Sabtu, 17 Mei 2014

Mertua Vs Menantu: Berdamai dengan Mertua

Daun Lidah Mertua

Gara-gara dapat curhatan dari seorang teman tentang mertuanya, jadi pengen nulis tentang mertua dan pengalaman bermertua. Eh Bu, maaf ya, kisahmu aku jadiin topik bahasan. Sungkem dulu sama si Ibu. Tapi tenang saja Bu, nama dan tempat aku samarkan kok. Hihihi.

Dulu, sebelum nikah, aku mempunyai doa paket. Aku minta pada Allah untuk memberikan suami yang baik yang sepaket dengan mertua yang baik. Jujur saja, kata mertua bagiku waktu itu sangat menakutkan dan membuat aku sangat kuatir bila nanti aku mendapat mertua yang tidak 'pas' denganku. Jujur lagi, ketakutanku itu bukan tanpa alasan. Aku mempunyai cerita buruk tentang hubungan mertua dan menantu yang tidak baik yang imbasnya sangat luar biasa, tidak hanya sampai pada hubungan suami-istri, tetapi sampai pada anak atau bahkan cucu, dan aku ini adalah imbasnya.

Tidak hanya sampai di situ, gambaran mertua yang menakutkan juga berasal dari pengalaman seorang teman yang harus rela berpisah dengan suaminya karena mertua. Ya, si ibu mertua rupanya sangat sayang terhadap anaknya dan seperti tidak rela kehilangan sang anak. Sejak sang anak menikah, si ibu ini terus saja mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Hingga rumah tangga sang anak pun berakhir di meja pengadilan agama meski pasangan suami-istri tersebut mengaku masih saling cinta. 

Alhamdulillah-nya, doaku terkabul dengan mendapatkan satu paket sekaligus. Suami yang baik berikut mertua yang juga sangat baik. Sosok mertua ini benar-benar menjadikanku merasa seperti anak mereka sendiri, karena mereka selalu menyebutku 'anak' bukan 'menantu.' Mertuaku ini tidak menjadikan aku pake acara canggung, sungkan, atau lainnya. Aku bisa menjadi diri sendiri sebagaimana aku biasanya meskipun kami bertemu sekali dalam setahun. Mau tau rahasianya? Mertuaku adalah bibi-pamanku sendiri. Hihihi.

Kembali kepada topik mertua si teman. Sebut saja temanku bernama Mawar, bukan nama sebenarnya. Mawar bercerita kalau selama seminggu ini dia merasakan stres yang luar biasa karena ada kedua mertua yang sedang mengunjungi rumah kos mereka. Kalau aku jadi dia, mungkin aku akan sujud syukur karena dikunjungi mertua adalah hal yang menjadi keinginanku (jarak rumah dan kampung jauh sih, jadi susah kalau mau berkunjung). Tapi Mawar ngotot kalau mertuaku dan mertuanya berbeda. Mertuanya sangat menyebalkan, begitu katanya. Alasannya buanyaaaaaak. Ya, dia punya banyak alasan untuk tidak menyukai mertuanya. Mulai dari tindakan mertua yang masih banyak ikut campur rumah tangganya, mertua yang tidak mengerti kondisi rumah tangga anaknya, mertua yang bawel dan seperti tidak seratus persen menerima kondisi anaknya yang sudah menikah dengan Mawar, dan lainnya. Untungnya mereka tidak tinggal serumah dan hanya sesekali saja bertemu. 

Aku tidak bisa berkata apa-apa selain kata 'sabar' dan mendengarkan curhatannya. Tidak menyelesaikan masalah memang, terus bagaimana lagi? Yang namanya mendapat mendapat mertua berikut sikapnya adalah konsekuensi dari pilihan. Kita tidak bisa memilih seorang untuk menjadi pasangan kita tapi menolak orang tuanya. Itu sudah paket. Itu adalah sebuah konsekuensi yang harus diterima dari sebuah pilihan. Alhamdulillah kalau mendapat mertua yang baik, tapi kalau memang mendapat mertua yang dirasa tidak 'pas' berarti sikap kitalah yang harus dirubah. 

Pertama, tetaplah hormati mereka sebagaimana hormat kita pada orang tua kita sendiri. Sulit memang menghormati orang yang tidak bersikap baik pada kita, Ida Laila sendiri bernyanyi kalau sikap berbakti anak itu bisa terlaksana kalau si ibu mengasihi si anak (lha... jadi nyanyi Ratapan Anak Tiri ya?). Kedua, anggap saja hal-hal yang tidak baik itu seperti angin, berlalu, tidak berbekas, dan tebal telinga. Istilah kata, cuek bebek lah sama keburukan mertua dan anggap semuanya tidak pernah terjadi dan jangan dimasukin ke hati. Kalau dimarahin didengarkan dan dijawab 'iya' saja. Ketiga, Ajak pasangan untuk mengerti kondisi secara berimbang. Terakhir, semua sikap dan emosi kita ada di tangan kita. Kalau kita mau marah, ya jadi marah. Kalau kita mau mendendam, jadilah kita pendendam. Kalau kita bahagia, jadilah kita bahagia. Semua emosi itu jangan dipendam, luapkanlah pada hal dan situasi yang tepat. Misalnya saat kita marah, ambil tumpukan pakaian kotor, cuci pakai tangan, jangan pakai mesin cuci. Luapkanlah kemarahan segra pada tumpukan cucian itu. Hasilnya, semua baju kotor akan kinclong. Hihihihi.

Maksudku, memendam emosi dan perasaan yang tidak baik dalam hati saja itu tidak baik karena hanya akan menambah energi negatif tertumpuk di alam bawah sadar. Kalau dibiarkan, energi ini akan semakin terpendam jauh yang sewaktu-waktu keluar dalam bentuk luapan emosi yang negatif pula. Sayangnya, luapan emosi ini tidak bisa dikontrol dan terkadang mengalahkan akal sehat dan ini bisa berbahaya. Jadi teringat dengan kisah ibu di Bandung yang membunuh tiga anaknya. Ibu tersebut bukan seorang penjahat, bukan pula seorang ibu yang tidak berpendidikan. Ibu ini cerdas. Hanya saja ia menyimpan emosi yang mendalam pada masa kecilnya. Rupanya masa kecilnya selalu tidak diapresiasi ibunya yang selalu menganggapnya tidak pintar di sekolah. Kalaupun dapat juara, ia selalu dirasa kurang saja dalam berprestasi. Tumbuhlah dia menjadi anak yang selalu merasa kurang. Si ibu malang ini rupanya tanpa sadar meluapkan emosinya itu pada ketiga anaknya dan berlaku sama dengan ibunya, menuntut anaknya untuk selalu baik. Ia merasa kecewa kalau anak-anaknya melakukan kesalahan. Ia sadar kalau ini salah. Tapi luapan emosi itu seolah tidak dapat dikendalikannya. Karena sadar akan kesalahannya itulah ia memutuskan untuk mengakhiri hidup ketiga buah hatinya dengan harapan ia akan memutus emosi negatif yang ada dalam dirinya. Ia tidak ingin nantinya anak-anaknya mewarisi emosi negatif itu dan menurunkannya pada anak cucunya. Miris sekali. 

Lha... kok jadi kemana-mana ya.... Intinya, mertua tetaplah mertua. Bersabar atas sikap mereka dan berbahagia adalah sikap yang bisa kita pilih. Selamat mencoba!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar