Minggu, 23 Juni 2013

Pengalaman Pendidikan dari Orang Tua



“Jangan manjain anakmu Nduk. Contoh Abahmu dalam mendidik!” Begitu pesan ibu sewaktu mengunjungi Farras di rumah Lampung untuk pertama kalinya.

Farras adalah cucu pertama di keluargaku. Tentu banyak nasehat-nasehat ibu dan abah juga kedua mertuaku dalam mendidik Farras. Namun, bagi kami, nasehat yang sesungguhnya adalah teladan, bahwa apa yang telah orang tua kami lakukan dalam mendidik kami itulah nasehat yang bernilai dan itu yang akan kami lakukan selanjutnya. Tentunya kami pun harus menyesuaikan niali-nilai tersebut dengan metode yang sesuai dengan anak.
 

Nilai yang pertama adalah menanamkan arti penting shalat dan mengaji. Shalat adalah paramater. Begitu kata abah sewaktu mengajari kami shalat. Artinya, seseorang bisa dilihat dari shalatnya. Bila seseorang shalatnya benar, hidupnya akan benar. Begitu pula sebaliknya. Aku ingat sekali bagaimana abah menegakkan shalat di keluarga kami. Sejak kecil abah sendiri yang mengajari bagaimana cara sholat kepada kami. Mula-mula dengan mengajak kami sholat berjamaah. Ketika kami sudah mulai mengerti, kami mulai diajari sholat yang benar, mulai dari gerakan yang benar (seperti thuma’ninah yang benar, sujud yang benar, takbiratul ihrah yang benar, duduk yang benar, dan gerakan lainnya), bacaan shalat yang benar, dan etika shalat yang benar (seperti tidak boleh bercanda, tidak boleh tengak-tengok, tidak boleh terburu-buru, dan lainnya). Semua diajarkan abah sendiri sebelum kami diajarkan semua itu di sekolah. Artinya, orang tua adalah guru pertama dalam hal ini. Abah juga memberlakukan aturan keras dalam masalah ini. Bahwa ketika kami dibangunkan untuk shalat, berarti kami harus segera bangun, tidak pake menunggu. Itu yang sampai sekarang tertanam kuat padaku. Tidak boleh sedikitpun menggampangkan shalat, meski dalam keadaan darurat sekalipun.
Belakangan ketika kami sudah mempunyai mushalla sendiri (yang mendapat giliran pendidikan adalah adik bungsu kami), aku melihat gaya mendidik abah tidak sekeras ketika kami kecil dahulu. Abah hanya memberikan contoh, yaitu dengan menjadi imam bagi tetangga-tetangga kami di lima waktu shalat. Abah hampir tidak pernah memarahi Ami (si bungsu) untuk shalat karena Ami sudah sangat disiplin shalat tanpa diperintah atau di suruh (padahal umurnya ketika itu baru 4-5 tahun). Ami akan sangat marah kalau tempat shalatnya ditempati orang lain, karena itu ketika adzan dia langsung bergegas untuk shalat. Ini berbeda dengan aku dulu yang terkadang masih sering ogah-ogahan ketika dibangunkan shalat shubuh misalnya. Ya karena tidak berjamaah, terus tidak dilakukan bersama-sama.

Untuk mengaji, kami juga diajar langsung oleh abah. Aku ingat, sewaktu kecil ibu mengadakan selamatan kecil-kecilan ketika aku khatam juz ‘Amma dan ketika khatam Qur’an untuk yang pertama kali. Dan syukuran itu diadakan ketika berhubungan dengan mengaji, tidak yang lain (seperti ketika aku mendapat rangking, ketika aku juara lomba cerdas cermat sekabupaten, atau ketika aku lulus dengan nilai terbaik). Setiap habis Maghrib, kami diajar sendiri oleh abah dan ibu.

Nilai yang kedua adalah berbakti kepada orang tua. Bagiku ini nilai kedua yang sangat penting setelah shalat. Abah dan ibu selalu menanamkan nilai penting ini baik melalui ucapan maupun perbuatan. Melalui ucapan, abah selalu mencontohkan perilaku-perilaku orang sekitar yang dinilai tidak berbakti kepada orang tua. Melalui perbuatan, kami selalu diberi garis mana-mana perbuatan yang termasuk tidak berbakti, seperti membantah dengan kasar, membangkang, tidak menurut, dan lainnya. Salah satu nasehat abah yang sampai sekarang masih terngiang di telinga adalah, “salah satu tanda dekatnya hari Akhir adalah ketika orang tua dujadikan pembantu oleh anaknya sendiri.”

Nilai yang ketiga adalah cinta ilmu. Memang abah tidak pernah ceramah di depan kami tentang apa itu cinta ilmu. Tapi teladan yang diberikan kepada kami itu sangat kuat tertanam. Hingga saat ini, abah masih rajin mengaji (mengkaji kitab-kitab klasik seperti Ihya’ ‘Ulumuddin, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya) di Pesantren Langitan setiap hari Minggu. Abah hampir tidak pernah absen kecuali saat sakit dan saat hajatan di rumah. Abah juga rajin memberikan ilmunya kepada jamaah shalat di rumah setiap minggunya. Itulah yang terkadang membuatku pribadi malu untuk tidak belajar. Apa yang dicontohkan abah ini jauh lebih canggih daripada sekedar menceramahi, mengomel, dan menyuruh anak untuk belajar. Itu juga yang sudah aku rasakan saat ini. Ketika aku dan suami sedang asyik membaca buku, Farras kami (13 bulan) akan sibuk mencari buku untuk dipegang dan dibolak-balik. 


Selain hal itu, abah dan ibu juga sangat apresiatif dalam hal mencari ilmu. Abah dan ibu akan memberikan yang terbaik untuk urusan ilmu ini. Seperti dengan gampangnya abah dan ibu akan menuruti permintaan kami kalau urusannya dengan buku, tapi akan memikirkan dengan matang-matang kalau untuk urusan lainnya seperti baju, perhiasan, dan lainnya. Karena sikap abah dan ibu, banyak orang bertanya kepada kami, apa yang membuat kami begitu rajin sekolah (sampai saat ini kami bertujuh masih tercatat sebagai siswa, ada yang mahasiswa, ada yang calon mahasiswa, dan ada yang masih siswa sekolah). Jawaban kami adalah, “abah saja masih mengaji, kenapa kami tidak?” 

Tentu masih banyak nilai-nilai yang diberikan orang tua yang tertanam kuat dalam pribadi kami. Orang boleh menyebut bahwa pribadi kami adalah hasil dari didikan orang tua kami. Atas kesadaran itulah, aku dan suami juga akan melakukan hal yang sama, yaitu menanamkan nilai-nilai yang kami anggap sebagai prinsip-prinsip utama kepada anak-anak kami kelak, dan ketiga prinsip di atas adalah pondasinya. Nilai-nilai tersebut harus kami sendiri yang menanamkannya, bukan sekedar menyerahkan tugas tersebut pada sekolah. Karena kami yakin, penanaman nilai dari keluarga itu akan jauh kebih kuat dibanding bila penanaman itu hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga formal. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar