Baju Baru untuk Lebaran
Dulu, ketika kami semua masih kecil, bulan puasa adalah
bulan yang kami nanti-nanti. Kami akan mendapatkan baju baru, sesuatu yang
tidak kami dapatkan di luar bulan puasa. Baju itu akan kami kenakan saat
lebaran nanti.
Karena kondisi ekonomi keluarga yang terbatas saat itu, bisa
dikatakan orang tua kami memang sedikit “pelit” untuk urusan selain buku. Kami tidak
bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dengan mudah selain buku. Jadi untuk
mendapatkan baju baru, kami harus menunggu datangnya bulan puasa. Itupun bukan
baju yang beli jadi, tapi baju yang dijahit sendiri oleh abah. Alasannya sederhana,
ongkos menjahit baju sendiri leboh murah daripada membeli baju jadi.
Aku ingat sekali dengan kejadian itu, waktu itu aku kelas 3
SD. Seperti biasa, ibu membelikan kain bahan untuk baju lebaran kami bertiga
(aku dan kedua adikku, saat itu kami baru tiga bersaudara. Saat ini kami adalah
tujuh bersaudara). Karena pesanan jahitan abah sangat banyak, kain bahan baju
kami berada di urutan terbawah di tumpukan kain.
Setiap hari, sepulang sekolah, kami setia menunggu abah
menjahit satu-persatu kain pesanan orang. Aku juga sering diminta abah membantu
untuk sekedar memasang kancing, atau pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya. Tapi karena
saking banyaknya pesanan, kain bahan kami belum juga tersentuh oleh abah meski
lebaran tinggal tiga hari lagi. Saat itu aku sangat sedih, karena kuatir baju
belum selesai dijahit saat lebaran nanti.
Abah pun kerja lembur untuk menyelesaikan pesanan-pesanan
jahitan yang menumpuk. Sampai akhirnya, di hari ke dua puluh sembilan, kain
bahan kami pun mulai dipotong. Karena buru-buru, abah tidak memikirkan model
seperti apa baju kami. Yang penting jadi, begitu pikir abah. Kami pun mulai
lega, karena masih ada satu hari lagi waktu abah menyelesaikan jahitan baju
kami.
Adzan maghrib hari kedua puluh sembilan berkumandang, kami
berbuka puasa bersama seperti hari-hari sebelumnya. Tiba-tiba ada pengumuman
dari masjid kalau lebaran jatuh pada malam itu juga. Kami pun panik teringat
kain-kain baju kami yang belum selesai dijahit. Malam itu juga, abah lembur
ditemani ibu untuk menyelesaikan jahitan baju-baju kami. Aku sendiri tidak bisa
tidur karena memikirkan baju yang belum selesai dijahit.
Saat itulah aku mendengar kata-kata ibu, “coba ya Yah kalau kita
punya uang lebih, tentu kita bisa membelikan baju untuk anak-anak, nggak harus
dikejar-kejar begini.” Aku sedih mendengar kata-kata ibu.
Akhirnya, baju-baju kami selesai dijahit semua saat malam
sudah sangat larut. Saat bangun pagi hari, aku melihat tiga pasang baju sudah terjejer di meja. Bajuku
dan baju kedua adikku. Tapi aku tidak begitu tertarik dengan baju itu. Modelnya
aneh menurutku. Baju atasannya terlalu lebar. Celananya terlalu kecil. Tapi aku
tetap memakainya dan tak tega rasanya kalau aku tidak memakai baju tersebut
apalagi sampai mencelanya.
Setelah shalat Ied, kami berkumpul bersama sepupu-sepupu
yang lain. Mereka memakai baju-baju yang sangat bagus. Baju jadi, bukan baju
jahitan sendiri. Jujur, waktu itu aku sangat minder dengan baju yang aku pakai.
Apalagi ada salah satu sepupu yang mengejek bajuku yang kebesaran.
Karena aku tidak merasa nyaman dengan baju itu, aku hanya
memakainya sesekali setelah lebaran berlalu. Sampai ibu mengetahui apa yang aku
rasakan. “Bajunya ga nyaman ya? Tahun depan, gambar sendiri model baju yang
kamu inginkan.”
Wah... Rasanya bahagia sekali diberi kesempatan untuk
menentukan model baju yang aku inginkan. Aku pun mulai merancang model baju
walaupun lebaran masih satu tahun lagi. Begitu setiap tahunnya. Aku diberi
kebebasan untuk menentukan model baju yang aku inginkan dan abah selalu
membuatkan baju sesuai rancangan yang aku buat. Ini terjadi sampai aku kelas
tiga aliyah (SMA). Ketika aku kuliah, abah tidak lagi menjahit baju kecuali
baju abah sendiri.
Rasanya, sudah lama sekali aku tidak menggambar rancangan
baju seperti dulu karena setiap ingin memakai baju baru, aku selalu membeli
jadi. Setelah sekian lama, hanya sekali aku merancang bajuku lagi, yaitu baju
pernikahanku. Aku ingin kembali merancang bajuku sendiri dan menjahitnya
sendiri, tapi belum ada alokasi dana untuk mesin jahit saat ini (masih mikir
biaya kuliah, hehehe).
Puasa tahun ini, aku sudah membelikan dua pasang baju untuk ibu,
abah, emak, dan abah mertua. Gamis putih untuk ibu dan emak, baju koko putih
untuk kedua abahku. Aku selalu berusaha memberikan hadiah (selain uang) untuk
ibu dan abah setelah aku bisa menghasilkan uang sendiri. Itu aku lakukan
sebagai secuil balasan perjuangan mereka saat mempersembahkan yang terbaik
untuk anak-anaknya. Setelah aku menikah, jatah pemberian hadiah aku tambah,
untuk kedua mertuaku. Biasanya, aku menabung dari sisa-sisa uang belanja (terus
minta suami untuk menambah kekurangannya, hehehe).
Alhamdulillah-nya lagi, untuk putraku, Farras, kami juga
sudah menyiapkan baju baru untuknya. Karena Farras adalah cucu pertama di
keluargaku, ia juga mendapatkan banyak hadiah dari paklek-bibinya. Bibi yang di
Kairo sudah memesan gamis. Bibi yang di Jogja sudah membelikan batik, dan masih
banyak hadiah lainnya. Aku bersyukur, keadaan kecil Farras lebih baik daripada
keadaanku dulu. Dan aku lebih bersyukur mempunyai orang tua yang selalu berjuang
keras untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar