Kamis, 30 April 2015

#BeraniLebih Memaafkan untuk Kebahagiaan

Akhirnya, saya menemukan cara untuk merasa bahagia, yaitu dengan memaafkan. Bagi saya, memaafkan adalah memaklumi kesalahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang terkadang mengganggu perasaan.

Nah, dalam menjalani kehidupan, pernah dong menemui atau melakukan kesalahan, kekurangan, dan ketidak sempurnaan tersebut. Ketika hal-hal tersebut kita jumpai, yang kita rasakan pasti ketidaknyamanan dan pada akhirnya menyebabkan keresahan. Bila hal tersebut dibiarkan, yang terjadi adalah penumpukan rasa ketidaknyamanan. Pada akhirnya akan mengganggu kesehatan jiwa. Bila diibaratkan, ketidaknyamanan tersebut seperti debu yang menempel di kaca. Bila tidak dibersihkan, keberadaan debu tersebut akan menumpuk dan membuat kaca keruh dan menghalangi cahaya masuk. Saat itulah, jiwa yang tertutupi rasa ketidaknyamanan akan tertutup dan tidak jarang akan menyebabkan stres.

Saya tidak mau hal itu terjadi pada diri saya. Saya ingin bahagia dan saya memilih untuk bahagia. Karena itulah saya memilih untuk menghapus kesalahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang saya temui dengan #BeraniLebih  memaafkan.

Dimulai dengan memaafkan diri sendiri. Kenapa harus memaafkan diri sendiri? Karena sayalah pengendali situasi yang saya alami, bukan orang lain. Lalu, apa yang harus saya maafkan dari diri saya? Kesalahan yang telah saya perbuat, kekurangan yang saya miliki, serta ketidaksempurnaan yang saya persembahkan.

Sebelum menikah dan punya anak, saya termasuk orang yang ambisius. Segala keinginan harus terwujud sempurna. Saya harus menjadi yang terbaik. Urusan rumah pun, saya tidak akan tenang sebelum rumah beres, bersih, rapi, dan indah dipandang.

Inilah yang ingin saya maafkan. Saya sudah mempunyai dua balita yang sedang aktif. Mengurus keduanya membutuhkan tenaga super. Kata seorang teman di facebook, mengurus balita adalah pekerjaan yang memerlukan kualifikasi tenaga kiuli, hati peri, kesabaran nabi, kelincahan kurcaci, tangan gurita, dan mata philips. Terus terang, terang terus. (Siti Maryamah).

Saya mengalami itu. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Belum lagi satu pekerjaan usai, pekerjaan lain menanti. Begitu seterusnya. Rumah juga (hampir) tidak pernah rapi dan (hampir) selalu berantakan. Kalau menuruti watak asli saya, pening kepala dibuatnya. Tapi kemudian saya sadar, bahwa saya berhak bahagia. Saya memilih #LebihBerani memaafkan kekurangan saya agar tidak pening. Rumah belum dan (tidak pernah) rapi, it’s ok. Saya akan merapikannya semampu saya. Kalau tidak mampu dan saya lelah, saya pun memilih untuk tidur.

Saya juga tidak lagi menganggap pilihan saya menjadi ibu rumah tangga (saja) sebagai ketidaksempurnaan saya. Saya menganggapnya pilihan terbaik untuk saya dan anak-anak saya. Dengan begitu saya merasa bahagia.

Kedua, memaafkan anak-anak. Setelah saya menyadari sepenuhnya akan pentingnya kebahagiaan, saya memilih #BeraniLebih memaafkan kesalahan-kesalahan kecil dua balita mungilku yang lucu. Air tumpah, pipis yang tidak tertahan, mainan berantakan, ajakan begadang di malam hari, semua saya hadapi dengan menarik nafas dalam-dalam, tersenyum, dan kemudian memeluk mereka erat-erat. Merekalah harta terbaikku.

Ketiga, memaafkan suami. Suami adalah teman sejati selamanya dalam hidup. Tentu ada kesalahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan darinya. Bila semua hal tersebut selalu dipermasalahkan, disimpan dalam hati, dan tidak diurai, yang terjadi adalah beban yang berkepanjangan. Karena itulah saya memilih untuk #BeraniLebih memaafkannya. Pulang terlambat, tidak menelpon, lupa ulang tahun, lupa hari pernikahan, lagi-lagi saya memilih untuk diam sejenak, mengutarakan kekecewaan, dan akhirnya dia memeluk erat-erat. Kesalahan pun termaafkan.


Tulisan ini diikut sertakan dalam Kompetisi Tulisan Pendek di Blog #BeraniLebih Komunitas Light of Women

Jumlah Kata : 498 kata
Facebook : Zuhriyyah Hidayati
Twitter : @ZuhHidayati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar