Jumat, 26 Juli 2013

SOSOK PEMBACA AYAT AL-QUR’AN DI ISTANA NEGARA MALAM INI: Firdaus

Firda, Hayatun, Aku, Anak Mbak Firda, Mbaknya Mbak Firda


Namanya Siti Badiatul Firdos,asal Kebumen. Tapi kalau berkenalan langsung dengan dia, maka yang terdengar dari namanya adalah SITI BADINGATUL FIRDOS. (hehehe, maaf ya bu) Dari status FB yang aku baca dua hari yang lalu, dia menuliskan kalau mendapat juara MTQ RRI dan hadianya adalah umroh yang silimpahkan kepada ibunya. Tulisnya lagi, dia akan melantunkan ayat suci al-Quran pada peringatan Nuzulul Qur’an di Istana Negara. Waw...... akhirnya, ketemu presiden juga temanku ini.

Pertama kali aku mengenalnya di depan kamar mandi kampus (kenalan kok di depan kamar mandi. Hehhehe). Kala itu aku mau mengambil air wudhu untuk sholat Zhuhur. Aku melihat sosok asing (bukan teman kuliah maksudnya) berdiri mengantri di depan kamar mandi dengan membawa tas besar. Rupanya dia baru datang dari kampung. Dengan nada ngakapnya dia bertanya,

“Mbak, kelas tarbiyah semester 5 di mana ya?”
“Di dalam mbak, kenapa? Saya juga mahasiswa tarbiyah semeseter 5.”
“Wah, kebetulan sekali ya mbak. Aku manut njenengan aja lah. Saya baru pindah kuliah mbak. Saya pindahan dari Maarif Kebumen.”

Hah?!! Main manut-manut aja nih orang, pikirku kala itu.
 “Sudah ke asrama?” tanyaku.
“Belum mbak.”
“Ya, sudah. Nanti sekamar sama saya saja mbak. Kebetulan aku sendiri di kamar. Nanti aku sampaikan ke pengurus asrama kalau mbak tinggal sekamar sama saya.”
“Makasih ya mbak. Oya, nama mbak siapa?”

Sudah ngobrol ngalor ngidul ternyata belum kenalan rupanya. Hahaha.

Begitulah singkatnya, kami pun tinggal sekamar. Hampir satu tahun setengah kami bersama. Banyak cerita lucu yang terjadi, ya karena yang namanya Mbak Firda ini memang lucu sekali. Tidak pernah marah, selalu memberi, dan ngelawak.

Karena suaranya bagus, maka Mbak Firda akan menjadi rujukan kami sekelas ketika ujian 
nagham (seni membaca al-Quran) datang. Jadilah kamarku seperti pasar. Bagi yang suaranya bagus, seperti Dila, Mbak Ninin, Teh Haji, mudah saja mengikuti suaranya. Tapi bagi yang bersuara pas-pasan, tak punya cengkok dan kaku (termasuk aku di dalamnya), mengikuti suaranya seperti mendaki gunung semeru yang sedang berkabut (apa pula perumpamaannya ini. hahaha). Dan kenangan ini pasti tidak akan terlupa bagi kami semua yang besuara pas-pasan. Colek Raudhatul Jannah, Haya Fairus, Khusnul Khotimah Munandar, Umi Cholifah, Teh Mumun, Mbak Leli, Mbak Lela, dan lain-lain. Sori ya teman-teman, kalau salah memasukkan kategori.

Cerita lain yang lucu adalah ketika mbak Firda mempunyai teko listrik yang khusus untuk masak air. Sebenarnya kami tidak dibolehkan membawa alat-alatelektronik ke asrama kecuali setrika dan tip rekorder. Tapi kala itu mbak Firda mendapat hadih teko listrik, jadilah kami mencobanya. Pagi-pagi setelah sholat shubuh, kami beraksi. Memasak air untuk membuat mi instan rebus (rendam lebih tepatnya). Kami sukses. Tetangga-tetangga kamar pun pada keluar mencari aroma mi instan di pagi buta. Aneh, kok ada aroma sedap di pagi buta. Kami hanya cekikan di kamar yang kami kunci dari dalam. Esoknya kami beraksi lagi. Dan saat itulah insiden terjadi. Ketika kami menuangkan air yang sudah masak ke mangkok, kami lupa mencabut kabel dari stop kontaknya. Jadilah teko listriknya meledak. Seketa itu, lampu seasrama langsung padam karena konslet. Usut punya usut, itu terjadi karena meledaknya teko kami. Lagi-lagi, kami hanya cekikan di kamar. Dan sampai tulisan ini dibuat, cerita ini hanya kami berdua yang tau.

Meskipun sama-sama orang Jawa, aku lebih banyak berbicara dengan bahasa Indonesia dengannya. Itu dikarenakan perbedaan bahasa Jawa yang mencolok antara kami berdua. Bahasa ngapaknya sangat tinggi hingga tak terjangkau oleh logat Suroboyoanku. Sering aku dibuat tertawa dengan bahasa-bahasanya, seperti kencot, jaburan, aja kaya kiye, mbokane, dan lainnya. Semua itu tidak ada di kamus Suroboyoan.

Ketika dia menikah, aku menyempatkan hadir ke Kebumen. Ini pun berbubtut cerita lucu. Berangkat sendiri dari Jakarta naik bis jurusan Jogja. Aku hanya dikasih alamat, turun simpang lima Kebumen. Kepada kondektur, aku sampaikan kalau nanti aku turun simpang lima Kebumen. Ternyata, sampai di simpang lima Kebumen itu jam 3 pagi dan sang kondektur lupa membangunku yang kala itu berada di alam mimpi. Jadinya kebablasan sampai terminal Kebumen. Akhirnya aku diturunkan di terminal Kebumen. Jam 3 pagi di terminal Kebumen yang keberadaannya di tengah-tengah sawah. Lumayan mengerikan juga. Aku putuskan untuk kembali ke simpang lima naik ojek, tentu saja menyeramkan, apalagi jalanan sepi. Untungnya selamat sampai simpang lima. Kata mbak Firda, aku dijemput di sana. Malangnya lagi, si penjemput tidak membawa hp. Jadinya aku menunggu lama sambil menebak-nebak setiap orang yang datang. Aku tanya satu persatu, apa mereka menjemputku atau bukan. Karena lama tidak ketemu, akhirnya mbak Firda mengutus penjemput kedua. Saat itulah aku bertemu penjemput pertama. Jadilah kami ngacir menuju desa mbak Firda yang ternyata jauuuuuuuuuuuuuuuuh sekali. Satu jam lebih perjalanan menuju rumah mbak Firda. Sampai kampungnya, aku sungguh terkaget-kaget, ternyata teman sekamarku ini orang ndeso sekali. Maksudnya, kampungnya berada di pelosok sekali, di ujung dan mendekati pantai selatan. Karena pelosoknya ini, aku masih melihat banyak kerbau dan sapi di samping tiap-tiap rumah. Kampungnya juga masih asri dengan pohon-pohon besar di sekeliling tiap-tiap rumah. Pikirku kala itu, “kok yo bisa, orang pelosok ini mempunyai cita-cita dan tekad untuk kuliah di Jakarta? Hebat sekali!” (maaf ya bu, itu batinanku kala itu. hehehehe).

Ngomongin kebaikannya... wah sekranjang deh. Atau berkranjang-kranjang. Mbak Firda lah yang menjadi rujukan pertama kala honor tulisanku telat dibayar. Mbak Firda juga selalu memberi hadiah-hadiah kalau dia habis tampil ngaji, di mana pun itu. Dan dialah yang tau betul cerita perjalanan hidup yang aku lalui semasa di asrama dulu. Kupingnya terlalu tipis sehingga mudah dan sabar sekali mendengar curhat-curhatku. Di sela-sela itu, dia selalu berkata kalau aku ini orang sukses. Sukses dari kaca mata mana pun aku tidak mengerti. Toh sekarang dia yang lebih sukses, bisa tampil depan presiden untuk mengaji. Sementara aku masih di rumah saja, momong anak.

Setelah lulus, dia sempat mengajar di Bekasi, tapi kemudian memutuskan untuk pulang kampung dan mengabdi di sana. Lebih bermanfaat, katanya kala itu. Dia juga menjadi bunyai untuk para remaja di sekitar rumahnya. Suatu pekerjaan yang sederhana ,tapi sangat bermakna. Setelah dua tahun tidak bertemu, tahun 2010 lalu  aku bertemu lagi dengan dia di Bengkulu. Kala itu kami sempat berkumpul di pantai Panjang. Dia semakin berkibar dengan karya-karya suaranya. Dan tetap sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar