Sabtu, 22 Juni 2013

Takdir Yang Kutau [II]



seorang sahabat menelponku pagi ini.
”eh, aku jadi bingung dengan antum mbak zuh. dulu antum yang bilang kalau takdir itu memilih. tapi tulisan antum yang berjudul ”takdir” membuatku tidak semangat. padahal setelah aku tau bahwa takdir itu memilih, aku semangat dalam hidup. atau memang ada tulisan lanjutannya?”

memang, bagiku takdir adalah memilih. artinya, apa yang menjadi nasib kita, kitalah yang tentukan [dengan pengecualian beberapa hal, seperti kita dilahirkan dari keluarga tertentu]. ketika kita sukses, itu karena kitalah yang memilih kesuksesan kita. pun, ketika kita sedih. itu karena kita mengizinkan diri ini untuk sedih.

aku teringat dengan kisah sahabat umar bin khattab. ketika di syam terjadi wabah, umar membatalkan kunjungannya. maka seorang sahabat pun bertanya,
”apakah anda lari dan menghindar dari takdir Allah?”
”aku lari dan menghindar dari satu takdir Allah dan menuju pada takdir Allah yang lain.”

kisah yang hampir sama juga terberitakan dari sahabat ali bin abi thalib. ketika beliau sedang duduk bersandar di suatu tembok yang ternyata rapuh, beliau berpindah ke tempat lain. beberapa orang di sekitarnya bertanya seperti pertanyaan yang tertuju pada sahabat umar di atas. dan jawaban ali bin abi thalib pun sama dengan jawaban umar. rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit, dan lain-lain adalah berdasarkan hukum-hukum Allah, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari bahaya, maka itupun takdir.

aku sendiri memaknai takdir adalah puncak usaha manusia. artinya, ketika seseorang untuk berhenti berusaha [baik itu karena keterbatasannya, maupun karena kondisi yang memaksa], di situlah ia menentukan takdirnya.

namun bukan berarti semua yang terjadi itu di luar kuasa dan pengetahuan Allah. naudzubillah dari pendapat yang demikian. justru semua itu berada di lingkup kuasa dan pengetahuan-Nya. ibarat suatu pertandingan, Allah yang mempunyai hajat pertandingan tersebut. sedangkan manusia adalah para pemain-pemain pertandingan yang ddiberi kemampuan bertanding oleh Sang Empunya hajat. Allah memberi modal dan bekal berupa pengetahuan, akal, indera, dan lain sebagainya kepada manusia untuk menentukan nasibnya. mau selamat atau celaka, itu semua terserah pada pilihan sang manusia.

tidak itu saja, Allah juga dengan kemurahan dan kasih sayang-Nya memberikan petunjuk-Nya yang bisa saja diperoleh manusia bila manusia membuka mata hatinya. semua dalam lingkup kuasa Allah. itulah intinya. tentunya kuasa Allah itu tidak berlawanan dengan keadailan-Nya. kalaupun secara zahir terlihat tidak adail, itu hanya kerena pengetahuan manusia yang serba terbatas  dalam melihat segala sesuatu.

dan tentang tulisanku sebelumnya, ingin aku sampaikan pesan bahwa kuasa Allah di atas segala-galanya. ini merupakan pesan, terutama untuk diriku sendiri, bahwa manusia, bagaimanapun canggih dan hebatnya, ia tidak ada apa-apanya di banding kuasa Allah yang Maha dari segala maha. manusia tidak patut sombong dan congkak dengan kemampuan dan apa yang dimilikinya. bagaimana manusia bisa sombong, bila ia sadar dan ingat  bahwa ia tiada apa-apa ketika dilahirkan.

adapun pendapatku tentang ”takdir itu memilih” lebih untuk menyambut hidup dengan optimis. bahwa hidup tidak akan berubah bila kita, manusia tidak menginginkannya.

ciputat, 29 ogos 2008
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar