Sabtu, 27 Juli 2013

Hadiah Untuk Ibu dan Abah


Berangkat ke tanah suci adalah impian terbesar orang tuaku, terutama abah. Tentu saja ini bukan keinginan ringan yang mudah dicapai. Berangkat haji memerlukan banyak persiapan, mulai dari mental, spiritual, tentunya persiapan finansial.
Untuk abah dan ibu, persiapan mental dan spiritual mungkin lebih mudah dilakukan, modalnya hanya satu, yaitu jiwa. Namun untuk persiapan yang terakhir, ini yang menjadi kendala selama ini.

Kami bukan termasuk keluarga kaya raya, tapi juga enggan rasanya disebut keluarga miskin. Mungkin berada di antara keduanyalah posisi kami. <>
Untuk kebutuhan sehari-hari, ibu dan abah mengandalkan hasil sawah dan tambak yang tidak luas, namun juga tidak sempit, sekitar satu hektaran lah. Sekali lagi, kondisi kami berada di tengah-tengah antara kaum kaya dan kaum miskin. Karena bergantung penuh dari hasil alam, maka penghasilan keluarga tidak dapat dipastikan seperti penghasilan-penghasilan dari pekerjaan kantoran atau PNS.
Karena itulah, ibu sebagai bendahara keluarga, selalu cermat mengatur keuangan keluarga. Bila waktunya panen tiba, maka hasil panen akan dibagi dalam beberapa bagian. Bagian rekening sekolah anak, bagian rekening haji, dan sisanya masuk dana cadangan. Tidak boleh saling tertukar maupun mengganggu. Begitulah ibu mengatur keuangan.

Sayangnya, karena kami tujuh bersaudara, dan sampai saat ini semua masih sekolah (termasuk aku, meski sudah tidak menjadi tanggungan orang tua lagi), rekening untuk pendidikan anak selalu menjadi prioritas. Bahkan bisa dibilang, pendidikan anak selalu mengalahkan yang lain. Rekening untuk haji hanya berisi sedikit saja dari hasil panen. Sangat sedikit. Rasa-rasanya tidak mungkin untuk memenuhi ONH yang semakin hari semakin tinggi.
Pernah terlintas di pikiran abah dan sempat diutarakan kepada kami tentang keinginan abah menjadi TKI di Arab Saudi, menyusul beberapa anggota keluarga yang sukses menjadi TKI di sana. Bukan hitungan rupiah yang menjadi alasan abah atas keinginan tersebut, tapi semata-mata karena keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji. Dalam benak abah, dengan menjadi TKI, setidak-tidaknya abah akan mendapatkan kesempatan melaksanakan ibadah haji tanpa harus menunggu penuhnya rekening haji. Tapi karena kami masih adik masih kecil-kecil, niatan tersebut urung terlaksana. Kami pun lega mendengarnya.

Sebenarnya di keluarga kami ada tradisi arisan haji untuk sepasang suami istri. Seluruh saudara dari ibu mengikuti arisan ini. Setiap keluarga harus membayar sekian juga tiap tahunnya untuk memenuhi ONH satu pasang suami istri yang menang arisan. Begitu tiap tahun sampai semua kebagian berangkat haji. Ibu dan abah sebenarnya juga diajak ikut serta arisan ini. Bukan tidak mau, tapi lagi-lagi, yang dipikirkan ibu dan abah adalah anak-anak yang masih sekolah semua. Saat arisan haji dimulai beberapa tahun lalu, aku masih kuliah s1 di Jakarta, adik kedua kuliah di al-Azhar Kairo, adik ketiga di UGM Jogjakarta, adik keempat dan kelima masih di pesantren, dan adik keenam dan ketujuh masih SD. Bagi ibu dan abah yang hanya meangandalkan hasil sawah yang tidak menentu, mengikuti arisan haji ini hanya akan menambah beban biaya pengeluaran. Keinginan berangkat haji memang ada dan menggebu-gebu, tapi pendidikan anak jauh lebih penting. Toh di akhirat nanti yang menjadi pertanyaan bukanlah “apakah bisa berangkat haji atau tidak,” melainkan “bagaimana memberikan pendidikan kepada anak-anak, bagaimana menjaga anak sebagai amanah Allah.” Begitu kata abah.

Karena ketidakikutsertaan ibu dan abah di arisan haji ini, banyak yang mencibir ibu dan abah. Mereka mengatakan ibu tidak mau diajak rukun antar keluarga dan kompak. Ibu dan abah dianggap egois karena tidak mau mengikuti kebersamaan. Mendengar ucapan itu di telingaku sendiri, hatiku merasa sangat terpukul. Mengapa niat baik dan menurutku sudah tepat malah dicela? Dalam hati aku bertekad, suatu saat nanti aku sendiri yang akan memberangkatkan ibu dan abah ke tanah suci. Begitulah tekadku kala itu.
abah, ibu, dan si bungsu di acara wisudaku tahun 2008

Tahun berlalu, hingga pada tahun 2010 aku memenangkan lomba karya tulis ilmiah nasional, meski juara dua. Hadiah dari lomba itu sangatlah besar, hampir 45 juta. Yang terlintas di pikiranku kala itu adalah memberangkatkan ibu dan abah haji. Akan aku berikan seluruh uang hadiah tersebut untuk ibu dan abah. Namun dengan halus abah menolak pemberianku, alasannya itu adalah uangku, hakku, dan sebentar lagi (kala itu) aku akan menikah, tentu kebutuhanku akan sangat banyak. Aku terus membujuk abah agar mau menerima uang itu, sampai akhirnya abah mau menerima, meski hanya separuhnya saja.

Setelah acara pernikahanku selesai, ibu dan abah pun segera mendaftarkan diri untuk berangkat haji dengan uang muka yang aku berikan. Memang uang itu masih jauh dari cukup, namun rizki Allah sangatlah luas. Setelah pendaftaran itu, ibu dan abah diberikan kemudahan yang banyak untuk terus melunasi ONH dan akhirnya mendapatkan kursi booking, meksi maish harus mengantri untuk berangkat.

Kini, di tahun 2013, ibu dan abah tinggal melunasi kekurangan ONH yang berlaku di tahun keberangkatannya nanti, di tahun 2018 insya Allah. Anak-anaknya pun satu persatu sudah mampu mandiri. Aku sudah menikah dan sedang menyelesaikan s2 (mudah-mudahan tahun ini lulus). Adik kedua juga sedang menyelesaikan s2 di Kairo sambil membantu pekerjaan di KBRI. Adik ketiga sudah lulus dari UGM dan sedang bekerja di bank swasta sebagai wakil manager. Adik keempat dan kelima sudah masuk kuliah di UIN Jogjakarta dengan beasiswa. Sementara adik keenam sedang di pesantren, dan yang terakhir masih SD.  Aku bisa mengatakan, bahwa semua yang kami dapat dan raih dalam hidup, maka itu semua karena keikhlasan pengorbanan dan perjuangan ibu dan abah. Matur sembah nuwun Bu, Bah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar