Senin, 20 April 2015

Berburu Tiket Kereta

sumber gambar
Puasa saja belum kok sudah mikir mudik? Iya, bagi kami pecinta alat transportasi seribu umat, kereta api, maka harus siap-siap berburu tiket. Seperti tahun sebelumnya, tiket kereta api dibuka secara online sejak 90 hari sebelum hari-H keberangkatan dimulai sejak pukul 00.01 dini hari.

Karena kelas yang kami pilih adalah kelas bawah, kelas ekonomi maksudnya, maka perebutan kursi pun terasa panas. Bahkan untuk hari-7, tiket kelas ekonomi langsung ludes hanya dalam waktu 15 menit saja. Untungnya hari kepulangan kami sebelum hari-7, jadi tidak perlu begadang dan dag-dig-dug berebut tiket pas pemesanan.

Memangnya mudik itu harus ya? Kami selalu berusaha untuk mudik setiap lebaran. Dan memang hanya sekali saja kami tidak mudik. Itu pun karena Farras masih berusia tiga bulan saat itu. Kami tidak mau ambil resiko membawa bayi mungil itu menyebrangi lautan dan membelah daratan untuk mudik. Bagi kami, mudik tidak sekedar mengobati rasa rindu pada keluarga dan rumah masa kecil kami. Lebih dari itu, niat kami mudik adalah untuk membahagiakan orang tua, terlebih sejak ada anak-anak, cucu-cucu mereka. Orang tua mana sih yang tidak bahagia saat semua anak-anaknya berkumpul? Kakek-nenek mana sih yang tidak bahagia saat para cucu datang dan merindukan mereka? Pastinya tidak ada, kan. Karena itulah, dengan mudik ini sebisa mungkin kami berusaha untuk membahagiakan mereka saat kesempatan membahagiakan itu masih ada.

Terus kenapa memilih kereta? Kelas ekonomi pula. Jawabannya bisa Anda tebak dong. Irit dan hemat. Hemat kan pangkal kaya. Hihihi. (Mudah-mudahan Allah benar-benar membuat kami kaya, terutama kaya hati. Amiiin). Ya, hemat memang alasan utama. Dibanding bis apalagi pesawat, harga tiket kereta memang lebih murah. Dengan dua anak tentu sangat berat bagi kami untuk mudik dengan pesawat. Harga tiket pesawat pasti meroket saat lebaran. Kalau dipaksakan naik pesawat, bagaimana kami bisa makan? Hahaha. Lebay. Sementara harga tiket bis memang terjangkau. Selisihnya juga tidak banyak dengan tiket kereta. Tapi kami pernah punya pengalaman buruk dengan kendaraan panjang itu. Farras pernah tantrum kepanasan saat mudik pertama kali, waktu itu Farras berumur lima bulan. Entah apa penyebabnya. Ada yang bilang karena aku, pikiranku kacau balau waktu itu karena kepikiran abah yang di ICU. Ada juga yang bilang Farras tantrum karena kelaparan, jadi ibu mertua memberi apa saja untuk mengenyangkannya. Ada juga yang bilang bis itu ada ‘setan’ di roda belakangnya. Ada juga yang bilang kalau bis itu panas dan memang keadaan di luar panas dan macet. Alasan terakhir itulah yang paling masuk akal menurutku.

Pengalaman lain mudik dengan bis itu saat dapat bis yang, aduh, masa di bis antarkota-antarprovinsi ada kecoanya? Kapok saya. Tahun lalu, saat kami mudik dengan kereta, sementara saudara-saudara lain mudik dengan bis, ternyata mereka terkatung-katung di jalan sampai tiga hari, sementara kami sudah santai seperti di pantai sudah sampai di rumah, padahal mereka berangkat lebih dulu. Jalur mudik tahun kemarin memang macet parah karena Jembatan Comal yang putus. Dan kami yang naik kereta tentunya tidak melewati jembatan itu dong. Hihihi.

Karena itulah kami dengan mantap memilih naik kereta. Dari Lampung kami naik bis Damri ke Jakarta. Dari sana kami sambung naik kereta. Kami sudah merasa nyaman dengan kereta yang sekarang. Tidak perlu berebut kursi seperti dulu. Satu orang satu kursi, bahkan untuk anak kami yang berusia tiga tahun dua bulan pun sudah wajib membeli satu kursi sendiri. Fasilitas di kereta pun sudah jauh berubah. Toilet yang selalu bersih dan tersedia air, udara yang sejuk dengan AC yang optimal, tidak ada lagi pedagang kecil yang berjualan keliling di kereta (jangankan di kereta, di stasiun saja mereka tidak diizinkan berdagang, untuk ini aku merasa kasihan dengan para pejuang hidup itu), dan yakinlah, sudah tidak ada lagi manusia-manusia yang bertumpuk-tumpuk di antara kursi-kursi di dalam kereta (kecuali kalau mereka yang menghendaki). Ditambah lagi waktu tempuh kereta yang saat ini lebih pendek dari sebelumnya karena dibangunnya dua jalur kereta. Ini bukan iklan dari PT. KAI lho ya, tapi ini cerita pengalaman kami saat mudik tahun lalu.
Berapa jam yang akan kami tempuh? Lama tentunya. Perjalanan dari Lampung-Jakarta kami tempuh selama 8 jam. Setelah itu kami istirahat dan rencananya kami akan bermain di Monas sambil menunggu kereta kami datang. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan dengan kereta selama kurang lebih 11 jam.

Yah... itulah salah satu perjuangan kami di tanah rantau. Mudik tidak hanya butuh tenaga, tapi mudik juga membutuhkan biaya (yang tidak sedikit. Biasanya orang di kampung menganggap para perantau itu kaya dan banyak duitnya, jadi tradisinya, kami para perantau juga harus menyiapkan angpau. Hihihi), dan yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan mental.

Apa maksudnya persiapan mental saat mudik? Biasanya momen lebaran adalah momen berkumpul, baik sanak saudara maupun teman lama. Ada reuni, pertemuan keluarga, arisan, atau apalah namanya. Saat itulah ada rasa ingin unjuk, unjuk gigi, unjuk keberhasilan, unjuk kesuksesan, bahkan unjuk kemewahan. Jadi tidak salah kalau saudara dan sahabat di kampung menganggap para perantau ini orang-orang yang ‘sukses’ dan menjadikan mereka merasa minder. Sayangnya, tidak sedikit para perantau tersebut semakin menari di atas angin dengan anggapan dan pujian para saudara dan sahabat tersebut. Kalau sudah begitu, jarak antara para perantau dan saudara di kampung akan semakin lebar. Aku tidak suka itu. Karenanya persiapan mental diperlukan untuk mendekatkan hati yang menjauh, merekatkan kerinduan yang tercipta oleh jarak dan masa, juga mencairkan kebekuan karena perpisahan.

Ayo! Saatnya berbenah dan bersiap untuk mudik. Eh, masih dua bulan setengah lagi ding. Yang sangat tidak kalah pentingnya adalah mabrurnya puasa yang menjadi ladang ujian bagi kita yang bertakwa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar