Minggu, 21 Juli 2013

Baju Baru untuk Lebaran



Dulu, ketika kami semua masih kecil, bulan puasa adalah bulan yang kami nanti-nanti. Kami akan mendapatkan baju baru, sesuatu yang tidak kami dapatkan di luar bulan puasa. Baju itu akan kami kenakan saat lebaran nanti.

Karena kondisi ekonomi keluarga yang terbatas saat itu, bisa dikatakan orang tua kami memang sedikit “pelit” untuk urusan selain buku. Kami tidak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dengan mudah selain buku. Jadi untuk mendapatkan baju baru, kami harus menunggu datangnya bulan puasa. Itupun bukan baju yang beli jadi, tapi baju yang dijahit sendiri oleh abah. Alasannya sederhana, ongkos menjahit baju sendiri leboh murah daripada membeli baju jadi.

Aku ingat sekali dengan kejadian itu, waktu itu aku kelas 3 SD. Seperti biasa, ibu membelikan kain bahan untuk baju lebaran kami bertiga (aku dan kedua adikku, saat itu kami baru tiga bersaudara. Saat ini kami adalah tujuh bersaudara). Karena pesanan jahitan abah sangat banyak, kain bahan baju kami berada di urutan terbawah di tumpukan kain.
Setiap hari, sepulang sekolah, kami setia menunggu abah menjahit satu-persatu kain pesanan orang. Aku juga sering diminta abah membantu untuk sekedar memasang kancing, atau pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya. Tapi karena saking banyaknya pesanan, kain bahan kami belum juga tersentuh oleh abah meski lebaran tinggal tiga hari lagi. Saat itu aku sangat sedih, karena kuatir baju belum selesai dijahit saat lebaran nanti.

Abah pun kerja lembur untuk menyelesaikan pesanan-pesanan jahitan yang menumpuk. Sampai akhirnya, di hari ke dua puluh sembilan, kain bahan kami pun mulai dipotong. Karena buru-buru, abah tidak memikirkan model seperti apa baju kami. Yang penting jadi, begitu pikir abah. Kami pun mulai lega, karena masih ada satu hari lagi waktu abah menyelesaikan jahitan baju kami.

Adzan maghrib hari kedua puluh sembilan berkumandang, kami berbuka puasa bersama seperti hari-hari sebelumnya. Tiba-tiba ada pengumuman dari masjid kalau lebaran jatuh pada malam itu juga. Kami pun panik teringat kain-kain baju kami yang belum selesai dijahit. Malam itu juga, abah lembur ditemani ibu untuk menyelesaikan jahitan baju-baju kami. Aku sendiri tidak bisa tidur karena memikirkan baju yang belum selesai dijahit.

Saat itulah aku mendengar kata-kata ibu, “coba ya Yah kalau kita punya uang lebih, tentu kita bisa membelikan baju untuk anak-anak, nggak harus dikejar-kejar begini.” Aku sedih mendengar kata-kata ibu.

Akhirnya, baju-baju kami selesai dijahit semua saat malam sudah sangat larut. Saat bangun pagi hari, aku melihat  tiga pasang baju sudah terjejer di meja. Bajuku dan baju kedua adikku. Tapi aku tidak begitu tertarik dengan baju itu. Modelnya aneh menurutku. Baju atasannya terlalu lebar. Celananya terlalu kecil. Tapi aku tetap memakainya dan tak tega rasanya kalau aku tidak memakai baju tersebut apalagi sampai mencelanya.

Setelah shalat Ied, kami berkumpul bersama sepupu-sepupu yang lain. Mereka memakai baju-baju yang sangat bagus. Baju jadi, bukan baju jahitan sendiri. Jujur, waktu itu aku sangat minder dengan baju yang aku pakai. Apalagi ada salah satu sepupu yang mengejek bajuku yang kebesaran.

Karena aku tidak merasa nyaman dengan baju itu, aku hanya memakainya sesekali setelah lebaran berlalu. Sampai ibu mengetahui apa yang aku rasakan. “Bajunya ga nyaman ya? Tahun depan, gambar sendiri model baju yang kamu inginkan.”

Wah... Rasanya bahagia sekali diberi kesempatan untuk menentukan model baju yang aku inginkan. Aku pun mulai merancang model baju walaupun lebaran masih satu tahun lagi. Begitu setiap tahunnya. Aku diberi kebebasan untuk menentukan model baju yang aku inginkan dan abah selalu membuatkan baju sesuai rancangan yang aku buat. Ini terjadi sampai aku kelas tiga aliyah (SMA). Ketika aku kuliah, abah tidak lagi menjahit baju kecuali baju abah sendiri.

Rasanya, sudah lama sekali aku tidak menggambar rancangan baju seperti dulu karena setiap ingin memakai baju baru, aku selalu membeli jadi. Setelah sekian lama, hanya sekali aku merancang bajuku lagi, yaitu baju pernikahanku. Aku ingin kembali merancang bajuku sendiri dan menjahitnya sendiri, tapi belum ada alokasi dana untuk mesin jahit saat ini (masih mikir biaya kuliah, hehehe).

Puasa tahun ini, aku sudah membelikan dua pasang baju untuk ibu, abah, emak, dan abah mertua. Gamis putih untuk ibu dan emak, baju koko putih untuk kedua abahku. Aku selalu berusaha memberikan hadiah (selain uang) untuk ibu dan abah setelah aku bisa menghasilkan uang sendiri. Itu aku lakukan sebagai secuil balasan perjuangan mereka saat mempersembahkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Setelah aku menikah, jatah pemberian hadiah aku tambah, untuk kedua mertuaku. Biasanya, aku menabung dari sisa-sisa uang belanja (terus minta suami untuk menambah kekurangannya, hehehe).

Alhamdulillah-nya lagi, untuk putraku, Farras, kami juga sudah menyiapkan baju baru untuknya. Karena Farras adalah cucu pertama di keluargaku, ia juga mendapatkan banyak hadiah dari paklek-bibinya. Bibi yang di Kairo sudah memesan gamis. Bibi yang di Jogja sudah membelikan batik, dan masih banyak hadiah lainnya. Aku bersyukur, keadaan kecil Farras lebih baik daripada keadaanku dulu. Dan aku lebih bersyukur mempunyai orang tua yang selalu berjuang keras untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar