada ibu yang bekerja di luar.

Tidak, bukan itu maksud saya. Ungkapan rasa syukur itu seperti ketika saya melihat tayangan ‘Orang Pinggiran’ di Trans 7 yang rata-rata berada di bawah garis kemiskinan dan saya mensyukuri keadaan saya yang lebih baik dari mereka yang masih bisa makan tiap hari, atau ketika saya menyaksikan betapa tidak tenangnya warga Gaza dalam menjalani keseharian mereka sementara saya bisa menjalani hari-hari saya dengan tenang. Tidak ada niat untuk mengkufuri orang lain. Sama sekali bukan. Saya tetap menghormati pilihan perempuan-perempuan lain yang berbeda dengan saya. Bahkan saya sangat salut dengan ibu-ibu pekerja yang tetap bisa mengantarkan anak-anak mereka ke pintu kesuksesan mereka. Tapi saya pribadi merasa buakn perempuan multitasking dengan beragam kemampuan yang bisa saya kerjakan dalam satu waktu sekaligus. Untuk saat ini, bagi saya, pilihan menjadi ibu di rumah adalah pilihan yang tepat. Hanya bagi saya. Saya tidak berharap semua orang setuju dengan saya karena keadaan masing-masing orang berbeda-beda. Dalam hal ini pun, saya tidak merasa menjadi ibu yang paling baik dalam mendidik anak. Saya sadar sepenuhnya, bahwa masih banyak celah dan kekurangan saya selama menjadi ibu dan itu adalah peer saya ke depan. Saya juga tidak menganggap ibu bekerja di luar itu lebih buruk dalam mendidik anak-anak mereka.

Tapi, ini tapi lho ya. Kalau ada teman-teman dekaaaaaat banget yang bertanya pendapat saya tentang pilihan mereka (menjadi ibu di rumah atau bekerja di luar), saya akan berharap mereka setuju dengan saya. Itu pun setelah saya benar-benar memahami kondisi dan kecenderungan pilihannya. Kalau pun pada akhirnya dia mempunyai pilihannya sendiri, saya tetap menghormatinya dan tetap mendukungnya. Misalnya, tahun lalu ada teman sekamar waktu di asrama dulu yang bertanya apakah pilihannya berhenti mengajar dan mengurus anak serta ibunya yang sudah sepuh itu sudah tepat. Dia bertanya kepada saya karena kebanyakan kakak-kakaknya protes atas pilihannya. Dia dikatakan bodoh lah, tidak pandai memilih lah, menyia-nyiakan kesempatan lah, dan lain-lain. Saya pun memastikan, apakah pilihannya itu sudah disetujui suaminya? Apakah pilihannya itu sudah dipikir matang-matang? Saya kemudian mengutarakan pendapat pribadi saya dan kami pun saling berbagi. Saya katakan kepadanya beberapa konsekuensi dari pilihannya (jangan dikira, ibu di rumah tidak merasakan kegalauan sebagaimana ibu bekerja di luar) yang saya harapakan bisa bermanfaat saat dia menjalaninya kelak.

 


Jadi, saya tegaskan bahwa pilihan saya adalah untuk kebaikan saya pribadi, yang belum tentu baik bagi orang lain. Bagi saya, semua pilihan ada nilai dan konsekuensinya masing-masing. Dan semua akan dimintai pertangggungjawaban kelak di akhirat nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar