Jumat, 24 April 2015

Hari Kartini, Hari Buku, dan Buku-bukuku

Saya mendapat hadiah buku ini dari Sekolah Perempuan
Peringatan Hari Kartini lalu, saya mengikuti kuis dadakan yang diadakan FP Sekolah Perempuan. Kuisnya kira-kira tentang apa makna peringatan Hari Kartini buat saya. Saya menjawab bahwa momen peringatan Hari Kartini adalah untuk meningkatkan diri menjadi ibu yang lebih baik dari sebelumnya karena salah satu perjuangan penting kartini adalah menjadikan perempuan terdidik agar mampu mendidik generasi kedepan. Yang saya lakukan adalah mendidik diri baik melalui pendidikan formal maupun nonformal juga melatih jiwa untuk lebih sabar, dewasa, dan bijak, untuk kemudian saya mendidik anak-anak saya. Sejatinya mendidik anak adalah mendidik diri kita juga. Begitulah jawaban saya kira-kira. Alhamdulillah, saya termasuk satu dari dua komentator yang beruntung mendapatkan buku Parenting with Heart tulisan Ibu Anna Farida.

Sejujurnya sudah lama saya mengincar buku ini dan mungkin karena belum berjodoh jadilah saya belum memilikinya. Tapi rupanya jodoh saya dengan buku itu datang di saat momen peringatan Hari Kartini 2015. Melalui Ibu kartini saya mendapat rizki berupa buku. Setidaknya itulah yang saya rasakan.

Tapi ada sedikit masalah yang mengganggu pikiran saya juga saat peringatan Hari Kartini tahun ini. Seorang teman yang terhitung akademisi beberapa kali menulis dengan nada sinis (menurut saya) tentang Ibu Kartini. Menurutnya pemberian gelar pahlawan pada Ibu Kartini tidaklah tepat dan harus dikaji ulang. Lha wong cuma remaja galau karena dipingit dan kemudian dia curhat saja kok ujug-ujug jadi pahlawan. Bahkan si teman saya ini mengajak untuk galau dan kemudian curhat agar bisa jadi pahlawan.

Saya tidak hendak menyangkal pendapat tersebut karena sudah banyak kajian tentang hal ini. Menurut saya, singkatnya begini, kalau tidak setuju dengan gelar pahlawan yang diberikan pada Ibu Kartini ya salahkan pemerintah dong, jangan kemudian meremehkan Ibu Kartini. Setidaknya di umur yang singkat itu Ibu Kartini sudah memberi inspirasi, pencerahan, juga jalan bagi terbukanya pendidikan bagi kaum perempuan. Beliau juga bergerak secara nyata dalam mendirikan sekolah untuk perempuan. Memang banyak perempuan lain saat itu yang melakukan hal serupa, semuanya harus diapresiasi dan dihormati. Masalah gelar kepahlawanannya, sekali lagi, itu urusan dengan pemerintah. Mengkritisi pemikiran Ibu Kartini juga sah-sah saja asal dengan argumentasi yang kuat disertai data-data yang kuat, bukan dengan nada sinis dan meremehkan. Toh apa yang dilakukan beliau di usia sesingkat itu jauh lebih berguna, setidaknya dibanding saya yang berusia lebih tua tapi belum bisa berbaut apa-apa untuk masyarakat saya.

Nah, apa hubungannya dengan Hari Buku? Tentu saja bagi saya dua momen tersebut sangat berhubungan. Saya menang kuis dan saya mendapatkan sebuah buku yang sampai di rumah sehari setelah peringatan Hari Buku. Buku itu tentang mendidik anak, genre yang akhir-akhir ini memenuhi rak buku saya yang sudah tidak cukup. Jadilah buku-buku parenting saya letakkan di meja TV bersama buku-buku Farras.

Saya sengaja mengelompokkan buku-buku saya dengan klasifikasinya. Bagi saya menata buku sesuai dengan klasifikasinya itu sangat penting karena selain membuat mudah dalam mencari buku, membuat klasifikasi buku adalah bentuk keadilan terhadap buku-buku yang termasuk salah satu sumber ilmu. Mengklasifikasi buku berarti mengklasifikasi ilmu.

Kenapa disebut sebagai keadilan? Disebut keadilan karena menempatkan mereka pada tempatnya masing-masing secara tepat. Bahkan dengan ketat Romo Yai saya, KH. Fadhil Marzuqi (Allahu yarham) berpesan untuk benar-benar menata buku dengan rapi, berurutan dari atas ke bawah, dari kitab suci Al-Quran, tafsir, hadis, dilanjutkan ilmu-ilmu lainnya. Beliau juga berpesan untuk selalu memberi nama pada tiap buku, merawatnya, meletakkan di atas, setidaknya jangan sampai buku itu sejajar dengan tempat duduk kita. Sayangnya saya tidak bisa mengamalkan yang terakhir ini. Itu adalah adab terhadap buku.



Kembali kepada klasifikasi buku di rak saya. Menuruti pesan guru saya dan juga mengaplikasikan hasil kajian tesis saya tentang hierarki ilmu, saya menyusun buku-buku saya mulai dari mushaf Al-Quran di bagian paling atas. Karena masih ada tempat, saya letakkan tafsir Al-Quran, kitab-kitab ilmu-ilmu keislaman, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqh, dan ushul fiqh. Di bagian bawahnya saya letakkan kajian-kajian dari ilmu-ilmu tersebut seperti kajian tafsir maudhu’i, ilmu qiraat, buku-buku hasil ijtihad fiqh, dan sebagainya. Di bagian selanjutnya saya letakkan buku-buku filsafat Islam, tasawuf (yang sangat sedikit), sejarah kebudayaan Islam, pendidikan Islam (yang menempati sebagian besar isi rak). Di rak satunya saya letakkan buku-buku kajian Al-Quran yang ukurannya lebih kecil (karena raknya lebih kecil) di bagian atas, disusul buku-buku kajian perempuan, buku-buku sastra, dan yang paling bawah adalah buku-buku komputer (koleksi suami, karena suami saya kuliah di jurusan komputer dan saat ini mengajar komputer di SMK). Nah, karena sudah penuh, akhirnya saya memanfaatkan meja TV beserta kolongnya untuk menyimpan buku yang tiap bulan ada saja tambahan penghuninya. Di meja TV ini saya letakkan buku-buku untuk keperluan mengajar TPA (saya sempat mengajar TPA sebelum melahirkan), buku-buku parenting, dan buku-buku Farras yang islami, seperti buku kisah-kisah Nabi, sejarah Nabi Muhammad, dan buku-buku seri aqidah. Di bagian kolong meja saya letakkan jurnal-jurnal ilmiah berdampingan dengan buku-buku Farras lainnya.

Ada cerita menarik tentang buku-buku saya ini. Sejak kuliah sampai sekarang, saya berpindah tempat sebanyak empat kali. Itu berarti buku-buku ini pun berpindah tempat empat kali. Pertama dari asrama Cinangka ke rumah bulek di Parung. Saya menyewa angkot untuk memindahkan buku-buku ini. Ada 14 kardus Aqua saat itu. Setelah menikah, saya mengirim buku-buku saya ke Lampung dengan jasa ekspedisi. Saya membawa buku-buku saya dengan satu kardus besar ke Tanah Abang untuk dikirim ke kontrakan saya saat itu. Satu tahun tinggal di kontrakan akhirnya kami pindah ke rumah kami saat ini. Dari kontrakan tersebut, buku-buku yang tidak sempat saya bongkar dari kardus, dipindahkan dengan mobil teman yang bersedia membantu pindahan. Barulah di rumah ini suami membuatkan rak buku dengan tangannya sendiri. Suatu hadiah yang luar biasa bagi saya, karena sudah lama saya menginginkan rak buku.

Cerita lain tentang buku-buku saya adalah kisah sedih saat salah satu mbah saya meminta saya membuang buku-buku filsafat saya. Beliau ternyata mengetahui aktifitas saya mengikuti kajian-kajian filsafat dan juga kuliah cabang saya di ICAS yang banyak mengkaji filsafat Islam. Beliau keberatan akan hal itu. Karenanya saya diminta berhenti kuliah dan membuang buku-buku filsafat. Waduh, pikir saya saat itu tentu saja sangat kacau. Membuang buku-buku filsafat berarti membuang sebagian besar buku saya yang sangat saya cintai itu. Saya tidak menurutinya dan untungnya sampai saat ini beliau tidak mengecek koleksi buku-buku saya.

Alhamdulillah, hingga saat ini, buku-buku saya tersebut tersimpan di rak. Semoga tidak sekedar jadi pajangan dan selalu mengingatkan kami untuk terus membaca. Sengaja saya taruh rak buku di ruang tamu karena hanya ruang tamulah tempat yang paling aman dari rayap karena pencahayaan yang cukup. Semoga lagi, suatu saat nanti kami bisa meninggikan rumah kami dan membangun ruangan khusus untuk buku-buku kami ini. Amiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar