Pergi merantau. Sumber gambar : muda.kompasiana.com |
Besok, rencananya suami akan mengajak kami jalan-jalan
(entah ke mana, paling-paling menikmati soto Lamongan di Jalan Gajah Mada. Hehehhehe).
Katanya, ini untuk merayakan satu dekade perantauan. Ceritanya, suami pertama
kali menginjakkan kaki di sini tepat pada tanggal 15 Juni 2003, tepat 10 tahun
yang lalu. Mengawali perantauan dengan ikut membantu berdagang di tempat bulek,
pindah ke tempat paklek yang lain, sampai akhirnya bisa membuka usaha sendiri
bersama kakak. Kuliah dan lulus dan akhirnya memegang sendiri usaha yang telah
dirintis. Lanjut menikah dan tinggal di rumah kontrakan selama satu tahun. Tahun
kedua mulai
menempati rumah sendiri (alhamdulillah, meski kredit, hehehhe), dan
alhamdulillahnya lagi, anak lahir di rumah sendiri (maksudnya di bidan dan
pulang ke rumah sendiri, bukan pulang ke rumah kontrakan). Dan kini suami
menjalani aktivitas sebagai wirausahawan dan guru komputer di SMK.
Mungkin cerita singkat tentang suami saya biasa-biasa saja,
seperti kebanyakan orang lain dalam menjalani hidup, sekolah, bekerja, ada yang
bisa kuliah, menikah, punya anak, punya mantu, punya cucu, dan meninggal. Tapi saya
yakin, ada nilai, pengalaman, perasaan, tekad, harapan, serta visi di tiap-tiap
langkah hidup yang dijalani, termasuk nilai MERANTAU sebagai jalan yang kami
pilih.
Saya sendiri merantau sejak usia 11 tahun. Lulus madrasah
ibtidaiyah langsung ke pesantren (meski masih satu kabupaten dengan kampung
halaman) selama enam tahun, lanjut kuliah di Jakarta selama lima tahun (telat
karena kebanyakan kegiatan), bekerja freelance, ngajar, menikah, lanjut s2 di
Jakarta(sampai sekarang belum kelar), dan akhirnya pada Januari 2012 menetap
secara resmi dan memiliki KTP Bandar Lampung.
Mungkin orang bertanya, apa enaknya merantau? Jauh dari
orang tua dan keluarga, dan toh juga sama-sama kerja, sama-sama punya rumah,
sama-sama hidup, dan sama-sama yang lainnya. Ada pula yang menyanggah dengan memakai
pendapat, “sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan di negeri (daerah) sendiri,”
atau pepatah Jawa “mangan ora mangan seng penting kumpul.”
Bagi saya pribadi, merantau (jauh dari rumah) adalah seni
kehidupan yang sangat indah. Kemandirian sudah pasti didapat. Merantau juga
menjadikanku siap hidup dengan segala keadaan. Kalau sedang sedih tingkat dunia
atau galau dengan keadaan yang ada, saya langsung teringat ketika masih di
asrama yang pernah dihiasi dengan kehidupan yang super susah. Pernah tidak
makan dua hari karena honor tulisan telat dikasih. Pernah ke kampus jalan kaki
(setengah perjalanan) karena ongkos di kantong cuma cukup untuk setengah
perjalanan. Ketika itu saya menjalaninya dengan enjoy, lantas kenapa sekarang
saya galau? Begitu hati berkata.
Selain itu, ada perjuangan lebih bagi perantau dibanding
yang lain. Inilah yang saya rasakan. Berjuang untuk hidup lebih layak, berjuang
untuk tetap bermanfaat, berjuang untuk berbuat lebih, dan lainnya. Andai saat
ini saya tidak merantau (hidup di kampung bersama orang tua), tentu kami tidak
berpikir untuk mempunyai rumah sendiri karena menggantungkan jatah dari orang
tua. Andai saat ini saya tidak merantau, tentu saya tidak kesulitan mendapatkan
pekerjaan karena orang tua saya di kampung (alhamdulillah) dikenal, pakde saya
seorang purek, saya juga pernah langsung dijanjikan pekerjaan oleh guru saya
kalau saya mau pulang kampung, dan itu akan mudah saya dapatkan. Karena di sini
saya merantau, tentu saja jalan untuk mendapatkan pekerjaan karena belum banyak
kenalan, belum mengenal lapangan, dan belum tau celah dan peluang. Perjuangan
yang tidak kalah serunya adalah persiapan untuk mudik. Ini yang paling seru. Hehehehe.
Saya jadi ingat obrolan suami dengan penjual soto Lamongan
di Jalan Gajah Mada. Suami saya bertanya kepadanya, “sudah berapa lama
merantau?” “Lima bulan,” jawab si penjual soto. Lalu si penjual soto pun
bertanya, “mas udah berapa lama di sini?” “sepuluh tahu,” jawab suami saya.
Di perjalanan pulang saya tanya suami sambil bertanya, “pasti
penjual soto itu bertanya-tanya dalam hatinya. Merantau 10 tahun sudah dapat
apa saja tuh?”
“Dapat sarjana, dapat rumah, dapat tanah, dapat pengalaman,
dan dapat istri dan anak.”
“Dapat istri???? Kan adek bukan orang Lampung, jadi ga ada
hubungannya kali mas merantau dengan menikahi adek. Toh kita sama-sama orang
kampung.”
“Tapi kalau mas ga merantau, mas masih ngintil bersama orang
tua belum tentu adek mau nikah sama mas.”
“Hmmmmmmmmmmmm...”
senang membacanya, Barokallahu lakum... :)
BalasHapus