Minggu, 02 November 2014

Belajar dari Kasus MA; Catatan Ibu

Ini bukan masalah politik. Saya tidak punya kapasitas untuk menulis hal-hal yang berbau politik. Dari berita yang saya baca, si MA yang berprofesi sebagai tukang sate ini mengedit gambar Pak Jokowi dan Bu Mega dengan gambar porno. Ini bukan tentang saya membela Pak Jokowi atau karena pada pemilu lalu saya memilih Pak Jokowi. Yang lebih memprihatinkan bagi saya adalah kasus pornografinya, terlepas yang jadi korban itu Pak Jokowi atau bukan.

Jujur saja, saya sangat menyayangkan kasus ini menjadi alat politik bagi sebagian orang yang ingin mengambil keuntungan atau sekedar cari muka. Bagi saya pribadi, kasus pornografi adalah kejahatan besar yang menjadi hantu bagi generasi masa depan. Ini bukan kasus sepele atau kasus yang bisa dianggap sepele hanya karena yang menjadi korban adalah lawan politik, seperti yang dianggap oleh Pak Suryadharma Ali. Pelakunya juga tidak bisa dibela sedemikian rupa hanya karena yang menjadi korban adalah orang yang dibenci, seperti pembelaan yang dilakukan oleh segelintir orang atas nama solidaritas melawan penguasa. Kesalahan ini juga tidak bisa dianggap benar hanya karena yang melakukan adalah anak sendiri, seperti yang diinginkan oleh orang tua MA yang menyatakan bahwa MA adalah tulang punggung keluarga (memangnya kalau menjadi tulang punggung keluarga MA ini bebas melakukan kesalahan apa saja?)

Pornografi adalah pornografi. Kita punya undang-undangnya. Dan semua lapisan masyarakat kita pun bersepakat untuk memeranginya karena bahaya besar yang ditimbulkannya. Tapi sangat disayangkan sekali sikap beberapa pemimpin yang bertentangan dengan semangat perang terhadap pornografi terkait kasus ini? Mantan Menteri Agama menganggapnya hal biasa. Bahkan ada politisi yang menjadi ‘pahlawan kesiangan’ mati-matian membela pelaku dengan menyediakan tim pembela, bantuan dana 35 juta, dan berusaha membebaskan si pelaku. Seolah-olah pelaku ini tidak bersalah dan apa yang dilakukanya sama sekali bukan suatu kesalahan. Bahkan kesan yang muncul adalah sang penguasa (yang kebetulan menajdi korban) telah berlaku sewenang-wenang karena menangkap pelaku. Semua terjadi hanya karena masalah politik.

Kalau satu kasus ini dibiarkan, maka akan muncul preseden buruk seperti komentar beberapa orang terhadap kasus ini. ‘Kalau mau uang 35 juta, bikin saja gambar porno presiden, nanti juga ada yang ngasih.’ Nah loh, kalau kejadian seperti ini dibiarkan terus-menerus maka nilai-nilai yang sudah ditanamkan tentang kebenaran dan kesalahan akan kabur. Saya membayangkan, perang pornografi yang selama ini digaung-gaungkan oleh para aktivis anti pornografi dihancurkan begitu saja oleh sejumlah oknum yang membela pelakunya. Ironinya, para pembela ini dikenal sebagai kaum agamawan, pemimpin bangsa, dan aktivis dakwah (katanya).

Sebagai orang tua, jujur saja sangat kecewa dengan penyelesaian kasus ini. Bagi saya, yang bersalah tetaplah bersalah dan harus dihukum, terlepas siapa pun itu korbannya agar kejadian ini menjadi pelajaran di kemudian hari bagi. Penegakan hukum juga diperlukan supaya tidak ada kesewenang-wenangan dalam melakukan kejahatan terhadap orang yang kita benci atau pembenaran kejahatan kepada seseorang atas nama perbedaan (apalagi hanya perbedaan dalam pemilu). Penegakan hukum juga diperlukan sebagai kontrol sosial terhadap penanaman nilai-nilai dalam masyarakat. Kalau kasus ini berhenti begitu saja, maka di kemudian hari akan ada MA-MA serupa yang akan dengan mudahnya melakukan kejahatan dan mereka akan meminta pembelaan pada kelompok lain yang bersebrangan dengan korban.

Akhirnya, sebagai orang tua, saya pun tidak bisa berharap banyak kepada orang atau pihak lain atas nilai-nilai yang saya tanamkan pada anak-anak saya. Kami mendidik, menanamkan sikap-sikap kebajikan dan menyiangi perilaku-perilaku buruk anak sejak dini dengan harapan suatu saat anak-anak ini akan tumbuh menjadi anak yang baik. Kalau dalam perjalanannya anak kami melakukan kesalahan, kami tentu saja akan bersikap tegas padanya, tidak serta membelanya hanya karena dia adalah anak kami. Kamilah yang bertanggung jawab sepenuhnya pada pembentukan karakter anak-anak kami, bukan polisi, politisi, menteri, hukum, atau bahkan presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar