“Jangan manjain anakmu Nduk. Contoh Abahmu dalam mendidik!”
Begitu pesan ibu sewaktu mengunjungi Farras di rumah Lampung untuk pertama
kalinya.
Farras adalah cucu pertama di keluargaku. Tentu banyak
nasehat-nasehat ibu dan abah juga kedua mertuaku dalam mendidik Farras. Namun,
bagi kami, nasehat yang sesungguhnya adalah teladan, bahwa apa yang telah orang
tua kami lakukan dalam mendidik kami itulah nasehat yang bernilai dan itu yang
akan kami lakukan selanjutnya. Tentunya kami pun harus menyesuaikan niali-nilai
tersebut dengan metode yang sesuai dengan anak.
Nilai yang pertama adalah menanamkan arti penting shalat dan
mengaji. Shalat adalah paramater. Begitu kata abah sewaktu mengajari kami
shalat. Artinya, seseorang bisa dilihat dari shalatnya. Bila seseorang
shalatnya benar, hidupnya akan benar. Begitu pula sebaliknya. Aku ingat sekali
bagaimana abah menegakkan shalat di keluarga kami. Sejak kecil abah sendiri
yang mengajari bagaimana cara sholat kepada kami. Mula-mula dengan mengajak
kami sholat berjamaah. Ketika kami sudah mulai mengerti, kami mulai diajari
sholat yang benar, mulai dari gerakan yang benar (seperti thuma’ninah yang
benar, sujud yang benar, takbiratul ihrah yang benar, duduk yang benar, dan
gerakan lainnya), bacaan shalat yang benar, dan etika shalat yang benar
(seperti tidak boleh bercanda, tidak boleh tengak-tengok, tidak boleh
terburu-buru, dan lainnya). Semua diajarkan abah sendiri sebelum kami diajarkan
semua itu di sekolah. Artinya, orang tua adalah guru pertama dalam hal ini. Abah
juga memberlakukan aturan keras dalam masalah ini. Bahwa ketika kami
dibangunkan untuk shalat, berarti kami harus segera bangun, tidak pake
menunggu. Itu yang sampai sekarang tertanam kuat padaku. Tidak boleh sedikitpun
menggampangkan shalat, meski dalam keadaan darurat sekalipun.
Belakangan ketika kami sudah mempunyai mushalla sendiri
(yang mendapat giliran pendidikan adalah adik bungsu kami), aku melihat gaya
mendidik abah tidak sekeras ketika kami kecil dahulu. Abah hanya memberikan
contoh, yaitu dengan menjadi imam bagi tetangga-tetangga kami di lima waktu
shalat. Abah hampir tidak pernah memarahi Ami (si bungsu) untuk shalat karena
Ami sudah sangat disiplin shalat tanpa diperintah atau di suruh (padahal
umurnya ketika itu baru 4-5 tahun). Ami akan sangat marah kalau tempat
shalatnya ditempati orang lain, karena itu ketika adzan dia langsung bergegas
untuk shalat. Ini berbeda dengan aku dulu yang terkadang masih sering
ogah-ogahan ketika dibangunkan shalat shubuh misalnya. Ya karena tidak
berjamaah, terus tidak dilakukan bersama-sama.
Untuk mengaji, kami juga diajar langsung oleh abah. Aku ingat,
sewaktu kecil ibu mengadakan selamatan kecil-kecilan ketika aku khatam juz ‘Amma
dan ketika khatam Qur’an untuk yang pertama kali. Dan syukuran itu diadakan
ketika berhubungan dengan mengaji, tidak yang lain (seperti ketika aku mendapat
rangking, ketika aku juara lomba cerdas cermat sekabupaten, atau ketika aku
lulus dengan nilai terbaik). Setiap habis Maghrib, kami diajar sendiri oleh
abah dan ibu.
Nilai yang kedua adalah berbakti kepada orang tua. Bagiku ini
nilai kedua yang sangat penting setelah shalat. Abah dan ibu selalu menanamkan
nilai penting ini baik melalui ucapan maupun perbuatan. Melalui ucapan, abah selalu
mencontohkan perilaku-perilaku orang sekitar yang dinilai tidak berbakti kepada
orang tua. Melalui perbuatan, kami selalu diberi garis mana-mana perbuatan yang
termasuk tidak berbakti, seperti membantah dengan kasar, membangkang, tidak
menurut, dan lainnya. Salah satu nasehat abah yang sampai sekarang masih
terngiang di telinga adalah, “salah satu tanda dekatnya hari Akhir adalah
ketika orang tua dujadikan pembantu oleh anaknya sendiri.”
Nilai yang ketiga adalah cinta ilmu. Memang abah tidak
pernah ceramah di depan kami tentang apa itu cinta ilmu. Tapi teladan yang
diberikan kepada kami itu sangat kuat tertanam. Hingga saat ini, abah masih
rajin mengaji (mengkaji kitab-kitab klasik seperti Ihya’ ‘Ulumuddin, Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya) di Pesantren Langitan setiap hari Minggu. Abah
hampir tidak pernah absen kecuali saat sakit dan saat hajatan di rumah. Abah juga
rajin memberikan ilmunya kepada jamaah shalat di rumah setiap minggunya. Itulah
yang terkadang membuatku pribadi malu untuk tidak belajar. Apa yang dicontohkan abah ini jauh lebih canggih daripada sekedar menceramahi, mengomel, dan menyuruh anak untuk belajar. Itu juga yang sudah aku rasakan saat ini. Ketika aku dan suami sedang asyik membaca buku, Farras kami (13 bulan) akan sibuk mencari buku untuk dipegang dan dibolak-balik.
Selain hal itu, abah dan ibu juga sangat apresiatif dalam hal mencari ilmu. Abah dan ibu akan memberikan yang terbaik untuk urusan ilmu ini. Seperti dengan gampangnya abah dan ibu akan menuruti permintaan kami kalau urusannya dengan buku, tapi akan memikirkan dengan matang-matang kalau untuk urusan lainnya seperti baju, perhiasan, dan lainnya. Karena sikap abah dan ibu, banyak orang bertanya kepada kami, apa yang membuat kami begitu rajin sekolah (sampai saat ini kami bertujuh masih tercatat sebagai siswa, ada yang mahasiswa, ada yang calon mahasiswa, dan ada yang masih siswa sekolah). Jawaban kami adalah, “abah saja masih mengaji, kenapa kami tidak?”
Selain hal itu, abah dan ibu juga sangat apresiatif dalam hal mencari ilmu. Abah dan ibu akan memberikan yang terbaik untuk urusan ilmu ini. Seperti dengan gampangnya abah dan ibu akan menuruti permintaan kami kalau urusannya dengan buku, tapi akan memikirkan dengan matang-matang kalau untuk urusan lainnya seperti baju, perhiasan, dan lainnya. Karena sikap abah dan ibu, banyak orang bertanya kepada kami, apa yang membuat kami begitu rajin sekolah (sampai saat ini kami bertujuh masih tercatat sebagai siswa, ada yang mahasiswa, ada yang calon mahasiswa, dan ada yang masih siswa sekolah). Jawaban kami adalah, “abah saja masih mengaji, kenapa kami tidak?”
Tentu masih banyak nilai-nilai yang diberikan orang tua yang
tertanam kuat dalam pribadi kami. Orang boleh menyebut bahwa pribadi kami
adalah hasil dari didikan orang tua kami. Atas kesadaran itulah, aku dan suami
juga akan melakukan hal yang sama, yaitu menanamkan nilai-nilai yang kami
anggap sebagai prinsip-prinsip utama kepada anak-anak kami kelak, dan ketiga
prinsip di atas adalah pondasinya. Nilai-nilai tersebut harus kami sendiri yang
menanamkannya, bukan sekedar menyerahkan tugas tersebut pada sekolah. Karena kami
yakin, penanaman nilai dari keluarga itu akan jauh kebih kuat dibanding bila
penanaman itu hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga formal. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar