Jumat, 09 Mei 2014

Selera Ndeso



Gini nih enaknya nikah dengan orang sekampung... ups... maksudnya nikah dengan orang yang sama-sama berasal dari kampung. Urusan selera makan, aku dan si Mas tidak banyak kendala. Selera makan kami sama, (ada yang beda ding, si Mas suka banget duren, dan aku sebaliknya), selera kampung, meskipun kami tinggal di kota (pinggiran kota maksudnya). Tapi, dibanding si Mas yang selera makannya benar-benar kuampung, aku masih doyan makanan-makanan yang kata orang makanan kota, kaya pizza, burger, dll.



Nah, urusan selera ini rupanya nurun ke Farras. Selera Farras yang lahir di kota, ternyata sangat kampungan. Makanan kesukaannya itu singkong dan segala olahan makanan dari singkong, mau itu singkong rebus, singkong goreng, singkong bakar, gethuk singkong, gimbal singkong, sampai kripik singkong. Selain singkong, Farras sangat suka nasi jagung plus sayur asem bandeng. *abahnya banget. Farras juga sangat suka nasi jagung lauk pepes pindang. *kalau ini ibunya banget.



Sebenarnya, ini bukan hal yang istimewa dan biasa-biasa saja. Tapi ada hal yang ingin aku ceritakan tentang selera makan ini. Salah satu bibiku tinggal di Jakarta dan terbilang jadi orang sukses di sana. Ketika anak bungsunya lahir, kehidupan mereka sudah mulai membaik dan terus menanjak ke arah sukses hingga saat ini. Karena itulah, sejak kecil si anak sudah terbiasa makan makanan kota yang enak, instan, dan kalau menurut orang kampung seperti aku ini, makanan itu mewah dan mihil. Untuk ukuran anak SD, bagiku selera anak ini sudah berlebihan. Ketika ibu ayahnya tidak ada di rumah, seringkali si anak memesan makanan siap saji yang diantar ke rumah. Padahal masakan di rumah mah ada. Saat si anak masuk pesantren, si ibu pun sibuk mencarikan katering khusus untuk melayani selera si anak. Mana mau dia dengan selera wajib pesantren, tahu-tempe. Makanan minimalnya itu nasi lauk ayam. 



Tentu saja ini menjadi masalah ketika mereka pulang kampung. Si ibu harus mempersiapkan seabrek makanan untuk si bungsu karena kalau tidak berlauk 'enak', maka dipastikan si bungsu tidak akan makan seharian. Tentu saja kondisi ini sangat tidak membuat nyaman keluarga yang di kampung. Mereka merasa 'tersisih' dengan perbedaan selera mereka yang mencolok. Si ibu pun tidak bisa berbuat banyak karena selera si anak ini memang tidak cocok dengan segala makanan 'ndeso.'



Bagiku sendiri, ini bukan sekedar selera 'ndeso' dan 'kutho.' Lebih dari itu, di balik selera 'ndeso' itu ada nilai-nilai yang sangat berharga, yaitu kesederhanaan dan serta rasa penghargaan proses. Makanan-makanan kampung itu dibuat dari kesederhanaan rasa, cara, dan juga penyajian yang tujuan utamanya ya memang untuk dimakan. Makanan ini tidak harus mahal atau berpenampilan indah (yang membuat orang enggan untuk menyantapnya), atau berbahan baku impor. Selain itu, makanan-makanan 'ndeso' ini tidak sedikit yang dibuat secara manual. Bayangkan saja, untuk membuat otak-otak bandeng, ibu-ibu di kampung ini harus terlebih dahulu memukul bandeng sampai daging bandeng hancur. Daging bandeng lalu dikeluarkan dari kulitnya, diambil duri-durinya, dicampur bumbu, dimasukkan kembali ke kulit bandeng, dikukus, baru kemudian digoreng. (Beda kan sama membeli otak-otak bandeng yang sudah jadi?).  



Karena itulah, sedapat mungkin aku melestarikan 'selera ndeso' ini di rumahku. Aku ingin merasakan dan menanamkan sikap kesederhanaan pada anakku, menanamkan rasa menghargai proses, dan tidak mudah menyerah pada cara instan (membeli) apa-apa yang dianggapnya enak. Aku juga ingin anakku menghargai simbah di kampung yang setiap tahun menunggunya, menyambutnya dengan makanan yang terbaik, dan yang terpenting, ingin anakku bisa duduk satu meja makan dengan selera yang sama, selera 'ndeso' yang sederhana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar