Sabtu, 02 Mei 2015

Kala Rasa Tidak Nyaman Itu Datang

Emosi dan perasaan memang terkadang naik turun. Ada bahagia, ada pula lara. Ada suka, ada pula rasa duka. Ada tenang, ada kalanya rasa tidak nyaman itu datang. Semuanya wajar. Karena itulah jiwa dalam menghadapi kehidupan.

Namun ketika respon terhadap emosi tersebut tidak diambil secara tepat, maka yang terjadi adalah hal yang buruk. Kebahagiaan yang direspon secara berlebihan dan diikuti dengan tindakan yang negatif (pesta pora, misalnya), yang terjadi adalah kerusakan. Duka lara yang direspon dengan rasa pesimis bisa berakibat hilangnya asa, yang terkadang membuat manusia hilang akal (bunuh diri, misalnya). Karena itulah ketika rasa itu datang, kita harus bisa mengenalinya, meresponnya, kemudian menyelesaikannya dengan tepat.


Lalu bagaimana dengan saya? Yang paling membuat tidak nyaman dalam hidup saya adalah saat bertengkar dengan suami. Dalam hidup berumah tangga, pertengkaran adalah bumbu wajib yang tidak bisa dihindari. Ibarat dalam sayuran, pertengkaran adalah garamnya. Kami pun tidak bisa luput darinya. Alhamdulillah-nya, kami bisa melewati dan mengakhirnya dengan cukup baik.

Ketika pertengkaran itu terjadi, saya merasa sangat tidak nyaman karena yang terjadi adalah kebisuan. Baik saya maupun suami memang tidak suka bertengkar dengan adu mulut apalagi berteriak sampai terdengar tetangga. Kami berusaha ketika pertengkaran terjadi, hanya kamilah yang tau dan merasakannya. Tidak seorang pun boleh mengetahui atau merasakannya, bahkan itu anak-anak kami. Maka sudah biasa bila saat kami bertengkar, kami akan tetap bercanda bersama anak-anak seperti tidak terjadi apa-apa. Saat pertengkaran itu terjadi, saya dan suami pun tidak merubah rutinitas harian kami. Saya tetap membuatkan kopi untuknya, menyiapkan makanan, serta kebutuhan lainnya. Begitu pun suami, dia akan tetap membelikan bakso saat akhir pekan selepas ngajar.


Yang saya lakukan setelahnya adalah, mengiriminya pesan lewat sms pada suami perihal ketidaknyamanan saya, serta apa yang saya inginkan. Setelah itu, pelukan datang, masalah termaafkan.

Hal kedua yang membuat saya tidak nyaman adalah ketika marah kepada anak. Itu seperti dosa besar bagi saya. Ketika saya lepas kontrol emosi, kemarahan pun meledak. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesalinya karena yang terjadi kemudian adalah bayangan kebaikan dan kelebihan anak bersliweran di depan mata. Anak yang penurut, cerdas, sehat, baik, dan lainnya. Yang saya lakukan kemudian adalah memeluk erat sang anak sambil meminta maaf.

Hal ketiga yang membuat saya tidak nyaman adalah ketika kegalauan tentang eksistensi saya datang. Ciaaah, apa pula itu eksistensi? Maksud saya adalah status saya saat ini. Saya merasa tidak nyaman kala datang pikiran ‘eh, ngapain kemarin sekolah tinggi-tinggi sampai s2 segala, toh akhirnya sekarang jadi ibu rumah tangga di rumah saja?’ Ini tidak terjadi sekali-dua kali, tapi berkali-kali, seperti bujukan rayuan syetan untuk menunda-nunda melaksanakan kebaikan. Saya merasa sangat tidak nyaman. Yang saya lakukan kemudian adalah merenungi tujuan kehidupan saya, prioritas saya, juga tentang nikmat terbesar saya sebagai seorang perempuan, yaitu menjadi ibu. Banyak hal yang terlintas kemudian. Dan akhirnya saya pun sadar, bahwa yang terbaik bagi saya saat ini adalah menjadi ibu rumah tangga di rumah saja. Rasa ketidaknyamanan itu pun pergi dengan sendirinya seiring datangnya dua wajah mungil yang lucu, serta satu wajah tampan nan menawan. Mereka itulah harta paling berharga bagi saya di dunia.




 Tulisan ini diikutsertakan dalam Nadcissism 1st Giveaway

Jumlah kata: 500 kata

                                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar