Emosi dan perasaan memang
terkadang naik turun. Ada bahagia, ada pula lara. Ada suka, ada pula rasa duka.
Ada tenang, ada kalanya rasa tidak nyaman itu datang. Semuanya wajar. Karena itulah
jiwa dalam menghadapi kehidupan.
Namun ketika respon
terhadap emosi tersebut tidak diambil secara tepat, maka yang terjadi adalah
hal yang buruk. Kebahagiaan yang direspon secara berlebihan dan diikuti dengan
tindakan yang negatif (pesta pora, misalnya), yang terjadi adalah kerusakan. Duka
lara yang direspon dengan rasa pesimis bisa berakibat hilangnya asa, yang
terkadang membuat manusia hilang akal (bunuh diri, misalnya). Karena itulah
ketika rasa itu datang, kita harus bisa mengenalinya, meresponnya, kemudian
menyelesaikannya dengan tepat.
Lalu bagaimana dengan saya?
Yang paling membuat tidak nyaman dalam hidup saya adalah saat bertengkar dengan
suami. Dalam hidup berumah tangga, pertengkaran adalah bumbu wajib yang tidak
bisa dihindari. Ibarat dalam sayuran, pertengkaran adalah garamnya. Kami pun
tidak bisa luput darinya. Alhamdulillah-nya, kami bisa melewati dan
mengakhirnya dengan cukup baik.
Ketika pertengkaran itu
terjadi, saya merasa sangat tidak nyaman karena yang terjadi adalah kebisuan. Baik
saya maupun suami memang tidak suka bertengkar dengan adu mulut apalagi
berteriak sampai terdengar tetangga. Kami berusaha ketika pertengkaran terjadi,
hanya kamilah yang tau dan merasakannya. Tidak seorang pun boleh mengetahui
atau merasakannya, bahkan itu anak-anak kami. Maka sudah biasa bila saat kami
bertengkar, kami akan tetap bercanda bersama anak-anak seperti tidak terjadi
apa-apa. Saat pertengkaran itu terjadi, saya dan suami pun tidak merubah
rutinitas harian kami. Saya tetap membuatkan kopi untuknya, menyiapkan makanan,
serta kebutuhan lainnya. Begitu pun suami, dia akan tetap membelikan bakso saat
akhir pekan selepas ngajar.
Yang saya lakukan
setelahnya adalah, mengiriminya pesan lewat sms pada suami perihal
ketidaknyamanan saya, serta apa yang saya inginkan. Setelah itu, pelukan
datang, masalah termaafkan.
Hal kedua yang membuat saya
tidak nyaman adalah ketika marah kepada anak. Itu seperti dosa besar bagi saya.
Ketika saya lepas kontrol emosi, kemarahan pun meledak. Tak butuh waktu lama
bagi saya untuk menyesalinya karena yang terjadi kemudian adalah bayangan
kebaikan dan kelebihan anak bersliweran di depan mata. Anak yang penurut,
cerdas, sehat, baik, dan lainnya. Yang saya lakukan kemudian adalah memeluk
erat sang anak sambil meminta maaf.
Hal ketiga yang membuat
saya tidak nyaman adalah ketika kegalauan tentang eksistensi saya datang. Ciaaah,
apa pula itu eksistensi? Maksud saya adalah status saya saat ini. Saya merasa
tidak nyaman kala datang pikiran ‘eh, ngapain kemarin sekolah tinggi-tinggi
sampai s2 segala, toh akhirnya sekarang jadi ibu rumah tangga di rumah saja?’
Ini tidak terjadi sekali-dua kali, tapi berkali-kali, seperti bujukan rayuan
syetan untuk menunda-nunda melaksanakan kebaikan. Saya merasa sangat tidak
nyaman. Yang saya lakukan kemudian adalah merenungi tujuan kehidupan saya,
prioritas saya, juga tentang nikmat terbesar saya sebagai seorang perempuan,
yaitu menjadi ibu. Banyak hal yang terlintas kemudian. Dan akhirnya saya pun
sadar, bahwa yang terbaik bagi saya saat ini adalah menjadi ibu rumah tangga di
rumah saja. Rasa ketidaknyamanan itu pun pergi dengan sendirinya seiring
datangnya dua wajah mungil yang lucu, serta satu wajah tampan nan menawan. Mereka
itulah harta paling berharga bagi saya di dunia.
Jumlah kata: 500 kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar