Itulah
pesan yang disampaikan ibu saat saya melahirkan anak pertama saya. Ibu bercerita
panjang lebar tentang pengalamannya menjadi ibu dari delapan anak dan juga
perasaan terhadap anak-anaknya. Memang dengan nada bercanda, namun saya
merasakan ada kepedihan yang luar biasa di balik tawa dan senyumnya. “Anak
memang delapan dalam hitungan, tapi yang tinggal di rumah cuma tinggal satu,” begitulah
kira-kira.
Abah
dan ibu dikaruniai delapan anak, satu anak yang meninggal di usia dua bulan. Saya
sendiri adalah anak pertama. Sudah menjadi kebiasaan di keluarga kami, setelah
kami lulus MI (madarasah ibtidaiyah), kami dikirim ke pesantren yang tidak jauh
dari rumah. Sejauh ini, saya dan kelima adik saya menghabiskan enam tahun kami
(saat bersekolah di SMP dan SMA) di pesantren, dan kemudian melanjutkan kuliah
di kota yang berbeda. Saya melanjutkan kuliah di Jakarta, adik kedua saya melanjutkan
kuliah di Kairo, adik ketiga, keempat, dan kelima melanjutkan kuliah di
Yogyakarta. Adik keenam masih sekolah, dan hanya adik bungsu kami yang masih
tinggal di rumah karena masih sekolah di MI.
Biasanya,
setelah lulus kuliah kami tidak langsung pulang ke rumah, tetapi tetap merantau
di tempat kami kuliah. Saya sendiri sempat mengajar di Jakarta, adik kedua saya
yang sudah lulus di Kairo pun memilih melanjutkan kuliah di sana dan bekerja di
kedutaan, dan adik ketiga pun langsung bekerja di sebuah bank di Yogyakarta
sesaat setelah lulus kuliah. Kami bertiga pun telah sama-sama menikah. Saya memang
menikah dengan saudara dekat (sepupu kedua saya yang rumahnya di sebelah
kampung), tapi kami memilih menetap di Bandar Lampung, jauh dari rumah. Sementara
adik ketiga saya menikah dengan orang Sidoarjo tapi menetap di Yogyakarta.
Bahkan adik kedua saya menikah dengan orang jauh, orang Palu dan saat ini masih
di Kairo.
Lalu
bagaimana kami bertemu dan berkumpul bersama? Sejak keberangkatan adik kedua
kami tahun 2006, kami nyaris tidak pernah berkumpul bersama. Waktu itu kami
adik kedua sempat pulang dua kali, hanya saja saya di Jakarta, jadi waktu
berkumpul pun terpisah-pisah. Tapi selain dengan adik kedua, tiap lebaran kami
selalu menyempatkan pulang ke rumah.
Pada
saat berkumpul itulah, saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa terpancar
dari ibu. Bahkan kata abah, ibu sudah mempersiapkan banyak hal hal untuk kami
semua. Mulai dari memelihara ayam kampung, memelihara ikan di kolam, menanam
apa saja yang menjadi kesukaan kami, dan lain-lain. Waktu dua-tiga minggu itu
berjalan begitu cepat dan semua dipersembahkan ibu untuk kami. Maka ketika kami
berpamitan untuk kembali ke tempat kami masing-masing, saat itulah saya kembali
menyaksikan duka lara perpisahan yang mendalam dalam wajahnya.
“Tapi,
ibu sadar, anak-anak ibu bukanlah milik ibu. Mereka adalah titipan Yang Kuasa.
Ibu hanya bertugas mengandung, melahirkan, mengasuh mereka secara langsung
sampai lulus madrasah. Setelah itu anak-anak ibu akan mencari jalannya
masing-masing. Ibu telah mewakafkan kalian di jalan kalian masing-masing, mau
jadi guru, mau jadi pegawai, mau jadi ibu rumah tangga, yang pasti ibu sudah
membekali kalian untuk jalan kalian. Ibu tidak mengharapkan imbalan apa-apa
dari wakaf ibu ini. Dan yang pasti, doa ibu tidak pernah sedikitp pun berkurang
untuk kalian, meski kalian telan menjadi orang tua.”
Setiap
ingat kejadian itu, saya pun tidak bisa menahan air mata untuk tidak tumpah.
Kenyataannya, kami memang tidak bisa membalas apa-apa untuk ibu dan abah kami,
yang hingga kini masih terus saja memberikan kasih sayangnya yang berlimpah
untuk kami. Hanya doa yang bisa kami panjatkan, “Semoga Allah menyayangi ibu
dan abah sebagaimana mereka menyayangi kami di waktu kami kecil, hingga kini.”
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar