Minggu, 26 April 2015

Sekolah (hanya) untuk Kerja?

14124947251379564058
Sumber gambar: http://moneymindedlearning.com/
Seorang kerabat sedang ‘ngrasani’ kerabat lainnya di depanku. Katanya, ‘Si A itu ngapain sekolah terus-terusan, sekolah tinggi-tinggi cuma ngabisin duit. Itu teman sekelasnya aja udah kerja. Gajinya udah 8 juta sebulan.’ Tanpa sadar, sang kerabat tersebut telah menyindir seorang manusia yang senang sekali dengan sekolah, manusia yang diajaknya ‘ngrasani’ kerabat lainnya. Manusia itu saya.

Ya, saya memang suka sekolah. Saya sekolah umur lima tahun. Umur 11 tahun saya lulus SD. Saya melanjutkan ke Mts dan aliyah, dengan sekolah di pesantren juga. Enam tahun saya belajar di pesantren. Setelah itu saya kuliah di Jakarta dan tinggal di asrama mahasiswa yang juga mirip pesantren. Di tahun akhir kuliah saya, saya mendaftar kuliah lagi dengan beasiswa. Tak tanggung-tanggung, kuliahnya jurusan islamic studies yang banyak membahas filsafat. Tahun kelima saya lulus kuliah dan masih melanjutkan kuliah rangkap saya. Sayangnya, kuliah kedua saya ini tidak selesai dan berhenti di proposal skripsi. Berhenti satu tahun dari bangku sekolah formal, saya mendaftar S2 di UIN Jakarta, meskipun saat itu saya sudah menikah dan harus tinggal terpisah di dua kota dan pulau yang terpisah. Tiga tahun saya menyelesaikan kuliah S2 saya dan saya lulus cumlaude. Sekarang pekerjaan saya menjadi ibu rumah tangga.


Jadi, sekolah selama itu ujung-ujungnya hanya di rumah saja? Ngabis-abisin duit saja. Itu mungkin pandangan banyak orang, temasuk pandangan salah seorang kerabat saya tersebut.  Ada pula pandangan orang tua yang menurut saya anehnya luar biasa. ‘Keluar duit banyak untuk nyekolahin anak yang belum tentu pekerjaannya itu merugikan. Mending keluar duit buat ngelamar kerja yang terjamin (menyuap untuk PNS, maksudnya).’

Belajar untuk bekerja. Mungkin itulah pandangan masyarakat pada umumnya. Kalau sudah belajar (sekolah, maksdunya) ya harus bekerja (bekerja pada orang lain, bekerja di kantor, bekerja di pabrik, khususnya). Kalau tidak bekerja, sia-sialah ilmunya. Juga sia-sia duitnya.

Itu pandangan banyak orang. Karenanya ada istilah sarjana nganggur. Konon angka pengangguran dari kalangan sarjana dari tahun ke tahun semakin meningkat. Karena saya tidak bekerja (di kantor), saya mungkin dimasukkan dalam statistik tersebut. Tidak apa-apa. Ibu rumah tangga memang masih tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan (karena tidak bergaji).

Apakah saya sedih dianggap sarjana menganggur? Apakah saya tersinggung dengan sindiran sang kerabat (dan mungkin juga masyarakat lainnya)? Tidak. Karena ajaran yang saya terima sejak kecil dari ibu dan abah saya adalah belajar untuk memupuk keimanan, belajar untuk bahagia dunia dan akhirat, belajar untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya, bukan sekadar untuk pekerjaan dan duit.

Anda boleh saja bilang saya naif dengan alasan-alasan saya. Tidak apa-apa. Tapi kecintaan belajar saya sejak kecil hingga kini memang tidak saya niatkan untuk melulu mendapatkan pekerjaan. Anda mungkin bertanya, memangnya saya tidak butuh pekerjaan yang menghasilkan uang? Ah, siapa sih di dunia ini yang tidak butuh duit. Saya pun butuh duit untuk hidup. Saya pun pernah bekerja banting tulang untuk kehidupan saya. Mulai dari guru privat, guru ngaji, menjadi wartawan, editor buku, penulis (meski cuma satu buku), sampai sekarang ini saya berdagang kecil-kecilan dari rumah. Dari semua pekerjaan itu, hanya beberapa jenis pekerjaan saja yang berhubungan dengan jurusan kuliah saya, yaitu guru ngaji. Itu saja. Ilmu jurnalistik saya dapat dari pengalaman mengelolah lembaga pers kampus zaman kuliah. Berlanjut pada editor buku dan penulis. Lalu apakah ilmu yang saya pelajari bertahun-tahun sia-sia karena saya tidak bekerja?

Saya berani katakan tidak. Ilmu dari pesantren membekali hidup saya, bahkan hingga saat ini. Saya jadi tau thaharah dengan benar dan saya jadi sangat berhati-hati akan masalah ini (karena itulah saya tidak memperkerjakan asisten rumah tangga yang belum tentu kenal najis). Saya tau aqidah dan ilmu kalam yang membekali saya dalam bersikap terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Saya tau ilmu nahwu shorof (meski banyak yang lupa) yang memudahkan dalam membaca kitab suci. Saya mengenal tasawuf dari almarhum guru saya yang menjadikan saya seperti sekarang (bukan...bukan sufi), pokoknya seperti ini lah.

Kalau dari awal saya niatkan sekolah untuk bekerja dan mendapatkan gaji, saya tidak akan kuliah di IIQ, kampus khusus perempuan yang oleh pendirinya didirikan untuk mencetak calon ibu yang akan mendidik anak-anaknya dengan baik. Saya akan kuliah di jurusan ekonomi, hukum, atau sekalian kedokteran. Kalau saya menganggap sekolah hanya melulu untuk bekerja dan mendapatkan duit, saya tidak akan kuliah rangkap, jurusan filsafat Islam pula. Untuk apa sibuk belajar filsafat, toh tidak ada perusahaan yang membutuhkan seorang filosof untuk diangkat menjadi karyawannya.

Nah, alasan saya mengambil S2 memang ada sisi-sisi praktisnya. Suatu saat saya ingin menjadi dosen. Karenanya saya harus S2. Saya ingin berbagi ilmu saya. Syukur-syukur kalau mendapatkan duit. Kalau kesempatan belum ada dan keadaan belum memungkinkan, saya manfaatkan ilmu saya dengan mengajar anak-anak saya, mengajar TPA (yang seringkali diremehkan orang dengan tenaga pengajar seadanya), dan ngajar les di rumah saya. Saya tidak merasa merugi waktu dan biaya atas semua proses panjang sekolah yang saya lalui (jika ditotal, saya sekolah sejak umur tiga tahun sampai umur dua puluh delapan). Masing-masing jenjang persekolahan telah banyak mengajarkan ilmu yang membentuk kepribadian saya, bukan sekedar pengetahuan dan ketrampilan.

Agaknya kita harus memahami klasifikasi ilmu aga kita tidak salah faham terhadap ajaran Nabi tentang wajibnya menjadi ilmu. Dalam klasifikasi ilmu ini, saya setuju dengan klasifikasi Imam al-Ghazali yang membagi ilmu pada dua kategori, yaitu ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain (singkatnya) adalah ilmu yang wajib diketahui, dimiliki, dan diamalkan oleh setiap individu muslim sebagai syarat tercapainya status kemuslimannya.  Prinsipnya, ‘segala sesuatu yang menjadikan sesuatu itu wajib, maka ia dengan sendirinya wajib.’ Seorang muslim harus mengenal Tuhannya, karena itulah wajib baginya mengetahui ilmu aqidah. Seoarng muslim wajib menjalankan sholat, karena itulah dia wajib mengetahui ilmu fiqh, tasawuf, akhlak, dan ilmu-ilmu lain yang terkait dengan sholat. Seorang muslim harus berakhlak baik, karena itulah dia wajib mengetahui ilmu akhlak.

Ilmu fardhu ‘ain ini berkaitan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu terhadap keimanannya tersebut. Ini terkait dengan jiwa. Pada akhirnya, ilmu ini akan membentuk pandangan hidup dan menjadi pondasi bagi ilmu fadhu kifayah yang besifat partikular, berubah-ubah, fisik, dan sosial.

Sementara ilmu fadhu kifayah adalah ilmu-ilmu pilihan. Singkatnya, ilmu ini terkait dengan profesi. Tiap individu berbeda kapasitas kemampuannya. Ada yang mempunyai kemampuan di bidang kedokteran, ada pula di bidang ekonomi, hukum, tata negara, politisi, pedagang, pekerja pabrik, seniman, mufassir, pendakwah, ahli fatwa, guru, dan lain-lain.
Kedua ilmu tersebut sejatinya tidak boleh dipisahkan. Keduanya harus bersinergi dan menjadi satu kesatuan dalam pribadi setiap muslim. Kendati mempunyai kedudukan yang berbeda (ilmu fardhu ‘ain lebih tinggi dari ilmu fardhu kifayah), keduanya bersifat fardhu (wajib). Artinya, tiap muslim harus mencaiapnya.

Nah, apa hubungan pembagian ilmu dengan tema di atas? Begini, bolehlah sekolah diniatkan untuk mencari kerja. Boleh pula belajar diniatkan untuk mencari duit. Tapi dalam ajaran kita, ada hal lain yang lebih penting dari sekedar kerja dan duit yang harus dijadikan tujuan utama belajar, yaitu tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi tujuan utama belajar, sekolah, pesantren, atau lembaga pendidikan lainnya, atau bahkanyang tidak berlembaga seperti homeschooling, adalah untuk menjadikan anak-anak sebagai seorang hamba Tuhan yang menyembah (secara benar) kepada-Nya, baik kepada sesama, berakhlak mulia, dan cinta alam semesta. Nah, baru setelah itu anak diarahkan sesuai passionnya. Ketika ilmu-ilmu fardhu ain telah menjadi jiwa anak, mau jadi apapun dan mau jadi siapapun, si anak akan tetap memiliki jiwa dan spiritualitas yang baik. Ketika jadi pemimpin, maka ia akan jadi pemimpin yang amanah. Ketika jadi dokter, maka ia akan jadi dokter yang jujur. Ketika jadi guru, ia akan jadi guru yang tulus. Pun ketika jadi ibu rumah tangga, ia akan menjadi ibu rumah tangga yang amanah terhadap titipan-Nya (anak-anak), taat pada kebaikan suaminya, dan peduli pada lingkungan sekitarnya.

Yang terakhir inilah doa terdalam yang selalu saya panjatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar