Firda, Hayatun, Aku, Anak Mbak Firda, Mbaknya Mbak Firda |
Namanya Siti Badiatul Firdos,asal Kebumen. Tapi kalau berkenalan langsung dengan dia, maka yang terdengar dari namanya adalah SITI BADINGATUL FIRDOS. (hehehe, maaf ya bu) Dari status FB yang aku baca dua hari yang lalu, dia menuliskan
kalau mendapat juara MTQ RRI dan hadianya adalah umroh yang silimpahkan kepada
ibunya. Tulisnya lagi, dia akan melantunkan ayat suci al-Quran pada peringatan
Nuzulul Qur’an di Istana Negara. Waw...... akhirnya, ketemu presiden juga
temanku ini.
Pertama kali aku mengenalnya di
depan kamar mandi kampus (kenalan kok di depan kamar mandi. Hehhehe). Kala itu
aku mau mengambil air wudhu untuk sholat Zhuhur. Aku melihat sosok asing (bukan
teman kuliah maksudnya) berdiri mengantri di depan kamar mandi dengan membawa
tas besar. Rupanya dia baru datang dari kampung. Dengan nada ngakapnya dia
bertanya,
“Mbak, kelas tarbiyah semester 5
di mana ya?”
“Di dalam mbak, kenapa? Saya juga mahasiswa tarbiyah semeseter 5.”
“Di dalam mbak, kenapa? Saya juga mahasiswa tarbiyah semeseter 5.”
“Wah, kebetulan sekali ya mbak. Aku
manut njenengan aja lah. Saya baru pindah kuliah mbak. Saya pindahan dari
Maarif Kebumen.”
Hah?!! Main manut-manut aja nih
orang, pikirku kala itu.
“Sudah ke asrama?” tanyaku.
“Belum mbak.”
“Ya, sudah. Nanti sekamar sama
saya saja mbak. Kebetulan aku sendiri di kamar. Nanti aku sampaikan ke pengurus
asrama kalau mbak tinggal sekamar sama saya.”
“Makasih ya mbak. Oya, nama mbak
siapa?”
Sudah ngobrol ngalor ngidul ternyata belum kenalan
rupanya. Hahaha.
Begitulah singkatnya, kami pun
tinggal sekamar. Hampir satu tahun setengah kami bersama. Banyak cerita lucu
yang terjadi, ya karena yang namanya Mbak Firda ini memang lucu sekali. Tidak pernah
marah, selalu memberi, dan ngelawak.
Karena suaranya bagus, maka Mbak
Firda akan menjadi rujukan kami sekelas ketika ujian
nagham (seni membaca
al-Quran) datang. Jadilah kamarku seperti pasar. Bagi yang suaranya bagus, seperti Dila, Mbak Ninin, Teh Haji, mudah saja mengikuti suaranya. Tapi bagi yang bersuara pas-pasan, tak punya
cengkok dan kaku (termasuk aku di dalamnya), mengikuti suaranya seperti mendaki
gunung semeru yang sedang berkabut (apa pula perumpamaannya ini. hahaha). Dan kenangan
ini pasti tidak akan terlupa bagi kami semua yang besuara pas-pasan. Colek
Raudhatul Jannah, Haya Fairus, Khusnul Khotimah Munandar, Umi Cholifah, Teh Mumun, Mbak Leli, Mbak Lela, dan lain-lain. Sori ya teman-teman, kalau salah memasukkan kategori.
Cerita lain yang lucu adalah
ketika mbak Firda mempunyai teko listrik yang khusus untuk masak air. Sebenarnya
kami tidak dibolehkan membawa alat-alatelektronik ke asrama kecuali setrika dan
tip rekorder. Tapi kala itu mbak Firda mendapat hadih teko listrik, jadilah
kami mencobanya. Pagi-pagi setelah sholat shubuh, kami beraksi. Memasak air
untuk membuat mi instan rebus (rendam lebih tepatnya). Kami sukses. Tetangga-tetangga
kamar pun pada keluar mencari aroma mi instan di pagi buta. Aneh, kok ada aroma
sedap di pagi buta. Kami hanya cekikan di kamar yang kami kunci dari dalam. Esoknya
kami beraksi lagi. Dan saat itulah insiden terjadi. Ketika kami menuangkan air
yang sudah masak ke mangkok, kami lupa mencabut kabel dari stop kontaknya. Jadilah
teko listriknya meledak. Seketa itu, lampu seasrama langsung padam karena
konslet. Usut punya usut, itu terjadi karena meledaknya teko kami. Lagi-lagi,
kami hanya cekikan di kamar. Dan sampai tulisan ini dibuat, cerita ini hanya
kami berdua yang tau.
Meskipun sama-sama orang Jawa, aku
lebih banyak berbicara dengan bahasa Indonesia dengannya. Itu dikarenakan
perbedaan bahasa Jawa yang mencolok antara kami berdua. Bahasa ngapaknya sangat
tinggi hingga tak terjangkau oleh logat Suroboyoanku. Sering aku dibuat tertawa
dengan bahasa-bahasanya, seperti kencot, jaburan,
aja kaya kiye, mbokane, dan lainnya. Semua itu tidak ada di kamus
Suroboyoan.
Ketika dia menikah, aku
menyempatkan hadir ke Kebumen. Ini pun berbubtut cerita lucu. Berangkat sendiri
dari Jakarta naik bis jurusan Jogja. Aku hanya dikasih alamat, turun simpang
lima Kebumen. Kepada kondektur, aku sampaikan kalau nanti aku turun simpang
lima Kebumen. Ternyata, sampai di simpang lima Kebumen itu jam 3 pagi dan sang
kondektur lupa membangunku yang kala itu berada di alam mimpi. Jadinya kebablasan
sampai terminal Kebumen. Akhirnya aku diturunkan di terminal Kebumen. Jam 3
pagi di terminal Kebumen yang keberadaannya di tengah-tengah sawah. Lumayan mengerikan
juga. Aku putuskan untuk kembali ke simpang lima naik ojek, tentu saja
menyeramkan, apalagi jalanan sepi. Untungnya selamat sampai simpang lima. Kata mbak
Firda, aku dijemput di sana. Malangnya lagi, si penjemput tidak membawa hp. Jadinya
aku menunggu lama sambil menebak-nebak setiap orang yang datang. Aku tanya satu
persatu, apa mereka menjemputku atau bukan. Karena lama tidak ketemu, akhirnya
mbak Firda mengutus penjemput kedua. Saat itulah aku bertemu penjemput pertama.
Jadilah kami ngacir menuju desa mbak Firda yang ternyata jauuuuuuuuuuuuuuuuh
sekali. Satu jam lebih perjalanan menuju rumah mbak Firda. Sampai kampungnya,
aku sungguh terkaget-kaget, ternyata teman sekamarku ini orang ndeso sekali. Maksudnya, kampungnya
berada di pelosok sekali, di ujung dan mendekati pantai selatan. Karena pelosoknya
ini, aku masih melihat banyak kerbau dan sapi di samping tiap-tiap rumah. Kampungnya
juga masih asri dengan pohon-pohon besar di sekeliling tiap-tiap rumah. Pikirku
kala itu, “kok yo bisa, orang pelosok ini mempunyai cita-cita dan tekad untuk
kuliah di Jakarta? Hebat sekali!” (maaf ya bu, itu batinanku kala itu. hehehehe).
Ngomongin kebaikannya... wah
sekranjang deh. Atau berkranjang-kranjang. Mbak Firda lah yang menjadi rujukan
pertama kala honor tulisanku telat dibayar. Mbak Firda juga selalu memberi
hadiah-hadiah kalau dia habis tampil ngaji, di mana pun itu. Dan dialah yang
tau betul cerita perjalanan hidup yang aku lalui semasa di asrama dulu. Kupingnya
terlalu tipis sehingga mudah dan sabar sekali mendengar curhat-curhatku. Di sela-sela
itu, dia selalu berkata kalau aku ini orang sukses. Sukses dari kaca mata mana
pun aku tidak mengerti. Toh sekarang dia yang lebih sukses, bisa tampil depan
presiden untuk mengaji. Sementara aku masih di rumah saja, momong anak.
Setelah lulus, dia sempat
mengajar di Bekasi, tapi kemudian memutuskan untuk pulang kampung dan mengabdi
di sana. Lebih bermanfaat, katanya kala itu. Dia juga menjadi bunyai untuk para
remaja di sekitar rumahnya. Suatu pekerjaan yang sederhana ,tapi sangat
bermakna. Setelah dua tahun tidak bertemu, tahun 2010 lalu aku bertemu lagi dengan dia di Bengkulu. Kala itu
kami sempat berkumpul di pantai Panjang. Dia semakin berkibar dengan
karya-karya suaranya. Dan tetap sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar