Kamis, 05 Februari 2015

Hari-hari Pertama Menjadi Si Sulung



ekspresi mas Farras

Ahad pagi, tanggal 1 Februari 2015 putra kedua kami lahir. Resmilah Farras menjadi si sulung untuk adiknya, Fawwaz. Banyak orang bilang kalau ada adik baru hadir, maka si kakak akan berulah, entah itu menjadi manja, meminta perhatian lebih, menggoda adiknya, dan ada yang lebih ekstrim, yaitu melukai si adik karena cemburu.

Sebagai orang tua, kami sempat khawatir kalau Farras akan bersikap seperti itu terhadap si adik. Tapi dengan segera kami biang kekhawatiran tersebut dan kami tanamkan dalam hati kami bahwa Farras adalah sulung yang baik, sayang dengan sang adik, dan pastinya kami semua akan bahagia dengan kehadiran si adik.

Saat rahim mulai terasa kontraksi, kami bertiga berangkat ke bidan untuk periksa dan ternyata tidak lama, hanya sekitar satu-dua jam dari rasa mulas terasa, si adik lahir. Setengah jam sebelum si adik lahir, pakdenya Farras datang untuk menjemput. Kami sengaja meminta bantuan kakak ipar untuk momong Farras selama persalinan, karena kami tidak ingin Farras melihat ibunya kesakitan saat persalinan. Farras paling tidak bisa melihat orang-orang yang disayanginya sakit. Sebelum pergi, Farras berbisik ke telingaku, ‘Ibu ga boleh sakit ya, adik, geraknya pelan-pelan, kasihan ibunya sakit.’ Nyess.. rasanya hati ini adem mendengar kata-kata Farras sebelum pergi itu. Aku katakan kepadanya, ‘Ibu akan kuat untukmu dan adikmu, Nak.’

Si adik pun lahir. Saat datang menjenguk, Farras tampak cuek dan tidak peduli. Tak lama pun Farras ikut pakdenya kembali pulang. Jujur aku merasa kehilangan sekali. Aku tidak ingin kehilangan kedekatan dengan Farras karena hadirnya si adik baru. Akhirnya aku minta si abah untuk menjemput Farras dan malam itu aku tidur di sampingnya, alhamdulillah, aku merasa kedekatan kami kembali.

Hari kedua kami pulang dari tempat bersalin. Inilah hari-hari pertama kami bersama si sulung dan si adik, Farras dan Fawwaz. Tidak seperti hari sebelumnya, di hari kedua ini Farras tampak bahagia dengan hadirnya si adik, meski masih agak kaku. Tapi nampak sekali kalau Farras sangat menyayangi adiknya. Suatu sore saat melihat si adik menangis karena dimandikan dan melihat tali pusar yang belum copot di perut adik, Farras tampak sangat sedih dan matanya berkaca-kaca. Dia melarangku untuk menyentuh perutnya. ‘Ibu, kasihan adik.’ Tak terasa, air mataku pun tumpah melihat sikap Farras. Terharu.

Setiap mendengar adiknya menangis, dia akan langsung cepat-cepat mendekat dan berkata kepada adiknya untuk sabar, jangan menangis, mas Ais sayang adik, dan sebagainya. Kami pun tidak khawatir kalau Farras bakal mengganggu apalagi melukai si adik karena kami tau betul itu tidak akan dilakukan Farras.

Saat keduanya tidur, aku dan suami memandangi mereka. Kami membicarakan sikap Farras kepada adiknya dan juga keadaan yang begitu berbeda antara hari-hari pertama Farras dan hari-hari pertama adiknya. Hari-hari pertama setelah kelahiran Farras keadaanku begitu buruk, fisik yang capek, kekhawatiran yang berlebihan, dan mungkin saat itu aku mengalami sindrom baby blues. Ditambah pemberian ASI yang tidak lancar dan keadaan Farras yang sakit di hari-hari pertamanya.

Keadaan itu berbeda jauh dengan saat ini. Secara fisik aku memang kurang sehat, kepala pusing, bekas luka persalinan yang belum sembuh, dan lainnya. Tapi secara emosi, aku merasa sangat bahagia. Tidak ada kekhawatiran sedikitpun, tidak ada ketakutan, dan aku merasa tidak ada yang berubah kecuali tambahnya kebahagiaan seiring dengan hadirnya si adik dan semakin sayangnya kami pada Farras.

Suami pun merasakan hal yang sama. ‘Aku semakin sayang sama Farras sejak kehadiran adiknya. Aku merasakan betapa berartinya Farras setelah kehadiran adiknya.’ Begitulah kira-kira. Itu bukan berarti kami tidak sayang kepada si adik, bagi kami keduanya sama-sama berarti. Tapi hari-hari yang kami lalui bersama Farras sebelumnya, yang terkadang membuatnya terluka, menangis, dan bersedih, membuat kami menyesal karena kekurangsabaran kami mengurusnya.

Kini, setelah sang adik lahir, limpahan kebahagiaan kami rasakan. Kami bertekad untuk tidak membeda-bedakan si sulung dengan adiknya. Kami juga tidak akan membuat si sulung merasa tersisih dan terkurangi kasih sayangnya. Kami juga tidak akan membuat si sulung merasa disalahkan karena kehadiran adiknya. Karena keduanya sangat berarti bagi kami.

Yang kami lakukan adalah bersikap tetap sama seperti saat si adik belum lahir. Kami tetap menghargai setiap apa yang dikatakannya, bermain bersama, membaca buku bersama, dan melibatkan pengurusan si adik dengannya. Kami pun tidak melarang setiap dia ingin menggendongnya (dengan bantuan kami tentunya), memegangnya, bermain bersama adiknya, atau membantu kami mengurus perlengkapan adiknya.

Dengan bertambahnya anak, bertambah pula tanggung jawab kami dalam mengurusnya dan juga mendidik keduanya. Kami pun harus siap dengan tantangan yang boleh jadi berbeda dengan keadaan sebelumnya. Namun kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik untuk keduanya. Dan kepada Allah kami memohon pertolongan.

Puri Tirtayasa Indah, 6 Februari 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar