Minggu, 11 Mei 2014

Hidup Tanpa HP Pintar


Ceritanya, aku terpaksa mengganti HP karena HP lamaku rusak setelah dicemplungin Farras ke sayur asem panas. Untungnya, HP yang rusak itu HP murah, seharga enam porsi nasi bebek di Bandar Lampung. Tidak ada penyesalan kecuali beberapa nomor kontak yang tersimpan di memori HP lenyap seiring matinya HP.


Aku hanya tersenyum, sama sekali tidak marah, dan sempat tertawa melihat ekspresi Farras saat aku tanya di mana HPku. "HP di mam," katanya. Rupanya, HP sudah di mangkok sayur asem panas yang baru aku tuang dari priuk. 

Pas suami pulang ngajar, aku pun mulai beraksi. Merayu dan memelas untuk diberikan HP baru. Tak butuh waktu lama karena memang sudah lama si Mas mau mengganti HP yang memang sudah mulai rusak.

"Mau HP yang seperti apa?" Tanyanya.
"Yang biasa aja. Yang murah-murah." Jawabku.
"Aneh! Kenapa ga minta HP pintar, tabs, atau yang canggih-canggih sih?" 

Si Mas terus membujuk untuk membelikanku HP pintar. Aneh kan ya, aku yang minta dibeliin HP, tapi dia yang sibuk menentukan jenisnya. Yang mahal pula. Tau kenapa? Itu karena, keuangan di rumah, semua aku yang ngatur. Tau sendiri, perempuan itu cenderung 'irit' kalau untuk urusan yang beginian. 

Aku sih paham kenapa si Mas minta beli HP pintar untukku. Mas itu orang IT, melek teknologi sudah pasti jadi kebutuhannya. Meskipun secara kepemilikan HP baru itu milikku, tapi secara pemakaian tidak ada istilah 'itu milikku, ini milikmu' di rumah kami. Tidak ada privasi. Alat-alat komunikasi dipakai bersama-sama. 

Dalam perjalanan masih saja Mas membujukku untuk mengeluarkan jatah lebih untuk HP pintar, tapi tetap aku tolak. Aku memilih HP biasa karena fungsi utama HP adalah alat untuk berkomunikasi. Bisa dipakai telpon, sms, ditambah alarm, radio, musik, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Soal  perkembangan teknologi, sejauh ini kami merasa cukup dengan laptop + modem yang menjadi andalan. Sebagai konsekuensinya, aku dan si Mas memang terkesan gaptek karena untuk mengoperasikan tabs saja kami tidak pintar. Kami hanya tau kalau android itu apa tanpa pernah mengoperasikannya. Mungkin terkesan 'ndesit/ndeso', tapi sejauh ini kami enjoy-enjoy saja (enjoy dalam ketidaktahuan...hehehe).

Maksudnya, selama ini aku merasa semua itu bukan masalah besar dalam hidup kami. Justru sebaliknya, aku merasa bila kami memiliki piranti-piranti canggih itu, hidup kami jadi berantakan. Bagaimana tidak, bila kami memiliki barang-barang tersebut, kami akan jauh lebih mudah mengakses internet tanpa perlu bersusah-susah menyalakan laptop (yang terkadang habis batre), memasang modem (yang terkadang koneksinya putus-putus), dan lain-lainnya. Dengan sekali pencet, semua terbuka. Kami pun akan terlena dengan informasi menarik yang tersedia. Farras pun terlupa. Apalagi setelah beberapa teman menyapa. Dunia nyata di sekeliling pun jadi punah. Yang ada hanya yang berada di dunia maya. 

Aku teringat dengan beberapa iklan salah satu layanan operator yang mempunyai slogan Indonesia genggam internet yang akhir-akhir ini marak ditayangkan di TV. Tak tanggung-tanggung lho, ustadz selebritis pun jadi model iklannya. Aku bertanya dalam hati, memangnya perlu ya Indonesia ini menggenggam internet? Penting gitu? Penting bagi siapa? Memangnya kalau sudah menggenggam internet, kehidupan masyarakat Indonesia ini serta merta bisa makmur gitu? Apa dengan serta merta, Indonesia melek internet itu bisa mengatasi masalah kelaparan, kerusakan moral, korupsi, kejahatan seksual, atau mengentaskan kemiskinan? 

Bagiku, jawabannya adalah tidak. Masyarakat tidak serta merta mendapatkan solusi hanya dengan menggenggam internet. Aku malah berpendapat sebaliknya. Aku mengaggap berbagai kejahatan dan kerusakan moral yang akhir-akhir ini marak diberitakan itu bersumber dari internet yang digenggam oleh orang-orang yang tidak layak menggenggamnya. 

Itu baru satu. Bagaimana kalau Farras ikut-ikutan kecanduan game yang menarik penglihatannya? Ini bukan soal melarang anak bermain game. Tapi umur Farrasyang masih dua tahun tidak tepat untuk dikenalkan dengan piranti ini. Dia masih perlu banyak mengenal dunia, bereksplorasi, dan berimajinasi dengan dunia nyatanya. Tentu saja sudah banyak artikel yang membahas ini. Dan aku memilih untuk sama sekali tidak mengenalkan piranti berikut isinya kepada si bocah. Ini hanya bisa dilakukan kalau ibu abahnya tidak terlihat memegang piranti tersebut.

Soal gaptek, sekali lagi, sejauh ini kami merasa tercukupi dengan cara manual, laptop plus modem. Si Mas yang seorang guru komputer pun tidak kudet kok dengan segala pembaharuan kurikulum yang terjadi. Aku yang ibu rumah tangga ini pun merasa tidak ketinggalan informasi dan wawasan seputar perkembangan dunia anak dan parenting dengan ketiadaan HP pintar. Bagi kami, semua itu cukup. Di sini, boleh saja anda tersenyum nyinyir dengan alasan kami, "ah.. itu alasan orang yang tidak punya uang saja." Tidak apa, tapi paling tidak, alasan kami bisa dipikirkan untuk pertimbangan.



Kesimpulannya, semua kembali pada tujuan dan visi keluarga masing-masing. Dari visi keluarga ini, semua dipusatkan, termasuk urusan pemilihan HP. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar