Rabu, 24 Juli 2013

Jadian Yuk!


“Kalau begitu, kita jadian saja.” Katanya di ujung telpon.

“Jadian? Untuk apa?” Tanyaku dengan nada tertawa untuk menutupi rasa kagetku.

“Ya untuk menikahlah. Masa untuk pacaran. Kita ini sudah tua, tidak masanya lagi pacaran-pacaran. Lagian kalau ketahuan simbah, bisa bahaya. Pokoknya lebaran nanti, aku akan melamarmu, Mbak.”

“Hahahaha.... Masa iya aku menikah dengan adik sepupuku sendiri? Emang di dunia ini tidak ada yang lain?” Gurauku lagi.

“Aku serius, Mbak. Ini tidak main-main.” Jawabnya tegas.

“Kalau serius, ayo maju! Siapa takut?” Tantangku.

“Mulai saat ini, aku akan memanggilmu ‘adek’, tidak ‘mbak’ lagi.” Katanya lagi.

“Dan aku, bagaimana aku harus memanggilmu? Abang, kakak, cak, mas? Atau?” Tanyaku lagi.

“Mas saja.”“Oke.”

Begitulah awal cerita yang tak mungkin kulupa dalam hidupku. Bermula dari candaan, kemudian lamaran, pernikahan, sampai akhirnya kami berumah tangga menjadi suami-istri serta ayah-ibu untuk putra kami.

Aku dan suami bukanlah orang jauh, kami masih terikat hubungan kerabat. Nenek-nenek kami adalah kakak-adik. Jadi ibu-ibu kami adalah sepupu. Maka kami berdua adalah mindoan kata orang Jawa.

Tentu saja kami saling mengenal sejak kecil, selain karena kami seumuran (suami lebih tua 10 bulan dariku), ibu-ibu kami bisa dikatakan seperti saudara kandung karena kekompakan (nasib) mereka. Hanya saja, karena nenekku lebih tua daripada nenek suami, maka ibu mertua memanggil ibuku “yu” dan suami (dulu) wajib memanggilku dengan panggilan “mbak”.

Maka ketika ikrar “bersama” sudah dikumandangkan, rasanya aneh sekali kalau aku harus memanggil orang yang selama ini aku anggap adik dan menganggapku kakak dengan panggilan “mas”. Tapi itulah yang terjadi.Banyak orang merasa heran dengan hubungan kami ini. Mungkin mereka berpikir, “bagaimana bisa, kerabat bisa saling jatuh cinta dan menikah?” Kalau ditanya tentang ini, aku sendiri tidak bisa menjawabnya. Begitu pula suami. Karena semua mengalir begitu saja.

Dulu, ketika masih sama-sama kecil (entah kelas berapa, aku lupa), kami pernah berjanji. Kami akan menikah bersama, dengan jodoh kami masing-masing tentunya. Kalau salah stu di antara kami sudah menemukan jodohnya, maka dia harus membantu yang lain untuk menemukan jodohnya. Begitulah kesepakatan kami kala itu.

Waktu terus berjalan. Selepas aliyah (SMA), kami sama-sama merantau. Aku merantau ke Jakarta, dan dia merantau ke Bandar Lampung. Tentu saja kami mempunyai dunia masing-masing yang berbeda, termasuk urusan cinta anak muda. Kami pun tetap akrab seperti saudara dan sahabat, berbagi cerita, keluh kesah, suka duka, termasuk di dalamnya kegalauan cinta anak muda.

Sampai akhirnya, aku cerita kepadanya kalau ada laki-laki yang mencoba mendekatiku, tapi aku merasa tidak nyaman. “Ya sudah, bilang saja terus terang kalau Mbak tidak suka sama dia.” Terus terang sekali saran yang ia berikan, pikirku kala itu.

Pada saat yang hampir bersamaan, dia juga bercerita tentang kegalauannya, ingin mendekati seorang perempuan, namun perempuan tersebut tidak memberikan respon positif, hanya menggantungnya. Begitu katanya. “Ya sudah, lepaskan saja kalau tidak jelas begitu.” Begitu saranku waktu itu.

Akhirnya, terjadilah percakapan di atas. Dan tidak lama setelah percakapan itu terjadi, tepatnya 2 bulan setelahnya, aku mendapat telpon dari kampung. Ibu mengabarkan, kalau bapak-bapak kami sedanga merancang perjodohan kami. “Jangan kaget, itu cuma rencana abahmu dan paklek saja. Kalau kamu tidak mau, ya ndak apa-apa kok, Nduk.” Begitu kata ibu.

Aku hanya tertawa dalam hati mendengar ucapan ibu di ujung telpon. “Iya bu, nanti coba aku pikir-pikir dulu.” Jawabku menjaga gengsi. 



 "Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway 'Sweet Moment' yang diselenggarakan oleh UnTu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar