Ini
bukan masalah politik. Saya tidak punya kapasitas untuk menulis hal-hal yang
berbau politik. Dari berita yang saya baca, si MA yang berprofesi sebagai
tukang sate ini mengedit gambar Pak Jokowi dan Bu Mega dengan gambar porno. Ini
bukan tentang saya membela Pak Jokowi atau karena pada pemilu lalu saya memilih
Pak Jokowi. Yang lebih memprihatinkan bagi saya adalah kasus pornografinya,
terlepas yang jadi korban itu Pak Jokowi atau bukan.
Jujur
saja, saya sangat menyayangkan kasus ini menjadi alat politik bagi sebagian
orang yang ingin mengambil keuntungan atau sekedar cari muka. Bagi saya
pribadi, kasus pornografi adalah kejahatan besar yang menjadi hantu bagi
generasi masa depan. Ini bukan kasus sepele atau kasus yang bisa dianggap
sepele hanya karena yang menjadi korban adalah lawan politik, seperti yang
dianggap oleh Pak Suryadharma Ali. Pelakunya juga tidak bisa dibela sedemikian
rupa hanya karena yang menjadi korban adalah orang yang dibenci, seperti
pembelaan yang dilakukan oleh segelintir orang atas nama solidaritas melawan
penguasa. Kesalahan ini juga tidak bisa dianggap benar hanya karena yang
melakukan adalah anak sendiri, seperti yang diinginkan oleh orang tua MA yang
menyatakan bahwa MA adalah tulang punggung keluarga (memangnya kalau menjadi
tulang punggung keluarga MA ini bebas melakukan kesalahan apa saja?)
Pornografi
adalah pornografi. Kita punya undang-undangnya. Dan semua lapisan masyarakat
kita pun bersepakat untuk memeranginya karena bahaya besar yang ditimbulkannya.
Tapi sangat disayangkan sekali sikap beberapa pemimpin yang bertentangan dengan
semangat perang terhadap pornografi terkait kasus ini? Mantan Menteri Agama
menganggapnya hal biasa. Bahkan ada politisi yang menjadi ‘pahlawan kesiangan’
mati-matian membela pelaku dengan menyediakan tim pembela, bantuan dana 35
juta, dan berusaha membebaskan si pelaku. Seolah-olah pelaku ini tidak bersalah
dan apa yang dilakukanya sama sekali bukan suatu kesalahan. Bahkan kesan yang
muncul adalah sang penguasa (yang kebetulan menajdi korban) telah berlaku
sewenang-wenang karena menangkap pelaku. Semua terjadi hanya karena masalah
politik.
Kalau
satu kasus ini dibiarkan, maka akan muncul preseden buruk seperti komentar
beberapa orang terhadap kasus ini. ‘Kalau mau uang 35 juta, bikin saja gambar
porno presiden, nanti juga ada yang ngasih.’ Nah loh, kalau kejadian seperti
ini dibiarkan terus-menerus maka nilai-nilai yang sudah ditanamkan tentang
kebenaran dan kesalahan akan kabur. Saya membayangkan, perang pornografi yang
selama ini digaung-gaungkan oleh para aktivis anti pornografi dihancurkan
begitu saja oleh sejumlah oknum yang membela pelakunya. Ironinya, para pembela
ini dikenal sebagai kaum agamawan, pemimpin bangsa, dan aktivis dakwah
(katanya).
Sebagai
orang tua, jujur saja sangat kecewa dengan penyelesaian kasus ini. Bagi saya,
yang bersalah tetaplah bersalah dan harus dihukum, terlepas siapa pun itu
korbannya agar kejadian ini menjadi pelajaran di kemudian hari bagi. Penegakan hukum
juga diperlukan supaya tidak ada kesewenang-wenangan dalam melakukan kejahatan
terhadap orang yang kita benci atau pembenaran kejahatan kepada seseorang atas
nama perbedaan (apalagi hanya perbedaan dalam pemilu). Penegakan hukum juga
diperlukan sebagai kontrol sosial terhadap penanaman nilai-nilai dalam
masyarakat. Kalau kasus ini berhenti begitu saja, maka di kemudian hari akan
ada MA-MA serupa yang akan dengan mudahnya melakukan kejahatan dan mereka akan
meminta pembelaan pada kelompok lain yang bersebrangan dengan korban.
Akhirnya,
sebagai orang tua, saya pun tidak bisa berharap banyak kepada orang atau pihak
lain atas nilai-nilai yang saya tanamkan pada anak-anak saya. Kami mendidik, menanamkan sikap-sikap kebajikan dan menyiangi perilaku-perilaku buruk anak sejak dini dengan harapan suatu saat anak-anak ini akan tumbuh menjadi anak yang baik. Kalau dalam perjalanannya anak kami melakukan kesalahan, kami tentu saja akan bersikap tegas padanya, tidak serta membelanya hanya karena dia adalah anak kami. Kamilah yang
bertanggung jawab sepenuhnya pada pembentukan karakter anak-anak kami, bukan
polisi, politisi, menteri, hukum, atau bahkan presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar