ekspresi mas Farras |
Ahad pagi, tanggal 1 Februari 2015 putra
kedua kami lahir. Resmilah Farras menjadi si sulung untuk adiknya, Fawwaz.
Banyak orang bilang kalau ada adik baru hadir, maka si kakak akan berulah,
entah itu menjadi manja, meminta perhatian lebih, menggoda adiknya, dan ada
yang lebih ekstrim, yaitu melukai si adik karena cemburu.
Sebagai orang tua, kami sempat khawatir kalau
Farras akan bersikap seperti itu terhadap si adik. Tapi dengan segera kami
biang kekhawatiran tersebut dan kami tanamkan dalam hati kami bahwa Farras
adalah sulung yang baik, sayang dengan sang adik, dan pastinya kami semua akan
bahagia dengan kehadiran si adik.
Saat rahim mulai terasa kontraksi, kami
bertiga berangkat ke bidan untuk periksa dan ternyata tidak lama, hanya sekitar
satu-dua jam dari rasa mulas terasa, si adik lahir. Setengah jam sebelum si
adik lahir, pakdenya Farras datang untuk menjemput. Kami sengaja meminta
bantuan kakak ipar untuk momong Farras selama persalinan, karena kami tidak
ingin Farras melihat ibunya kesakitan saat persalinan. Farras paling tidak bisa
melihat orang-orang yang disayanginya sakit. Sebelum pergi, Farras berbisik ke
telingaku, ‘Ibu ga boleh sakit ya, adik, geraknya pelan-pelan, kasihan ibunya
sakit.’ Nyess.. rasanya hati ini adem mendengar kata-kata Farras sebelum pergi
itu. Aku katakan kepadanya, ‘Ibu akan kuat untukmu dan adikmu, Nak.’
Si adik pun lahir. Saat datang menjenguk,
Farras tampak cuek dan tidak peduli. Tak lama pun Farras ikut pakdenya kembali
pulang. Jujur aku merasa kehilangan sekali. Aku tidak ingin kehilangan
kedekatan dengan Farras karena hadirnya si adik baru. Akhirnya aku minta si
abah untuk menjemput Farras dan malam itu aku tidur di sampingnya, alhamdulillah,
aku merasa kedekatan kami kembali.
Hari kedua kami pulang dari tempat bersalin. Inilah
hari-hari pertama kami bersama si sulung dan si adik, Farras dan Fawwaz. Tidak
seperti hari sebelumnya, di hari kedua ini Farras tampak bahagia dengan
hadirnya si adik, meski masih agak kaku. Tapi nampak sekali kalau Farras sangat
menyayangi adiknya. Suatu sore saat melihat si adik menangis karena dimandikan
dan melihat tali pusar yang belum copot di perut adik, Farras tampak sangat
sedih dan matanya berkaca-kaca. Dia melarangku untuk menyentuh perutnya. ‘Ibu,
kasihan adik.’ Tak terasa, air mataku pun tumpah melihat sikap Farras. Terharu.
Setiap mendengar adiknya menangis, dia akan
langsung cepat-cepat mendekat dan berkata kepada adiknya untuk sabar, jangan
menangis, mas Ais sayang adik, dan sebagainya. Kami pun tidak khawatir kalau
Farras bakal mengganggu apalagi melukai si adik karena kami tau betul itu tidak
akan dilakukan Farras.
Saat keduanya tidur, aku dan suami memandangi
mereka. Kami membicarakan sikap Farras kepada adiknya dan juga keadaan yang
begitu berbeda antara hari-hari pertama Farras dan hari-hari pertama adiknya.
Hari-hari pertama setelah kelahiran Farras keadaanku begitu buruk, fisik yang
capek, kekhawatiran yang berlebihan, dan mungkin saat itu aku mengalami sindrom
baby blues. Ditambah pemberian ASI yang tidak lancar dan keadaan Farras yang
sakit di hari-hari pertamanya.
Keadaan itu berbeda jauh dengan saat ini. Secara
fisik aku memang kurang sehat, kepala pusing, bekas luka persalinan yang belum
sembuh, dan lainnya. Tapi secara emosi, aku merasa sangat bahagia. Tidak ada
kekhawatiran sedikitpun, tidak ada ketakutan, dan aku merasa tidak ada yang
berubah kecuali tambahnya kebahagiaan seiring dengan hadirnya si adik dan
semakin sayangnya kami pada Farras.
Suami pun merasakan hal yang sama. ‘Aku
semakin sayang sama Farras sejak kehadiran adiknya. Aku merasakan betapa
berartinya Farras setelah kehadiran adiknya.’ Begitulah kira-kira. Itu bukan
berarti kami tidak sayang kepada si adik, bagi kami keduanya sama-sama berarti.
Tapi hari-hari yang kami lalui bersama Farras sebelumnya, yang terkadang
membuatnya terluka, menangis, dan bersedih, membuat kami menyesal karena
kekurangsabaran kami mengurusnya.
Kini, setelah sang adik lahir, limpahan
kebahagiaan kami rasakan. Kami bertekad untuk tidak membeda-bedakan si sulung
dengan adiknya. Kami juga tidak akan membuat si sulung merasa tersisih dan
terkurangi kasih sayangnya. Kami juga tidak akan membuat si sulung merasa
disalahkan karena kehadiran adiknya. Karena keduanya sangat berarti bagi kami.
Yang kami lakukan adalah bersikap tetap sama
seperti saat si adik belum lahir. Kami tetap menghargai setiap apa yang
dikatakannya, bermain bersama, membaca buku bersama, dan melibatkan pengurusan
si adik dengannya. Kami pun tidak melarang setiap dia ingin menggendongnya
(dengan bantuan kami tentunya), memegangnya, bermain bersama adiknya, atau
membantu kami mengurus perlengkapan adiknya.
Dengan bertambahnya anak, bertambah pula
tanggung jawab kami dalam mengurusnya dan juga mendidik keduanya. Kami pun
harus siap dengan tantangan yang boleh jadi berbeda dengan keadaan sebelumnya.
Namun kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik untuk
keduanya. Dan kepada Allah kami memohon pertolongan.
Puri Tirtayasa Indah, 6 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar