Menguji ketrampilan membolak-balik buku perhalaman |
Sebelumnya,
jangan membayangkan anak saya, Farras (2,5 tahun) sudah mampu membaca, menulis,
atau berhitung. Tapi, cerita ini seputar kegiatan Farras dalam bidang akademik
(katakankah begitu) dan juga pengalaman saya menemaninya.
Sebelum saya tercerahkan, saya dulu mempunyai obsesi kalau saya mempunyai anak, saya akan mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung sedini mungkin. Saya sempat membelikannya kartu-kartu yang berisi gambar dan tulisan di usianya yang belum genap 6 bulan. Saya tertarik dengan cerita teman tentang anaknya yang sudah bisa membaca sebelum usia dua tahun. Sampai akhirnya saya sadar setelah saya bergabung di grup-grup parenting dan pendidikan anak. Saya belajar bagaimana mendidik dan mengasuh anak dengan benar, termasuk di dalamya mendidik secara akademik, yang banyak menjelaskan dampak buruk mengajarkan calistung di usia dini. Ternyata obsesi saya sangatlah keliru. Itu murni keinginan saya. Egois sekali ya?
Bagi
saya sendiri, kemampuan Farras dalam calistung ini di atas rata-rata. Saya
tidak hendak membandingkan anak saya dengan anak-anak lainnya, tapi pengalaman
saya mengajar TK dan PAUD beberapa tahun lalu membuat saya takjub atas
kemampuan Farras. Dia sudah mengenal semua huruf abjad dan angka besar di usia
belum genap dua tahun, sekarang sudah mengenal warna dan huruf abjad kecil, dan
sebagian huruf hijaiyah.
Apakah
saya bangga? Saya bersyukur dengan kemampuan Farras. Tapi bagi saya, kemampuan
Farras itu sekedar kelebihan yang memang sudah dianugerahkan kepadanya, yang
boleh jadi setiap anak lahir dengan kelebihan yang berbeda-beda. Jadi semua
kelebihan yang dimiliki Farras tidak perlu untuk dibanggakan. Tugas saya hanya
menemani, memfasilitasi, serta mengarahkan kemampuan dan bakatnya ini.
Kebetulan,
saat Farras berusia 7 bulan di kandungan, saya mengajukan proposal tesis dan
setelah itu saya mengajukan cuti melahirkan. Setelah Farras berusia 6/7 bulan.
Saya mengerjakan tesis sambil momong, membaca buku sambil nunggu Farras
bermain, mengetik sambil mangku Farras yang rewel minta tidur. Dia pun akrab
dengan buku-buku saya dan tidak jarang bermain dengan buku-buku saya. Mungkin pemandangan
itulah yang diikuti Farras. Saya pun membelikannya beberapa buku untuknya, baik
itu buku bacaan, buku mewarnai, dan saya juga membongkar buku-buku koleksi saya
sewaktu mengajar TK-PAUD dulu. Saya juga membelikannya puzzle huruf, beberapa
perangkat yang biasa ditempelkan di TK, dan beberapa balok huruf untuk dia.
Ikut ibu menyelesaikan tugas |
Saya tidak
memaksanya mengenal huruf, angka, atau apa saja. Saya hanya menaruh semua buku
dan mainannya di tempat yang bisa dijangkaunya. Dia bisa kapan saja mengambil
dan bermain dengan mainannya. Di tengah-tengah permainan itulah, dia selalu
bertanya, ‘ibu, ini apa? Itu apa?’
coretan crayon Farras 2,5 tahun |
Untuk membaca,
saya biasanya membacakannya buku cerita kesukaannya (kalau lagi tidak malas,
hehehe). Tidak jarang pula, Farras yang mengambilkan buku tertentu untuk saya
bacakan untuknya. Beberapa kali saya tidak
dibolehkannya bercerita dan membacakan cerita untuknya, karena dia
sendiri yang akan bercerita dan pura-pura membacakan buku pada boneka kucing
dan doraemon kesukaannya.
‘Emon,
mau aca uku? Ini si Gobb unya uit anyak habis jual es. Ini uga unya, tapi jajan
ewus. Habis deh uitnya. Uit Gobb acih anyak. (Doraemon, mau baca buku? Ini si
Gobb punya duit banyak habis jualan es. Ini juga –menunjuk teman Gobb- juga
punya, tapi dibuat jajan terus. Habis deh duitnya. Duit Gobb masih banyak.’
Kartu-kartu yang dulu saya beli pun sudah saya keluarkan. Saya tidak mempunyai waktu atau trik khusus membacakan kartu-kartu itu. Biasanya Farras mengambil beberapa kartu dan mengejanya perhuruf. Saya biasanya akan membaca bunyi tulisannya. Nah, sekarang dia punya kebiasaan yang menggelikan dan sering kali membuat kami terbahak-bahak ketika menyaksikannya. Dia senang sekali mengeja kartu dan kemudian membacanya sendiri dengan menirukan gaya saya.
'b-e-s-a-r' dibalik 'ikan'
Bagi saya, tidak penting kapan ia bisa mulai membaca, menulis, atau berhitung, karena saya yakin, suatu saat dia akan bisa membaca tanpa harus dipaksa. Yang lebih penting bagi saya adalah kesukaan dan kecenderungannya pada buku. Saya yakin, semua itu tidak bisa terwujud kalau orang tua hanya main perintah, ‘ayo baca, ayo belajar, ayo menulis!’ Lebih dahsyat dari semua perintah itu adalah memberikan teladan, menciptakan atmosfir yang nyaman untuk anak, serta membiasakan anak untuk cinta pada buku. Dan, satu lagi catatan saya, kemampuan akademik bukanlah satu-satunya kemampuan yang dimiliki anak, ada banyak kecerdasan lain yang dimiliki tiap anak yang lahir, yang boleh jadi kecerdasan itu adalah kelebihannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar