Abah-anak, mirip kan? |
Akhirnya kedua ayah-anak itu tertidur pulas di
siang ini dengan posisi saling memeluk. Sebagai seorang ibu-istri, saya merasa
damai dengan kedekatan mereka dan berharap kedekatan ini akan terjalin
selamanya.
Kemarin, Farras (2,5 tahun) sempat protes. Abah
sejak pagi hingga Maghrib berada di sekolah karena ada workshop K-13 (padahal
beritanya K-13 akan dimoratorium oleh mendikbud yang baru.. hehehe). Setelah
pulang, abah hanya sempat mandi, sholat Maghrib, dan makan. Setelah itu abah
pergi ngaji rutinan. Farras sempat melarang dan meminta abah di rumah saja. ‘Di
cini aja, Abah.’ Begitu pintanya. ‘Besok ya Nak, seharian Farras main sama
abah,’ si abah pun membujuk Farras.
Farras hanya diam dan abah pun pergi. Tapi setelah
abah pergi, tanpa saya duga, Farras yang menurut saya masih sangat kecil,
protes, ‘Ais digan abah ewus (Farras ditinggal abah terus).’ Jujur saja, saya
kaget dengan protes polos sang batita yang belum jelas dalam bicara ini.
‘Farras sedih?’ Tanya saya kemudian.
‘Iya au. Ais edih. (Iya tau. Farras sedih). Ais mau
ikut ayan-ayan. (Farras mau ikut jalan-jalan.’ Begitu jawabnya.
‘Tapi abah nggak jalan-jalan, Nak. Abah ngaji.’
Bujuk saya.
‘Ecok ya ayan-ayan ama abah? (besok ya jalan-jalan
sama abah?)’ Pintanya lagi.
‘Insya Allah ya, nanti ibu tanya abah.’
Dan hari ini, sejak bangun sampai akhirnya mereka
tertidur pulas, mereka bermain sepuas-puasnya. Mulai dari main motor-motoran,
kuda-kudaan, main bongkar-pasang, menggambar mobil di laptop, mewarnai,
perang-perangan, dan lainnya. Yang terdengar dari dapur hanya canda tawa.
Karena di luar hujan dan angin kencang, rencana jalan-jalan pun dibatalkan.
Farras pun bisa mengerti, karena hujan, acara jalan-jalan pun batal.
‘ujan uyun atas enting. Ain uyun idak iya. Oba
engok ahan ating. Popon unung acah mua, ya bu?’ begitu dia memastikan. Dan
akhirnya, ayah-anak itu pun tertidur.
Tidak ada hal mewah dalam liburan hari ini. Semua
permainan dilakukan dengan media yang ada di rumah. Tidak harus ke mall, tidak
harus dengan permainan yang mahal, tidak harus di depan TV, semua sederhana.
Yang pasti, saya merasakan kasih sayang yang berlimpah antara kedua ayah-anak
itu.
Saya masih ingat dengan salah seorang kerabat yang
saking sibuknya, hampir tiap hari tidak bisa bercanda dengan sang anak. Sang
ayah berangkat bekerja saat anak masih tidur dan baru pulang ketika sang anak
sudah tidur. Itu terjadi setiap hari, bahkan terjadi juga di hari libur.
Akhirnya, ketika kesempatan berkumpul bersama itu datang, sang ayah selalu
memanjakan sang anak yang bagi saya terlalu berlebihan, dengan menuruti semua
keinginan anak, tidak terlalu peduli dengan kewajiban sholat, atau bahkan
memberikan kebebasan anak dalam pergaulan. Akibatnya, yang nampak adalah anak
tumbuh dalam kebiasaan yang kosumtif. Sang ibu tidak bisa berbuat banyak karena
sang anak selalu berdalih kalau semua perilakunya itu diizinkan oleh sang ayah.
Bagi saya, kewajiban seorang ayah tidak sekedar
mencari nafkah dan memenuhi semua kebutuhan keluarga secara materi dan urusan
mendidik anak serta mengurus rumah adalah sepenuhnya tanggung jawab seorang
ibu. Memang dalam pembagian tugas, ada penanggung jawabnya, tapi itu bukan
berarti melepaskan satu pihak atas kewajiban lainnya, apalagi soal mendidik
anak.
Bagaimana pun, anak membutuhkan figur seorang ayah
dalam kehidupannya (kalau ayahnya masih ada). Keseimbangan karakter ayah-ibu
dalam simbol Yin-Yang (kualitas maskulin positif-feminin positif) yang saling
melengkapi dibutuhkan tiap anak untuk tumbuh dalam karakter yang seimbang. Anak
akan tumbuh dengan sikap tegas sekaligus mempunyai kasih sayang, mempunyai
sifat memimpin sekaligus memelihara. Hal ini hanya bisa terwujud ketika sang
ayah ikut terlibat dalam proses pendidikan sang anak melalui teladan nyata,
kehadiran fisik, serta interaksi yang intens (yang tulus), bukan sekedar
basa-basi.
Saya pun teringat dengan sosok abah di kampung.
Abah saya adalah sosok yang sederhana, tidak berpendidikan tinggi, tidak
berpangkat, bukan seorang pejabat, hanya seroang petani desa yang menggarap
sawah dan sesekali mengajar ngaji para tetangga. Tapi abah berhasil mengantar
anak-anaknya menjadi anak-anak yang cinta ilmu (lima dari tujuh anaknya sudah
kuliah –meskipun kuliah tidak menjadi satu-satunya ukuran kecintaan ilmu),
mendidik anak-anaknya dengan tauhid dan akhlak, memberikan teladan dalam
keteguhan memegang prinsip kebenaran, menanamkan sikap tidak cinta dan silau
pada dunia, yang semua itu masih terekam jelas dalam ingatan saya dan adik-adik
saya. Suami saya pun mengakui bahwa saya dan saudara-saudara saya sangat
mewarisi karakter kuat abah. Hal ini tidak mungkin terwujud seandainya saja
abah abai pada pendidikan kami di usia dini kami pada masa lalu.
Allahummaghfirli wa liwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar