Gambar diambil dari sini |
Di samping rumah saya, ada pohon ceri yang selalu berbuah dan mengundang para tetangga untuk mengmbil buahnya. Ada yang memang suka buka ceri, ada yang cuma sekedar iseng, dan ada pula yang mengmbil buah tersebut untuk makanan burung. Saya sih senang-senang saja karena lingkungan di sekitar rumah jadi selalu rame.
Suatu hari, ada salah satu tetangga yang biasa kami panggil opa bersama seorang cucunya sedang mencari buah ceri. TIba-tiba, si cucu yang berusia sekitar 4 tahun itu nyletuk, 'ah, mata opa belo sih, makanya ga liat ada buah mateng di sebelah situ.' Wuih... Bagi saya, kata-kata si bocah emapt tahun itu 'canggih' sekali untuk anak umuran empat tahun dan ditujukan untuk opanya. Saya sampai tercengang mendengarnya. Bagaimana lah pendidikan di rumah si bocah empat tahun ini sampai dengan begitu mudahnya dia mengucapkan kata-kata 'canggih' itu.
Tapi, rasa penasaran saya kemudian terjawab tak lama sesudah ucapan si bocah empat tahun. 'eh, o*n, itu tinggi tau. Kalau mau, ambil aja sendiri buahnya.' Waduh, rupanya jawaban si opa juga tidak kalah 'canggih'nya dengan ucapan si cucu empat tahun itu. Saya jadi mengerti kenapa si bicah empat tahun bisa berucap begitu mudah dengan kata-kata itu. Rupanya ada contoh dekat yang menuntunnya.
Bagi saya sendiri, berbicara tidak sekedar mengucapkan kata-kata. Ada sopan santun, andhap asor, juga ada tata krama di baliknya. Saya tidak bermaksud rasis di sini, tapi saya rasa bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat itu memang bagus bila benar-benar diterapkan. Sayangnya, saya sendiri tidak bisa berbicara bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat itu secara baik, apalagi setelah tinggal di luar Jawa. Lingkungan tidak memungkinkan saya untuk menggunakan bahasa Jawa. Dengan suami pun saya berbahasa Jawa ngoko karena sejak kecil kami saling ngoko, dan hanya beberapa kata saja yang kami ucapkan dengan bahasa kromo. Tapi sedapat mungkin bahasa kromo itu kami tingkatkan di rumah demi Farras. Kami berharap Farras sedikit-sedikit bisa faham dan mengucapkan bahasa Jawa dengan bahasa kromo yang baik.
Tapi lebih dari itu, yang menjadi titik tekan dari pendidikan kami kepada Farras adalah sopan santun. Kami sengaja memanggil Farras dengan penyebutan 'sampean' (kromo), bukan kamu, apalagi 'lo'. Panggilan itu semata-mata untuk mengajarkan dan memberi teladan kepadanya agar bersikap sopan kepada orang lain. Kami juga berusaha sedapat mungkin untuk tidak berkata kasar, kotor, atau berteriak-teriak ketika berbicara karena semua itu akan menjadi contoh pertama bagi Farras. Orang tua adalah cermin bagi anaknya, itulah yang saya yakini. Kalau ada anak-anak terbiasa berkata kasar, kotor, atau berteriak-teriak, jangan jauh-jauh mencari penyebabnya. Lihat saja orang tuanya atau siapa orang terdekat yang berada di sekelilingnya.
Saya kemudian teringat dengan kedua orang tua saya. Di lingkungan kami sebenarnya banyak orang terbiasa misuh, berkata kotor, atau berkata kasar. Tapi orang tua kami selalu memberi batasan, ketika ada kata-kata kotor masuk rumah, maka dengan sangat detil orang tua akan menyelidiki dari mana kata-kata itu berasal. Dengan berbagai cara, mereka akan 'mencuci' kata-kata itu hingga hilang dari mulut kami. Maka bisa dipastikan, tidak ada kata-kata kasar, kotor, atau teriakan yang terdengar dari dalam rumah kami. Itulah yang saat ini saya terapkan kepada Farras. Seperti kata Naomi Aldort, 'raising children, raising ourselves'. Ketika menghendaki anak berbuat baik, maka kitalah yang harus terlebih dahulu memperbaiki diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar