Senin, 24 Maret 2014

Cinta, Jodoh, dan Nikah

Dalam status FB beberapa waktu yang lalu, saya menulis:
    "Jatuh cinta dan menikah adalah dua hal yang berbeda. Jatuh cinta tidak bisa     memilih sedangkan menikah adalah memilih. Di saat memilih itulah, ada hal-    hal yang perlu dipertimbangkan."
 
Niat hati sebenarnya ingin menyenggol seorang sabahat yang sedang ngotot dengan perasaannya dan ingin melanjutkan si perasaan kepada jenjang pernikahan. Si sahabat beranggapan bahwa perasaannya adalah benar dan jalan yang tepat untuk diteruskan ke jenjang pernikahan.
 
Status itu juga saya anggap sebagai perenungan yang dalam atas sebuah kata yang bernama "menikah." Saya tegaskan bahwa menikah adalah memilih, sama seperti takdir yang juga sering saya anggap sebagai pilihan. Artinya, manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dengan siapa dia akan menikah, apakah dia mau memilih dijodohkan orang tuanya, apakah dia mau memilih berkenalan sendiri, apakah dia mau menikah dengan kenalan yang baru dikenalnya di bis, atau pilihan-pilihan lainnya. Saya sendiri tidak sepenuhnya sepakat dengan peribahasa, "kalau jodoh tak akan lari," yang bagi saya hanya sebuah ungkapan pesimisme dalam menjalani hidup. Tapi, bukan berarti pilihan ini liar di luar kehendak-Nya. Tetep, seperti kata Bang Opick, "semua berjalan dalam kehendak-Nya, nafas hidup, cinta, dan segalanya."

Ada satu komentar yang cukup menyita perhatian dalam status tersebut.
 
    "Bagi sy Jatuh cinta itu memilih, laki2 yg sesuai dg kriteria sy baru bisa sy     jatuh cintai, dan dia adl laki2 yg sudah menjadi suami sy. menikah dulu, baru     jatuh cinta, krn qt hanya boleh jatuh cinta pd suami qt.     Landasan menikah     adalah Allah, bukan cinta."
 
Rupanya status saya salah alamat dan tidak tepat sasaran. Sang sahabat yang sedang kasmaran yang saya harapkan membaca status saya ini pun tidak merespon sama sekali. Sementara sahabat lainnya justru balik menasehati saya dengan komentar di atas. Jujur saja, saya sempat tertohok, merasa tersindir, dan agak terganggu, karena komentar tersebut jelas-jelas menyindir saya. Saya sebutkan di komentar sebelumnya kalau saya jatuh cinta, menikah, dan semakin cinta. Rupanya pengalaman saya ini dianggap salah oleh sang sahabat. Tapi ada yang menggelitik di benak saya, apa iya, jatuh cinta itu bisa memilih? Apa iya, jatuh cinta itu hanya diperbolehkan bagi istri untuk suaminya atau sebaliknya? Lalu bagaimana nasib orang-orang yang tidak atau bertemu dengan jodohnya? Apa oya, mereka tidak boleh untuk jatuh cinta? Apakah mereka berdosa bila mereka jatuh cinta? (hanya sekedar jatuh cinta lho ya).
 
Untuk menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya sampai membuka kembali buku-buku tentang risalah cinta, risalah pernikahan, nasehat-nasehat pernikahan, dan sejenisnya. Hingga akhinya saya mendapat jawaban yang sangat sreg di hati saya, jawaban yang saya ambil dari buku "Pengantin Al-Qur'an: Kalung Permata Buat Anak-anakku," karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Beliau menulis,
 
    "Ibn Hazm menjelaskan bahwa cinta tidak dapat dilukiskan, tetapi harus     dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak     melarangnya, karena hati di tangan Tuhan, Dia yang membolak-baliknya.     karena itulah diperlukan penjagaan pandangan dan memelihara kemaluan."
 
Jadi yang saya fahami dari pesan beliau adalah bahwa jatuh cinta adalah alami, untuk selanjutnya, aturan agama diperlukan untuk menjaga cinta yang alami itu menjadi cinta yang halal dan tidak terjerumus pada cinta yang dilarang.
 
Saya jadi teringat juga pada status FB beberapa tahun silam (kesannya lama sekali ya? hehehe)
 
1 November 2010
 
    "Pertanyaan Mario Teguh beberapa hari lalu. "manakah yg akan anda pilih     untuk anda nikahi? A. Orang yg sangat anda cintai tapi dia sangat acuh     kepada anda. B. Orang yg anda cintai secara biasa tp dia menganggap anda     teman biasa. C. Orang yg mencintai anda tapi anda tidak mencintainya."
 
Kala itu saya belum menikah dan baru akan menikah sebulan berikutnya. Komentar dari beberapa sahabat atas status tersebut rata-rata seragam, "tidak ada pilihan yang bisa dipilih," begitu katanya. Ada yang menjawab, "nikahi saja yang terbaik," ada pula yang berkomentar, status saya bikin dia tidak beminat menikah, dan ada pula yang menawar dengan tidak memilih pilihan-pilihan Om Mario Teguh tersebut. Itu sih terserah saudara-saudara ya. Hehehe. Toh saya cuma sharing apa yang saya tonton di TV.
 
Memang, kalau cinta, jodoh, dan nikah itu dibahas dan diperbincangkan, maka yang ada adalah ruwet, bertele-tele, idealis, dan kadang bikin bingung. Ada cerita dari dua sahabat yang sama-sama belum menikah yang pernah membahas persoalan ini sepanjang waktu. Salah satu di antara mereka ditanya oleh yang lain, "seandainya, kalau ada duda beranak dua yang melamar kamu, apa kamu bersedia menjadi istrinya?" Di lain waktu, sahabat tersebut ditanya lagi, "seandainya, kalau ada orang yang lebih muda yang melamar kamu, apa kamu bersedia menerimanya?" Suatu waktu, sang sahabat ditanya lagi, "kalau ada laki-laki yang sangat mencintai kamu, tapi kamu tidak mencintainya, apakah kamu mau menikah dengannya?" Di waktu berikutnya, sahabat ini pun ditanya kembali, "Bagaimana caramu untuk menyatakan cinta pada laki-laki yang kamu cintai, sementara dia tidak menyadari cintamu."
 
Begitu seterusnya, dua sahabat ini pun selalu menyatakan pengandaian-pengandaian akan masa depan mereka, pengandaian akan cinta, jodoh, dan pernikahan. Hingga pada suatu ketika, salah satu di antara mereka menemukan jodohnya, seorang duda beranak dua yang ditinggal istrinya karena meninggal dan usianya lebih muda. Di sela-sela resepsi pernikahannya, dia berpesan pada sahabat A, "menikahlah dengan orang yang sreg di hatimu."

Oalah, rupanya cuma itu toh jawaban atas kegelisahan-kegelisahan serta kegalauan-kegalauanmu?

Artikel ini diikutkan dalam Giveaway Blogger Dengan Dua Status di BlogCamp
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar