Berangkat ke tanah suci adalah
impian terbesar orang tuaku, terutama abah. Tentu saja ini bukan keinginan
ringan yang mudah dicapai. Berangkat haji memerlukan banyak persiapan, mulai
dari mental, spiritual, tentunya persiapan finansial.
Untuk abah dan ibu, persiapan
mental dan spiritual mungkin lebih mudah dilakukan, modalnya hanya satu, yaitu
jiwa. Namun untuk persiapan yang terakhir, ini yang menjadi kendala selama ini.
Kami bukan termasuk keluarga kaya
raya, tapi juga enggan rasanya disebut keluarga miskin. Mungkin berada di
antara keduanyalah posisi kami. <>
Untuk kebutuhan sehari-hari, ibu dan abah mengandalkan hasil sawah dan tambak yang tidak luas, namun juga tidak sempit, sekitar satu hektaran lah. Sekali lagi, kondisi kami berada di tengah-tengah antara kaum kaya dan kaum miskin. Karena bergantung penuh dari hasil alam, maka penghasilan keluarga tidak dapat dipastikan seperti penghasilan-penghasilan dari pekerjaan kantoran atau PNS.
Untuk kebutuhan sehari-hari, ibu dan abah mengandalkan hasil sawah dan tambak yang tidak luas, namun juga tidak sempit, sekitar satu hektaran lah. Sekali lagi, kondisi kami berada di tengah-tengah antara kaum kaya dan kaum miskin. Karena bergantung penuh dari hasil alam, maka penghasilan keluarga tidak dapat dipastikan seperti penghasilan-penghasilan dari pekerjaan kantoran atau PNS.
Karena itulah, ibu sebagai
bendahara keluarga, selalu cermat mengatur keuangan keluarga. Bila waktunya
panen tiba, maka hasil panen akan dibagi dalam beberapa bagian. Bagian rekening
sekolah anak, bagian rekening haji, dan sisanya masuk dana cadangan. Tidak
boleh saling tertukar maupun mengganggu. Begitulah ibu mengatur keuangan.
Sayangnya, karena kami tujuh
bersaudara, dan sampai saat ini semua masih sekolah (termasuk aku, meski sudah
tidak menjadi tanggungan orang tua lagi), rekening untuk pendidikan anak selalu
menjadi prioritas. Bahkan bisa dibilang, pendidikan anak selalu mengalahkan
yang lain. Rekening untuk haji hanya berisi sedikit saja dari hasil panen.
Sangat sedikit. Rasa-rasanya tidak mungkin untuk memenuhi ONH yang semakin hari
semakin tinggi.
Pernah terlintas di pikiran abah
dan sempat diutarakan kepada kami tentang keinginan abah menjadi TKI di Arab
Saudi, menyusul beberapa anggota keluarga yang sukses menjadi TKI di sana.
Bukan hitungan rupiah yang menjadi alasan abah atas keinginan tersebut, tapi
semata-mata karena keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji. Dalam benak
abah, dengan menjadi TKI, setidak-tidaknya abah akan mendapatkan kesempatan
melaksanakan ibadah haji tanpa harus menunggu penuhnya rekening haji. Tapi
karena kami masih adik masih kecil-kecil, niatan tersebut urung terlaksana.
Kami pun lega mendengarnya.
Sebenarnya di keluarga kami ada
tradisi arisan haji untuk sepasang suami istri. Seluruh saudara dari ibu
mengikuti arisan ini. Setiap keluarga harus membayar sekian juga tiap tahunnya
untuk memenuhi ONH satu pasang suami istri yang menang arisan. Begitu tiap
tahun sampai semua kebagian berangkat haji. Ibu dan abah sebenarnya juga diajak
ikut serta arisan ini. Bukan tidak mau, tapi lagi-lagi, yang dipikirkan ibu dan
abah adalah anak-anak yang masih sekolah semua. Saat arisan haji dimulai
beberapa tahun lalu, aku masih kuliah s1 di Jakarta, adik kedua kuliah di
al-Azhar Kairo, adik ketiga di UGM Jogjakarta, adik keempat dan kelima masih di
pesantren, dan adik keenam dan ketujuh masih SD. Bagi ibu dan abah yang hanya
meangandalkan hasil sawah yang tidak menentu, mengikuti arisan haji ini hanya
akan menambah beban biaya pengeluaran. Keinginan berangkat haji memang ada dan
menggebu-gebu, tapi pendidikan anak jauh lebih penting. Toh di akhirat nanti
yang menjadi pertanyaan bukanlah “apakah bisa berangkat haji atau tidak,”
melainkan “bagaimana memberikan pendidikan kepada anak-anak, bagaimana menjaga
anak sebagai amanah Allah.” Begitu kata abah.
Karena ketidakikutsertaan ibu dan
abah di arisan haji ini, banyak yang mencibir ibu dan abah. Mereka mengatakan
ibu tidak mau diajak rukun antar keluarga dan kompak. Ibu dan abah dianggap
egois karena tidak mau mengikuti kebersamaan. Mendengar ucapan itu di telingaku
sendiri, hatiku merasa sangat terpukul. Mengapa niat baik dan menurutku sudah
tepat malah dicela? Dalam hati aku bertekad, suatu saat nanti aku sendiri yang
akan memberangkatkan ibu dan abah ke tanah suci. Begitulah tekadku kala itu.
abah, ibu, dan si bungsu di acara wisudaku tahun 2008 |
Tahun berlalu, hingga pada tahun
2010 aku memenangkan lomba karya tulis ilmiah nasional, meski juara dua. Hadiah
dari lomba itu sangatlah besar, hampir 45 juta. Yang terlintas di pikiranku
kala itu adalah memberangkatkan ibu dan abah haji. Akan aku berikan seluruh
uang hadiah tersebut untuk ibu dan abah. Namun dengan halus abah menolak
pemberianku, alasannya itu adalah uangku, hakku, dan sebentar lagi (kala itu)
aku akan menikah, tentu kebutuhanku akan sangat banyak. Aku terus membujuk abah
agar mau menerima uang itu, sampai akhirnya abah mau menerima, meski hanya
separuhnya saja.
Setelah acara pernikahanku
selesai, ibu dan abah pun segera mendaftarkan diri untuk berangkat haji dengan
uang muka yang aku berikan. Memang uang itu masih jauh dari cukup, namun rizki
Allah sangatlah luas. Setelah pendaftaran itu, ibu dan abah diberikan kemudahan
yang banyak untuk terus melunasi ONH dan akhirnya mendapatkan kursi booking,
meksi maish harus mengantri untuk berangkat.
Kini, di tahun 2013, ibu dan abah
tinggal melunasi kekurangan ONH yang berlaku di tahun keberangkatannya nanti,
di tahun 2018 insya Allah. Anak-anaknya pun satu persatu sudah mampu mandiri. Aku
sudah menikah dan sedang menyelesaikan s2 (mudah-mudahan tahun ini lulus). Adik
kedua juga sedang menyelesaikan s2 di Kairo sambil membantu pekerjaan di KBRI. Adik
ketiga sudah lulus dari UGM dan sedang bekerja di bank swasta sebagai wakil
manager. Adik keempat dan kelima sudah masuk kuliah di UIN Jogjakarta dengan
beasiswa. Sementara adik keenam sedang di pesantren, dan yang terakhir masih
SD. Aku bisa mengatakan, bahwa semua
yang kami dapat dan raih dalam hidup, maka itu semua karena keikhlasan
pengorbanan dan perjuangan ibu dan abah. Matur
sembah nuwun Bu, Bah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar